Sabtu, 07 Juli 2012

Monorel Oh Monorel


Monorail atau monorel. Sebuah moda transportasi berbasis rel yang beroperasi wilayah perkotaan. Ditinjau dari namanya (mono = satu, rail = rel), dapat ditebak bahwa alat transportasi satu ini berupa kereta yang berjalan diatas satu rel. Hal yang tentunya berbeda dengan lazimnya kereta yang berjalan diatas dua batang rel. So, kenapa saya membuat postingan tentang monorel? Simple answer. Karena beberapa kota di Indonesia menginginkannya sebagai alternatif moda transportasi publik.



14 Juni 2004. Presiden RI kala itu, Megawati Soekarno Putri meresmikan pembangunan sebuah proyek transportasi di ibukota Jakarta, dengan nilai investasi Rp 3 Trilyun. Peresmian tersebut ditandai dengan dibangunnya tiang pancang yang sedianya akan digunakan sebagai tempat berdirinya rel untuk jalannya sebuah kereta. Proyek itu tidak lain adalah megaproyek monorel Jakarta. Sebuah perwujudan dari ide dan ambisi yang dicanangkan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Sutiyoso.
Namun setahun berselang, tiang-tiang pancang yang gagah berdiri di tengah jalanan ibukota itu tidak lebih dari hanya sekedar pajangan di tengah hiruk pikuk kemacetan ibukota. Masalah financial telah membuyarkan impian Jakarta untuk memiliki moda transportasi anyar berupa Kereta Monorel. Alhasil, tiang-tiang pancang yang sudah terlanjur dibangun pun terbengkalai. Jadilah Bus Rapid Transit (BRT) sebagai andalan utama ibukota dalam memenuhi kebutuhan alat transportasi masal, yang juga berfungsi untuk mengurangi ketergantungan kendaraan pribadi yang menyebabkan kemacetan. Moda berupa BRT inilah yang kemudian akrab dikenal sebagai Busway Transjakarta oleh khalayak ramai.
Setelah beberapa tahun berkutat dengan berbagai masalah seperti pendanaan, dan siapa pihak yang meng-handle proyek, bulan September 2011 lalu menjadi ending bagi kisah perjalanan megaproyek Jakarta Monorail. Fauzi Bowo, gubernur DKI pengganti Sutiyoso, memutuskan bahwa proyek monorel resmi dibatalkan. Sebagai gantinya, mereka (Pemprov DKI) menggantinya dengan proyek Mass Rapid Transit (MRT) sebagai moda transportasi pengurai kemacetan, yang sedianya akan dibangun 2012 ini. Lantas bagaimana dengan nasib tiang-tiang pancang yang sudah mangkrak bertahun-tahun? Tiang-tiang tersebut akan dikembangkan sebagai infrastruktur penyangga Elevated Bus Rapit Transit (Bus Layang), yang juga merupakan proyek transportasi baru Pemprov DKI.
Cerita kegagalan Jakarta membangun monorel kiranya tidak menularkan trauma kepada kota-kota lain di Indonesia. Jumlahnya memang tidak banyak. Masih sebatas hitungan jari. Tapi setidaknya membuktikan bahwa kegagalan Jakarta tidak menyurutkan semangant mereka untuk memilih monorel sebagai alternatif transportasi di masa mendatang. Kota mana sajakah yang dimaksud? Bila disebut satu per satu, nama yang pertama terucap adalah Makassar.
Adalah Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI yang memprakarsai pembangunan monorel di pusat pemerintahan provinsi Sulawesi Selatan. Oleh perusahaannya, Kalla Group, rencananya Monorel Makassar akan membentang sepanjang +35 km. Monorel tersebut dibangun untuk menghubungkan beberapa sentra publik di metropolitan Mamminasata (Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar), atau Greater Makassar (Jabodetabek-nya Sulawesi Selatan). Tujuannya pun sama seperti Monorel Jakarta : mengurangi kemacetan. Selain itu, proyek Monorel Makassar yang rencananya dibangun September 2012 itu nantinya juga bakal terintegrasi dengan megaproyek Center Point of Indonesia (CPI), yang akan menjadikan Makassar sebagai salah satu kota bisnis terkemuka di Indonesia.
Setelah Makassar, kota kedua yang berencana membangun monorel adalah Surabaya. Selama ini Surabaya telah dikenal sebagai kota tersebesar kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Sebagai kota yang mengarah ke metropolitan, tingkat kepadatan dan mobilisasi penduduk tentu tidak dapat dicegah untuk menyebabkan kemacetan lalu lintas. Untuk itu, ketersediaan sarana transportasi masal yang memadai sudah wajib hukumnya. Guna menyelesaikan masalah tersebut, otoritas setempat memilih 2 moda transportasi untuk dikembangkan. Keduanya adalah Trem dan Monorel.
Trem. Sebuah moda transportasi berupa kereta yang punya rel khusus di dalam kota. Kendaraan ini dibagi 2 jenis, yaitu Trem yang terdiri 2 gerbong (satu set) disebut Light Rail Transit (LRT) dan yang terdiri dari 4 gerbong (2 set) disebut Heavy Rail Transit (HRT). Pemerintah Kota Surabaya memilih jenis LRT. Rencananya LRT Surabaya akan membentang utara-selatan sepanjang 12,16 km. Sedangkan untuk monorel, jalur yang dibangun sepanjang 24,47 km dan membentang dari barat-timur. Kabar terkahir menyebutkan bahwa pembangunan Monorel Surabaya akan dilaksanakan tahun 2013.
Setelah Makassar dan Surabaya, kota selanjutnya adalah bekas Kerajaan Sriwijaya, Palembang. Kota yang sukses menghelat SEA Games 2011 itu juga turut memimpikan monorel sebagai salah satu alat transportasi di wilayahnya. Kabarnya Monorel Palembang dibangun untuk menghubungkan Bandara Sultan Mahmud Badarudin II dengan Sport Center Jakabaring. Rencananya pembangunan akan dilaksanakan pada tahun 2014.
Kota terakhir yang cukup mengejutkan dengan rencana monorelnya adalah Yogyakarta. Menjelang akhir 2011 lalu Pemerintah Provinsi DIY mengutarakan wacananya untuk membangun monorel sebagai sarana transportasi di masa mendatang. Penggagasnya adalah Eman Suparno, mantan Menteri PU Republik Indonesia yang kini menjadi penasehat di Pemprov DIY. Rencananya monorel akan membentang sepanjang 40 km menghubungkan Borobudur-Yogyakarta. Fungsi  utamanya untuk menghubungkan tempat-tempat wisata dan kampus-kampus di sekitar Yogyakarta. Selain itu jalur Monorel Jogja juga dibuat melingkar sepanjang Kali Code, sebagai bagian dari upaya Pemda setempat untuk menata kawasan bantaran sungai tersebut. Kabarnya nilai investasi Monorel Jogja mencapai Rp 1,8 Trilyun.
Menelusuri rencana beberapa kota di Indonesia yang hendak membangun monorel sebagai sarana transportasi masal di wilayahnya, semuanya mempunyai tujuan satu : mengurangi kemacetan. Ditinjau dari tujuan yang diinginkan, tentu tidak ada yang salah dari berbagai rencana tersebut. Namun yang menjadi persoalan adalah, tepatkah kebijakan yang mereka ambil? Jika menyimak penuturan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, Tri Tjahjono, mungkin dapat membuat mereka yang mengidolakan monorel berpikir.
Sebagaimana termuat di berbagai media elektronik, Tri Tjahjono mengungkapkan bahwa monorel hanya sukses diterapkan di 3 negara. Padahal cukup banyak negara di dunia ini yang menggunakan monorel di kota-kotanya. Ketiga negara yang sukses itu adalah Jepang, Malaysia dan Australia. Alasannya karena selain biayanya terlalu mahal, teknologinya isolated. Jika terjadi kerusakan, akan sulit untuk ditangani. Selain itu kapasitasnya juga dinilai kecil. Padahal monorel dirancang untuk alat transportasi berkapasitas massif guna mengurangi kemacetan.
Di 3 negara yang sukses mengembangkan monorel tadi, sebetulnya mereka tidak menjadikan monorel sebagai tulang punggung transportasinya. Di Jepang, monorel hanya untuk menghubungkan Bandara Haneda dengan kota Tokyo. Di Malaysia, tepatnya di Kuala Lumpur (KL), monorel hanya untuk menghubungkan KL dengan sebuah pusat perbelanjaan. Aussie? Disana monorel digunakan untuk menghubungkan pelabuhan dengan kawasan CBD (Central Bussines District).
Setelah menyimak apa yang disampaikan Bapak Tri, yang paling “kena” adalah Monorel Jogja dan Monorel Palembang. Karena di kedua kota itu monorel dibangun untuk menghubungkan lokasi-lokasi yang telah ditentukan secara jelas. Monorel Jogja untuk akses ke kawasan-kawasan pariwisata sekitar Borobudur sampai finish ke Jogja. Jadi maksudnya jelas. Monorel Jogja dibangun untuk akses ke kawasan-kawasan pariwisata sekitar Borobudur-Jogja. Kepentingannya pun jelas, untuk pariwisata. Begitu pula Palembang yang menghubungkan badara dengan stadion olahraga. Berbeda halnya dengan kota-kota lain yang hendak menjadikan monorel sebagai alat transportasi utama.
Berdasarkan fakta ketiga negara yang sukses  tadi, menurut saya monorel memang patut dipilih tapi bukan sebagai alat transportasi primer. Monorel hendaknya digunakn sebagai penghubung dua titik tertentu yang punya nilai vital bagi sebuah kota. Misalnya untuk menghubungkan bandara dengan pusat bisnis, atau pelabuhan dengan pusat industri.  Sedangkan untuk mengurangi kemacetan, saya lebih setuju dengan kereta bawah tanah (subway) yang akan dikembangkan oleh Jakarta melalui proyek MRT tahun 2012 ini. Kelebihan subway jelas tidak memakan tempat karena beroperasi di bawah tanah sehingga tidak menimbulkan kesan crowded di jalanan. Selain itu dengan kapasitas yang memadai, subway akan menjadi alternatif transportasi yang sangat baik untuk mengurangi kemacetan di wilayah perkotaan. Dengan syarat : biaya terjangkau dan keamanan terjamin.

Sumber Gambar : www.lightrailnow.org





Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...