Sabtu, 08 Mei 2021

Curiga vs Waspada

Manusia adalah perpaduan logika dan perasaan. Dua unsur yang saling bahu membahu menopang kejiwaan. Tak jarang kolaborasi keduanya menghasilkan insting dalam mendorong suatu perbuatan, serta mengantisipasi atau memitigasi potensi buruk yang mungkin bisa menimpanya. Salah satu produk hasil perpaduan dua unsur tadi adalah prasangka. Sebuah anggapan kurang baik terhadap suatu hal yang belum atau akan terjadi. Sebagian orang menamai prasangka itu dengan sebutan curiga. Namun di sisi lain, mereka juga mengenal terma waspada untuk situasi yang mirip. Lantas adakah perbedaan antara curiga dan waspada?  Mana yang istilah yang lebih tepat digunakan?



Ada kalanya kita merasa terusik dengan gejala-gajala senyap yang mengganggu kenyamanan. Fenomena yang cukup unik dimana manusia mencemaskan hal yang bahkan ia tidak tahu apa wujudnya, maksud dan tujuannya, apalagi bagaimana mekanisme kerjanya. Seperti takutnya seorang anak dengan orang asing yang membuntuti kemanapun ia berjalan, atau seorang istri yang terheran-heran kenapa suaminya sering pulang malam karena alasan lembur, tapi tidak ada keterangan lembur dari rekan kerjanya yang ia tanyai via telepon. Oops..

Betulkah orang asing yang terus membuntuti si anak berniat hendak melakukan penculikan? Atau benarkah suami yang diilustrasikan diatas melakukan perselingkuhan (waw)? Tentu hanya Tuhan yang tahu. Masalahnya, dua peristiwa itu menimbulkan prasangka bagi pihak yang melihatnya sebagai sesuatu yang mengancam. Inilah yang disebut curiga. Prasangka buruk yang timbul dari suatu asumsi yang tingkat probabilitasnya paling relatif. Lingkupnya sempit dan berlaku pada individu-individu tertentu. Prasangka yang benar-benar membutuhkan pembuktian konkret untuk menguji kebenarannya. 

Lain halnya dengan situasi dimana kita dihadapkan dengan pandemi. Keadaan yang mana membuat orang-orang lebih awas dengan virus, lebih peduli dengan kesehatan, hingga melakukan segala hal demi meningkatkan imunitas tubuh. Semua itu dilakukan karena terbukti benar bahwa pandemi telah menelan banyak korban dengan virus penyakitnya. Hal yang kurang lebih sama ketika musim hujan melanda. Orang lebih perhatian dengan drainase dan kebersihan lingkungan sekitar. Jika tidak demikian, maka ancaman banjir, tanah longsor, atau nyamuk demam berdarah bisa menyerang kapan saja. Inilah yang disebut waspada. Prasangka yang timbul dari asumsi yang telah teruji secara luas, dengan probabilitas yang nyaris tanpa keraguan. 

Demikian secarik tulisan sederhana yang saya buat di sore hari yang cerah ini. Semoga dapat memberi pencerahan, kemanfaatan, dan perkenan bagi anda atau siapapun yang membacanya. Terima kasih.


Tumpak Wage - Mandasia, 26 Pasa 1954 Jimakir 


Selasa, 04 Mei 2021

Antonio Conte, Protagonis Kebangkitan Dua Raksasa Italia

Campioni d'Italia. Dari total 38 laga dalam semusim, cuma butuh 34 saja bagi Internazionale Milan untuk menuntaskan dahaga gelar Serie A 2020/2021, tapi butuh penantian 11 tahun demi meraih capaian tersebut. Benar saja, kali terakhir I Nerazzurri merengkuh gelar scudetto pada musim 2009/2010, bersamaan dengan gelar Treble Winner menyusul titel juara Coppa Italia dan UEFA Champions League pada musim itu. Setelah musim emas tersebut, tim yang bermarkas di kota Milano itu memang masih mencicipi juara Coppa Italia 2010/2011, tapi sayangnya itulah trofi terakhir yang mereka dapatkan sebelum akhirnya puasa gelar selama 10 tahun!


Satu dekade tanpa piala apapun agaknya menjadi catatan kelabu bagi tim sebesar Inter Milan. Bagaimana tidak,  sebagai salah satu kolektor scudetto terbanyak di Italia sekaligus satu-satunya klub yang tak pernah degradasi ke kasta kedua, mereka tak ubahnya macan yang kehilangan taringnya pasca keberhasilan treble winner. Jangankan scudetto, tampil di Liga Champions pun sempat hanya sebatas angan-angan ketika mereka gagal tampil di ajang tersebut kurun waktu 2012-2018. Jadi jika anda punya anak yang masuk SD tahun 2012, sampai tamat SD 2018 Inter tak pernah sekalipun lolos Liga Champions selama waktu tersebut...

Bak dua anak yang bermain jungkat-jungkit, keterpurukan Inter adalah kebangkitan Juventus. Rival terbesar Inter yang mana pertemuan keduanya disebut Derby d'Italia itu mendeklarasikan kebangkitannya dengan merenggut gelar scudetto 2011/2012 dari tim yang, saya (pura-pura) lupa namanya, sempat mencicipi scudetto 2010/2011. Yang jelas, raihan itu menjadi titel perdana Juve pascakasus calciopoli 2006. Lantas, who's man behind their glory? Tentu sebagai sebuah tim, banyak pihak yang berkontribusi atas keberhasilan mereka. Tapi jika dipaksakan untuk memilih satu, ijinkan saya untuk menyebut Antonio Conte. 

Antonio Conte
Source: flickr

Rasanya hampir semua setuju dengan nama yang saya sebut diatas. Conte adalah aktor intelektual yang paling menentukan keberhasilan si Nyonya Tua menaklukkan kembali Serie A, kemudian merajainya sampai 9 musim berturut-turut! Meskipun Conte hanya 3 musim menukangi Juve 2011-2014, tak dapat dipungkiri, dialah peletak pondasi pertama kesuksesan Juve menyulap Serie A menjadi panggung pribadi mereka, sekaligus menjadi liga yang menjemukan karena titel konsekutif mereka pula. Ini bukan nyinyir, lebih tepatnya keprihatinan. Anjay...

Seriously, dominasi Juventus nyaris satu dekade belakangan ini memang tidak baik untuk kemaslahatan Serie A. Memang banyak faktor mengapa tim-tim lainnya sulit mengimbangi "sebuah Juve", salah satunya karena kondisi finansial yang tak terlalu bagus sebagai imbas krisis ekonomi Eropa 2012 silam. Dan Antonio Conte pun turut "bertanggung jawab" atas kerusakan Serie A yang ditimbulkan oleh monopoli yang ia bangun saat kali pertama menukangi tim Zebra. Dan ia benar-benar disematkan tanggung jawab tersebut saat menandatangani kontrak melatih Inter Milan, setelah sebelumnya sempat membesut Timnas Italia (2014-2016) dan Chelsea di Liga Premier (2016-2018).

Awal kedatangan Conte ke kota Milano sempat menjadi kontroversi tersendiri. Bukan karena cara Inter yang terbilang kasar mendepak Luciano Spalletti, allenatore yang berjasa membawa La Beneamata kembali ke Liga Champions 2018/2019. Sebagaimana diketahui, Antonio Conte adalah ikonnya Juventus, rival terbesar Inter. Saat sebagai pemain, ia loyal bersama I Bianconeri. Dan sebagai juru taktik, saya sudah jelaskan di alinea sebelumnya. Itu adalah fakta yang tidak disukai orang-orang Inter. Akan tetapi suara-suara sumbang itu mulai mereda tatkala Conte mulai menunjukkan komitmennya dan berhasil membawa Inter kembali ke jalur persaingan gelar juara Liga Italia 2019/2020. Kendatipun hanya finish sebagai runner up Serie A dan Liga Europa di musim perdananya, ia dinilai mampu menebar angin segar yang dikonversi menjadi energi dalam tubuh tim Inter untuk semakin bangkit menggeliat. 

Selanjutnya di musim 2020/2021 ini, meskipun performanya sempat labil di awal musim, akhirnya Conte berhasil melakukan apa yang ia lakukan bersama Juventus di musim 2011/2012. Il Biscione dengan gagahnya mampu mengunci tahta juara saat Serie A masih menyisakan 4 laga lagi sebelum menutup musim. Selisih 13 poin dengan Atalanta di peringkat 2 pekan ke-34 rasanya sudah dipastikan tak terkejar. Berakhir sudah dominasi tak sehat Juve selama 9 musim terakhir. Benteng kokoh berwarna hitam putih itu runtuh oleh sosok yang pertama kali membangunnya. Yes. Conte membangun kedigdayaan Juventus, Conte pula yang merubuhkannya. Grandissimo...


Anggara Kliwon - Mandasia, 22 Pasa 1954 Jimakir


Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...