Senin, 22 Desember 2014

Makna Surga di Telapak Kaki Ibu

Source: kabaraku.com

Hari Ibu, 22 Desember. Berbeda dengan Hari Ibu Sedunia yang jatuh pada 13 Mei, Indonesia punya hari tersendiri untuk memperingatinya. Hampir semua orang merayakan Hari Ibu dengan berbagai cara. Mulai dari cara formal seperti upacara bendera, hingga sekedar mengungkapkan ekspresi dan pesan lewat sosial media yang didedikasikan kepada ibunda tercintanya masing-masing.
Sosok Ibu memang sangat berarti bagi setiap insan. Peringatan Hari Ibu kali ini pun mengingatkan saya akan nasehat yang pernah saya terima dari mendiang salah satu anggota keluarga besar saya tentang peran seorang ibu. Lewat tulisan inilah saya coba berbagi apa yang terkandung dalam nasehat dimaksud, meski bila kita menyisir sejarah, akar historis peringatan Hari Ibu 22 Desember lebih bernuansa Nasionalis ketimbang kesan/pesan moral keibuan secara personal pada umumnya (in my opinion).
Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan “Surga di telapak kaki Ibu”. Sebagian besar kalangan menafsirkan bahwa salah satu kunci yang menentukan layak tidaknya seseorang masuk Surga adalah bagaimana tingkat ketaatan orang itu terhadap ibunya, atau bagaimana sikap orang itu dalam memperlakukan sosok yang melahirkannya.
Semua pasti setuju dengan pandangan tersebut. Akan tetapi seseorang yang sempat saya sebut diatas, beliau punya perspektif tersendiri dalam memaknai ungkapan Surga di Telapak Kaki Ibu. Meskipun saya rasa beliau juga setuju dengan pandangan kolektif yang cenderung mengedepankan peran anak terhadap ibunya, beliau menginterpretasikan bahwa penentu surga bagi seorang atau setiap anak justru lebih ditentukan oleh peranan sang Ibu.
Bila kita mengikuti pendapat pertama yang menitikberatkan peran anak terhadap ibu, bagaimana jika ibunya yang tidak baik? Nah, inilah yang mendasari pendapat kedua yang lebih menitiberatkan peran ibu sebagai penentu surga bagi anak. Sekali lagi, surga di telapak kaki ibu. Ungkapan ini cenderung analogis. Kemanapun ibu melangkah, maka ke arah yang samalah anak mengikuti. Karena bagaimanapun, sosok ibu adalah panutan bagi anak-anaknya.
Jikalau ada sosok ibu dengan kepribadian yang buruk, baik sikap maupun perbuatannya, maka akan mendatangkan dua kemungkinan bagi anaknya: ikut mewarisi keburukan ibunya (sadar maupun tidak sadar) atau hilangnya respek terhadap ibunya sebagai buah kekecewaan terhadap sosok yang seharusnya menjadi panutan, sehingga berdampak buruk pula terhadap sikap dan perilaku anak dalam kesehariannya. Contohnya? Ah, anda bisa mengimajinasikan sendiri.
Sebaliknya, jika sosok ibu dengan kepribadian yang baik, menjauhkan anak-anaknya dari dosa, membimbing anak-anaknya di jalan yang lurus menuju cita-citanya, maka anak-anaknya akan mengikuti atau mewarisi kebaikan sang ibu. Dan bagaimana jadinya si anak sebagai hasil didikan ibunya, ending-nya pasti akan manis pada waktunya. Terdengar klise, tapi memang itulah keniscayaan.
Demikian catatan singkat saya dalam rangka Hari Ibu ke-86 yang jatuh tanggal 22 Desember 2014. Semoga dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang menyimak. Sebagai penutup, berikut saya sajikan video berisi pesan Hari Ibu dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Selamat Hari Ibu!






Sabtu, 13 Desember 2014

La Cita (12.1.f)



Source: popcrush.com
"Asal tahu saja, jika kalian marah dan benci karena aku menjadi diriku sendiri, aku akan semakin menunjukkan siapa jati diriku. Dan aku akan jauh lebih menikmatinya daripada kalian." 
          - Taylor Swift -

#HappyBirthdayTaylorSwift     

Sabtu, 29 November 2014

Sepak Bola: Berpindah Zona demi Pentas Dunia, Mungkinkah?




Kegagalan Tim Nasional Indonesia di Piala AFF 2014 kiranya telah memperpanjang daftar kegagalan sepak bola Indonesia dalam berprestasi di ajang internasional. Bagaimana tidak, dengan gagalnya Timnas lolos penyisihan grup AFF Cup 2014, berarti masa-masa kering prestasi sepak bola Indonesia (dalam hal ini Timnas Senior) telah berlangsung genap 23 tahun mengingat terakhir Tim Garuda meraih gelar juara pada SEA Games 1991 di Manila, Filipina.
Fakta tersebut mengingatkan saya pada sebuah gagasan alternatif untuk sepak bola Indonesia agar mampu bicara banyak di ajang internasional. Alternatif itu berupa wacana agar organisasi induk sepak bola nasional (PSSI) yang berada di bawah organisasi induk sepak bola Asia (AFC), berpindah ke konfederasi induk lain yang dianggap lebih ringan persaingannya. Adapun konfederasi yang dimaksud adalah Oceanian Football Confederation (OFC) yang beranggotakan negara-negara di Samudera Pasifik (Oseania).
Ide untuk pindah konfederasi sebetulnya bukan hal yang baru. Wacana ini sempat dilontarkan tahun 2013 oleh mantan Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI, Timo Scheunemann. Jauh sebelumnya lagi, entah kapan tahunnya, saya pernah membaca gagasan serupa yang disampaikan seseorang di rubrik surat pembaca di salah satu tabloid olahraga nasional.
Mari mencoba menakar kemungkinan PSSI pindah ke OFC. Secara geografis, letak Indonesia berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Jika Israel dan Kazakhstan yang 100% wilayahnya masuk Asia tapi bisa gabung UEFA, kenapa Indonesia yang sebagian wilayahnya ada di Pasifik tidak bisa ke OFC?
Secara rivalitas antar anggota, OFC tergolong lebih ringan dari Asia. Terlebih setelah keluarnya Australia yang sebelumnya begitu digdaya di zona tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kualitas sepak bola di negara-negara Oseania yang masih tertinggal dari region lainnya. Bila gabung OFC, peluang lolos ke Piala Dunia terbuka cukup lebar karena regulasi FIFA mensyaratkan juara kualifikasi OFC untuk play-off dengan wakil CONCACAF (Amerika Utara, Tengah dan Karibia) untuk memperebutkan satu tiket Piala Dunia. Hal ini lebih ringan dari kebijakan sebelumnya yang mengharuskan wakil OFC play-off dengan wakil CONMEBOL (Amerika Selatan).
Bukan hanya Piala Dunia, andaikan PSSI pindah ke OFC, peluang timnas tampil di ajang prestis lain seperti Olimpiade (untuk Tim U-23) dan kejuaraan-kejuaraan dunia kelompok umur (Piala Dunia U-20 dan U-17) juga terbuka lebar. Syaratnya adalah menjuarai kualifikasi pra-olimpiade (untuk Olimpiade) dan menjuarai kejuaraan-kejuaran junior regional OFC (untuk Piala Dunia U-20 dan U-17).
Sebagaimana sempat disebut sebelumnya, setelah keluarnya Australia, persaingan zona OFC relatif lebih seimbang. Selandia Baru yang dianggap tim terkuat pun tidak selalu mulus dalam bersaing kendati kualitas lawan-lawan di Oseania relatif dibawah mereka. Artinya, tidak ada superioritas mutlak di kawasan Oseania dalam sepak bola. Masih ingat Tahiti di Piala Konfederasi 2013 ? Mereka menjadi tim penggembira di ajang tersebut. Tapi mengapa mereka bisa lolos ke Piala Konfederasi? Karena mereka adalah juara OFC Nations Cup 2012...
Kembali ke sepak bola Indonesia. Entah faktor apa yang membuat timnas begitu sulit menjuarai sebuah turnamen. Di level Asia kita masih dibawah Asia Timur dan Timur Tengah. Di level Asia Tenggara yang levelnya relatif setara pun tetap sulit bersaing. Terlebih Piala AFF mendatang, ASEAN kedatangan rival baru dari selatan, langganan Piala Dunia: Australia. Sembari menata kompetisi dan pembinaan pemain muda secara intensif, tidak ada salahnya PSSI mempertimbangkan alternatif lain demi kepentingan Tim Nasional. Termasuk pindah konfederasi mungkin?

Minggu, 23 November 2014

Catatan Fakta Timnas di Piala AFF


Ajang Piala AFF,  yang telah berlangsung sejak 1996, merupakan turnamen sepakbola antar negara terbesar di Asia Tenggara. Level Piala AFF kian bergengsi setelah cabang sepak bola SEA Games diperuntukkan khusus pemain U-23 sejak 2001 silam. Hal ini membuat Piala AFF menjadi satu-satunya ajang resmi dimana tiap negara ASEAN (plus Timor Leste) mengirimkan timnas seniornya untuk berkompetisi menjadi yang terbaik di Asia Tenggara.
Tim Nasional Indonesia menjadi salah satu tim kuat yang tak pernah absen mengikuti turnamen dua tahunan itu. Sederet rekor pun telah ditorehkan Tim Merah-Putih sepanjang keikutsertaannya. Berikut adalah beberapa fakta menarik ihwal keikutsertaan Indonesia di Piala AFF yang dihimpun berdasar pengamatan saya sendiri, dan ditulis sehari pascalaga perdana Grup A Piala AFF 2014 yang berlangsung 22 November 2014. Silahkan disimak...

1.       Belum pernah juara, tapi selalu favorit

Source: bola.okezone.com 
Timnas Indonesia sudah mengikuti Piala AFF sejak edisi perdana 1996. Namun hingga edisi terakhir 2012 lalu, skuad Garuda belum pernah sekalipun mengangkat trophy juara. Hal yang cukup ironis mengingat Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara. Sebaliknya, negara mungil Singapura justru memegang rekor juara terbanyak di turnamen ini. Kendati demikian, Timnas Indonesia tetap dan selalu difavoritkan untuk menjuarai AFF Cup.

2.       Rekor runners-up

Source: www.kemenpora.go.id

Sepanjang keikutsertaan, Indonesia mencatatkan diri sebagai runners-up turnamen sebanyak 4 kali. Dari keempat rekor itu, tiga diantaranya diraih secara berturut-turut tahun 2000, 2002 dan 2004. Satu lagi diraih pada edisi tahun 2010. Silahkan anda telusuri, adakah negara AFF lain yang mancatatkan rekor tersebut?

3.       Beratnya Thailand dan Singapura

Source: www.youtube.com
     Dari beberapa kekuatan tradisional sepak bola Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand, dua negara terakhir boleh jadi adalah lawan yang paling sulit dikalahkan Indonesia. Sepanjang rekor pertemuan dengan Thailand di AFF, Tim Garuda baru mencatat dua kemenangan. Salah satunya diraih lewat adu penalti tahun 1998. Lawan Singapura tampaknya lebih berat lagi. Kemenangan 1-0 tahun 2012 lalu adalah satu-satunya kemenangan Garuda atas The Lions di ajang Piala AFF.

4.       Sering mengorbitkan “Rising Star”

Source: bola.republika.co.id

Indonesia sering mengorbitkan bintang baru di timnya pada beberapa edisi AFF Cup. Uniknya, tak jarang pula nama yang mengorbit di satu edisi malah menghilang di edisi turnamen berikutnya. Sebut saja Bambang Pamungkas yang menjadi top skor turnamen 2002 (8 gol), tapi tidak masuk skuad timnas pada AFF 2004. Boaz Solossa yang sempat fenomenal di AFF Cup 2004, tidak diikutsertakan pada AFF Cup 2007. Atep sempat mencuat pada edisi 2007, tapi menghilang pada 2008. Cristian Gonzales menjadi andalan tahun 2010, lagi-lagi menghilang edisi 2012. Begitu pula Andik Vermansyah yang mengkilat tahun 2012, tapi tidak masuk skuad tahun 2014.

5.       Torehan Top Skor Turnamen


Pada level individu, Tim Garuda punya rekor bagus sebagai kontestan yang paling sering melahirkan top skor turnamen. Dari 9 kali penyelenggaraan (1996-2012), Indonesia mencatatkan 4 pemainnya sebagai pencetak gol terbanyak di turnamen (jumlah yang sama dengan Thailand). Empat striker Indonesia yng pernah meraih sepatu emas AFF Cup yaitu Gendut Doni Christiawan (5 gol di AFF Cup 2000), Bambang Pamungkas (8 gol, 2002), Ilham Jayakesuma (7 gol, 2004) dan Budi Sudarsono (4 gol, 2008).

6.       Satu gelar Most Valuable Player

Souce: rimakusuma.blogspot.com
Berbeda dengan rekor top skor, Indonesia baru satu kali mencatatkan nama pemainnya sebagai pemain terbaik turnamen sepanjang keikutsertaan AFF Cup. Firman Utina menjadi pemain Indonesia pertama yang meraih golden ball turnamen AFF Cup pada 2010.

7.       Rekor lawan Vietnam

Source: www.article.wn.com
    Tulisan ini dibuat sehari pascalaga perdana Piala AFF 2014, antara Vietnam vs Indonesia yang berakhir imbang 2-2 (Sabtu, 22/11/2014). Hasil ini berarti memperpanjang rekor tak terkalahkan Indonesia atas Vietnam pasca Piala AFF 1996. Yup, sejak keikutsertaan Piala AFF 1996, Tim Garuda baru sekali kalah dari Vietnam saat jumpa perdana di perebutan juara ketiga Piala AFF 1996.


Sabtu, 25 Oktober 2014

Sepenggal Cerita Inspiratif (1)

Saya mendapatkan cerita ini dari seorang kawan yang memang sengaja disebarkan. Ceritanya cukup menarik. Tapi yang mengesankan setelah membaca, cerita ini mengingatkan saya pada sosok Stephen Hawking. Yup, sepertinya beliau perlu membaca cerita singkat ini. Hahaha...


DIALOG SEORANG PROFESOR YANG ATHEIS DALAM SEBUAH KELAS

Profesor: "Apakah Tuhan menciptakan segala yg ada?"
Para mahasiswa: "Betul, Dia pencipta segalanya."
Profesor: "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan juga menciptakan kejahatan."
(Semua terdiam, kesulitan menjawab hipotesis profesor itu).
Tiba-tiba suara seorang mahasiswa memecah kesunyian.
Mahasiswa: "Prof, saya ingin bertanya. Apakah dingin itu ada?"
Profesor: "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja, dingin itu ada."
Mahasiswa: "Maaf Prof, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yg kita anggap dingin sebenarnya adalah ketiadaan panas. Suhu -460 derajat Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Semua partikel menjadi diam, tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata 'dingin' untuk mengungkapkan ketiadaan panas. Selanjutnya, apakah gelap itu ada?"
Profesor: "Tentu saja ada!"
Mahasiswa "Anda salah, Prof! Gelap juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tiada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, sedangkan gelap tidak bisa. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk mengurai cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari panjang gelombang setiap warna. Tapi, Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur melalui berapa besar intensitas cahaya di ruangan itu. Kata 'gelap' dipakai manusia untuk menggambarkan keadaan ketiadaan cahaya. Jadi, apakah kejahatan itu ada?"
Profesor mulai bimbang, tapi menjawab: "Tentu saja ada."
Mahasiswa: "Sekali lagi anda salah, Prof! Kejahatan itu tidak ada. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Seperti dingin dan gelap, 'kejahatan' adalah kata yg dipakai manusia untuk menggambarkan ketiadaan 'kebaikan' dalam dirinya. Kejahatan adalah hasil dari tidak dihiraukannya kehadiran Tuhan dalam hati manusia."
Profesor terpaku dan terdiam.

※ Dosa terjadi karena manusia lalai akan hadirnya Tuhan dalam hatinya. Menjaga kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hati pada setiap saat, maka akan selamat. Itulah IMAN. Dosa lahir saat IMAN tidak berada dalam hati.



Kamis, 09 Oktober 2014

Men's Badminton Dream Team by Aliyonk


Pada kesempatan kali ini saya mencoba menyusun sebuah tim bulutangkis beregu putra yang terdiri dari pemain-pemain terbaik abad ke-21. Tim ini tersusun dari 3 tunggal utama, 2 ganda utama, 1 tunggal pelapis dan 1 ganda pelapis. Berikut adalah susunan pemain tim beregu putra impian versi saya sendiri, check it out...

Tunggal pertama

Source: http://devids.net/

Tunggal pertama berperan sebagai ujung tombak andalan tim. Untuk posisi ini saya percayakan pada sang raja bulutangkis saat ini, Lin Dan. Yup, nama satu ini jelas tak asing lagi bagi para pecinta olahraga tepok bulu. Dialah pemegang rekor 5 kali juara dunia (2006, 2007, 2009, 2011 dan 2013), dua kali berturut-turut juara Asian Games 2010 dan 2014 serta dua kali berturut-turut pula juara Olimpiade 2008 dan 2012. Belum lagi jumlah gelar super series yang berhasil diraih sepanjang karirnya yang tentu tak sedikit jumlahnya. 
Sederet prestasi Lin Dan bukan hanya berhenti pada nomor individu, tapi juga tim. Bersama tim bulutangkis putra Tiongkok, suami mantan pebulutangkis Xie Xinfang ini telah berhasil menjuarai Piala Thomas 5 kali berturut-turut (2004, 2006, 2008, 2010, 2012) sekaligus menyamai rekor Indonesia yang sebelumnya mampu mencatatkan streak yang sama. Di tim beregu campuran pun Super Dan mampu membawa negaranya 4 kali berturut-turut merajai Sudirman Cup (2005, 2007, 2009, 2011). Tidaklah heran bila pemain kelahiran 14 Oktober 1983 itu disebut-sebut sebagai pemain dengan gelar terlengkap.
Dilihat dari prestasi individunya, saya rasa Lin Dan adalah kandidat kuat “Rudy Hartono Abad 21”. Dulu Rudy Hartono mampu menjuarai All England sebanyak 8 kali, rentang tahun 1968-1976. Kala itu bulutangkis belum dipertandingkan di Olimpiade dan Kejuaraan Dunia BWF juga belum ada. Jadi All England merupakan kejuaraan bulutangkis level tertinggi pada masa itu.
Berbeda dengan era sekarang dimana ada dua event akbar bulutangkis: BWF World Championship dan Olympic Games. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Lin Dan telah mengumpulkan 5 gelar juara dunia BWF dan 2 medali emas Olimpiade. Bila dikalkulasi, maka legenda hidup bulutangkis Tiongkok itu telah menorehkan 7 gelar world major tournaments. Bila sekali lagi ia meraih juara dunia BWF atau medali emas Olimpiade, maka tak salah jika menyebut Lin sebagai “Rudy Hartono abad 21”.

Ganda pertama

Source: http://sports.163.com/
Beralih ke nomor ganda. Disini lagi-lagi diisi oleh punggawa Tiongkok, kali ini adalah pasangan Cai Yun/Fu Haifeng. Kedua nama tersebut adalah pasangan ganda putra tersukses saat ini, meski keduanya tak lagi berpasangan sejak akhir 2013 (sempat kembali berpasangan pada di Asian Games 2014). Cai Yun/Fu Haifeng  adalah salah satu ganda putra yang paling disegani dunia. Mereka mencatatkan rekor 4 kali juara dunia BWF (2006, 2009, 2010, 2011) dan 1 medali emas Olimpiade 2012. Belum pernah ada dalam sejarah ada pasangan ganda putra yang mampu menorehkan prestasi segemilang Cai dan Fu.
Keberhasilan pasangan tersebut kala meraih medali emas Olimpiade 2012 juga menyisakan cerita tersendiri. Pada edisi sebelumnya, yakni Olimpiade 2008, pasangan Tiongkok ini gagal memenuhi ambisi juara di kandang sendiri setelah dikalahkan pasangan nomor satu dunia asal Indonesia kala itu, Markis Kido/Hendra Setiawan.
Namun berkat konsistensi dan determinasi yang kuat, Cai/Fu mampu membayar lunas kegagalan tersebut pada empat tahun berikutnya. Tepatnya pada Olimpiade London 2012, Cai Yun/Fu Haifeng kembali menembus final sekaligus meraih medali emas olimpiade pertama sepanjang sejarah bagi ganda putra Tiongkok. Bukan hanya itu, Negeri Tirai Bambu pun sukses menorehkan sejarah sebagai negara pertama yang menyapu bersih medali emas di semua nomor bulutangkis Olimpiade.

Tunggal kedua

Source: http://thediplomat.com/
Selanjutnya adalah tunggal kedua. Posisi ini diisi oleh legenda hidup bulutangkis Malaysia, siapa lagi kalau bukan Lee Chong Wei. Pebulutangkis bergelar “Dato” ini tercatat sebagai pemain tunggal putra paling banyak mengoleksi gelar super series. Namun yang mengherankan dari pria kelahiran 21 Oktober 1982 ini, ia begitu sulit menjuarai turnamen sekelas BWF World Championship dan Olimpiade. Chong Wei dua kali berturut-turut gagal meraih medali emas Olimpiade setelah ditaklukkan lawan yang sama, Lin Dan.
Di Kejuaraan Dunia BWF pun sang Dato baru saja mencatatkan hattrick tak menyenangkan: tiga kali berturut-turut menjadi runner up. Setelah dua kali dikalahkan seteru abadinya, Lin Dan, tahun 2011 dan 2013, tahun 2014 ia kembali harus gigit jari setelah ditaklukkan Chen Long (Tiongkok) di babak final.
Kendati demikian, Chong Wei tetaplah seorang legenda. Di usianya yang kini tak lagi muda, besar kemungkinan Malaysia akan kesulitan mencari pengganti yang sepadan kelak jika Lee Chong Wei pensiun.

Ganda kedua

Source: http://www.antarafoto.com/

Berlanjut ke ganda kedua. Posisi ini diisi oleh pasangan juara Olimpiade 2000 asal Indonesia, Candra Wijaya/Tony Gunawan. Sebetulnya Indonesia punya cukup banyak pemain hebat di ganda putra mengingat negara ini memang punya tradisi kuat di sektor tersebut. Namun saya memilih pasangan Candra/Tony karena keduanya juga sukses ketika dipasangkan dengan partner yang berbeda.
Setahun setelah meraih medali emas bersama Candra, Tony Gunawan kembali sukses menjuarai Kejuaraan Dunia 2001 bersama partnernya kala itu, Halim Haryanto Ho. Begitupun Candra Wijaya. Ia bahkan telah lebih dahulu merasakan manisnya juara dunia bersama Sigit Budiarto tahun 1997.
Menariknya, pada Kejuaraan Dunia 2005, kedua pasangan juara Olimpiade itu kembali dipertemukan di final. Namun mereka tidak dipertemukan sebagai partner, melainkan sebagai lawan. Tony Gunawan yang telah berganti warga negara Amerika Serikat sejak 2002, berpasangan dengan Howard Bach dan berhasil mengukir prestasi setelah menjuarai Kejuaraan tersebut dengan mengalahkan pasangan Candra Wijaya/Sigit Budiarto (Indonesia) di final.

Tunggal ketiga

Source: http://www.khelnama.com/
Ini dia legenda hidup sekaligus superstar bulutangkis Indonesia, Taufik Hidayat. Pemain yang baru pensiun 2013 itu terkenal dengan backhand smash-nya yang keras. Namanya telah masuk dalam Pelatnas Cipayung sejak 1996. Pada All England 1999, Taufik Hidayat mencatatkan namanya sebagai Finalis termuda sepanjang sejarah kejuaraan bulutangkis tertua di dunia itu. Taufik, yang kala itu masih berusia 17 tahun, berhasil melaju hingga babak final sebelum akhirnya dihentikan oleh Peter Hoeg Gade, legenda bulutangkis Denmark. Sayang, meski sempat menorehkan rekor sebagai finalis termuda sepanjang sejarah All England, sampai akhir karirnya ia tidak pernah sekalipun mencicipi juara di kejuaraan yang berlangsung di Inggris tersebut.
Meski demikian, Taufik adalah pemain tunggal putra pertama di dunia yang mampu meraih juara Olimpiade dan Kejuaraan Dunia secara berturut-turut (Olimpiade 2004 dan Kejuaraan Dunia 2005). Selain itu ia juga dua kali berturut-turut meraih medali Asian Games 2002 dan 2006, serta dua kali pula meraih emas SEA Games 1999 dan 2007.
Di level tim beregu, pria asal Pandeglang itu berhasil mengantarkan Tim Indonesia dua kali berturut juara Piala Thomas 2000 dan 2002. Sejauh ini belum ada pemain Indonesia yang mampu meraih sederet prestasi sebagaimana yang telah diukir seorang Taufik Hidayat.

Tunggal keempat

Source: http://news.xinhuanet.com/
Sulit menentukan pemain yang layak mengisi pos palapis ini. Banyak sekali pemain-pemain tunggal nan handal dari berbagai negara di dunia. Namun saya masih kurang sreg dengan Peter Hoeg Gade (Denmark) meski ia terhitung living legend bulutangkis dunia. Setlah menimbang-nimbang beberapa nama, akhirnya pilihan saya jatuhkan sosok pebulutangkis yang lagi-lagi berasal dari Negeri Tiongkok, Chen Jin.
Nama Chen Jin memang tidak se-impresif Lin Dan, Lee Chong Wei, Taufik Hidayat maupun Peter Hoeg Gade. Karirnya sebagai atlet pun tergolong singkat mengingat Chen Jin memutuskan gantung raket di usia muda karena dibekap cedera. Ya, pria bertinggi 182 cm ini memutuskan pensiun di usia yang seharusnya merupakan masa-masa emas dalam karirnya, 26 tahun.
Namun dalam rentang masa karirnya yang tak panjang itu bukan berarti tak ada prestasi yang menonjol. Di usia remaja, Chen Jin sudah merasakan manisnya dua gelar juara pada Kejuaraan Dunia Junior 2002 dan 2004. Karirnya pun terus menanjak dari waktu ke waktu. Berbagai torehan prestasi berhasil diraihnya baik individu maupun bersama tim beregu Tiongkok.
Chen Jin adalah peraih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. Dua tahun kemudian ia mencatatkan namanya sebagai sebagai Juara Dunia BWF 2010. Bersama Tim Tiongkok pun ia turut menyumbang tenaga atas kedigdayaan Tiongkok meraih Piala Thomas 5 kali beruntun kurun 2004-2012. Sayang, cedera yang ia alami tahun 2012 lalu telah merenggut karirnya sekaligus menghentikan lajunya dalam mengumpulkan torehan prestasi. Kendati demikian, dedikasi Chen Jin terhadap olahraga yang membesarkan namanya tak turut usai. Ia kini menjadi pelatih tunggal putri tim bulutangkis negaranya.

Ganda ketiga
                                                                           
 
Source: http://in.victorsport.com/
Source: http://cicilasari.blogspot.com/
Terakhir untuk ganda pelapis, saya memasang dua pemain dari dua negara berbeda. Pasangan ganda ini adalah Lee Yong-dae/Hendra Setiawan. Lee berasal dari Korea Selatan sedangkan Hendra tentu saja sudah kita kenal sebagai pemain ganda Indonesia.
Lee Yong-dae adalah pemain ganda Korsel yang bermain di dua nomor sekaligus, putra dan campuran. Ia adalah peraih medali emas Olimpiade 2008 di nomor ganda campuran. Lee menorehkan gelar prestisius itu bersama Lee Hyo-jung sebagai partnernya. Hebatnya, ia mendapatkan gelar itu di usia yang masih terhitung 19 tahun!
Di nomor ganda putra, pria kelahiran 11 September 1988 itu bahkan lebih gemilang. Masuk papan peringkat dunia BWF seolah merupakan hal yang akrab baginya, baik saat berpartner dengan Jung Jae-sung maupun sekarang bersama Yoo Yeon-seong.
Hendra Setiawan? Rasanya saya tak perlu menjelaskan panjang lebar. Ia adalah penerus tradisi kejayaan ganda putra Indonesia dengan menjadi juara dunia 2007, meraih medali emas Olimpiade 2008 dan medali emas Asian Games 2010 bersama Markis Kido, serta juara dunia 2013 dan meraih medali emas Asian Games 2014 bersama Muhammad Ahsan. Artinya, Hendra Setiawan telah dua kali berturut-turut meraih medali emas Asian Games dan dua kali juara dunia bersama dua partner berbeda. 

Bonus Video






Kamis, 25 September 2014

Dentingan Dawai si Kembar nan Piawai


Sekedar sharing tentang duet pemain musik asal Amerika Serikat, Camille Kitt dan Kennerly Kitt. Keduanya adalah saudara kembar identik. Bukan hanya kembar secara fisik, mereka pun juga memiliki bakat yang identik: memainkan harpa elektrik. Keunikan dua gadis berambut pirang itu tidak berhenti pada penampilan fisik dan kebolehan yang serupa. Musik-musik yang dimainkan keduanya banyak diambil dari lagu-lagu pop, rock dan soundtrack film-film terkenal.
Tanpa merubah aransemen aslinya, mereka mampu memainkan musik dan lagu komersial menjadi alunan musik harpa yang enak didengar di kala santai. Mulai lagu-lagu grup rock legendaris seperti Led Zeppelin, Scorpion, Bon Jovi, Iron Maiden, Guns N’Roses, hingga lagu-lagu yang dibawakan Rihanna, Taylor Swift, Lady GaGa dan sebagainya. Tidak ketinggalan pula musik soundtrack film seperti Star Wars, Game of Thrones, The Lord of The Rings serta game konsol macam Mario Bross dan Final Fantasy yang tidak luput dari kreasi mereka.
Musik-musik kedua harpist itu diunggah di youtube melalui akun resmi mereka. Camille dan Kennerly Kitt juga biasa membuat kreasi musik berdasar request penggemar mereka melalui facebook. Nah, seperti apa performa si kembar berbakat ini? Silahkan simak video-video berikut ini.















Enam video diatas hanya sebagian kecil dari kumpulan video klip musik mereka. Bila anda ingin lebih, silahkan buka youtube atau langsung berlangganan akun resmi youtube Camille and Kennerly Kitt, https://www.youtube.com/channel/UC5X8wA2pn9sbD765c-rmkMg . Enjoy...




Rabu, 17 September 2014

La Cita (12.1.d)

"I never wanted to be the next Bruce Lee, I just wanted to be the first Jackie Chan."
          - Jackie Chan - 



Sabtu, 13 September 2014

Infrastruktur Maritim, Menepis Ironi di Negeri Bahari



Poros maritim dunia. Gagasan cemerlang dari pemimpin yang baru datang: Insinyur Joko Widodo. Sosok yang terkenal dengan berbagai gebrakannya itu mewacanakan sebuah visi yang bertujuan mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebuah negara dimana sebagian besar wilayah berupa perairan, maka sudah sepatutnya mampu mengoptimalisasi laut untuk kemakmuran bangsanya. Salah satu rencana aksi untuk mewujudkannya adalah dengan memperkuat infrastruktur untuk menunjang kelancaran kegiatan ekonomi kelautan, pelabuhan.[1]

Source : http://www.terradaily.com/

Letak geografis Indonesia memang sangat strategis, terutama untuk jalur perdagangan internasional. Dari 7 selat strategis dunia, 4 diantaranya berada di wilayah negeri ini: Selat Sunda (Alur Laut Kepulauan Indonesia/ALKI I), Selat Lombok, Selat Makassar (ALKI II) dan Selat Malaka.[2]Untuk nama terakhir bahkan dijuluki “selat sepanjang masa” karena di selat tersebut telah ramai dilintasi kapal-kapal dagang dari seluruh dunia sejak ratusan tahun silam.
Kejayaan Bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim telah tercatat dalam sejarah emas peradaban nusantara. Anda bisa telusuri bagaimana kedigdayaan Sriwijaya, kehebatan Majapahit, kejayaan Banten dengan pelabuhan Karangantu-nya, hingga ramainya pelabuhan Sabang era 1800-an yang semuanya menjadikan laut sebagai penunjang majunya peradaban, tak terlepas pula peran infrastruktur pelabuhan.
Tetapi zaman kini telah berubah. Wilayah perairan kepulauan negeri ini memang masih ramai dilintasi kapal-kapal. Hanya saja, negara tempat bernaungnya bangsa yang dulu begitu jaya tadi belum mampu mengoptimalkan potensi bahari yang dimiliki. Untuk urusan pelabuhan, kualitas dan kuantitas yang dimiliki Indonesia tertinggal cukup jauh dari para tetangga. Ambillah Selat Malaka sebagai jalur pelayaran tersibuk di dunia. Indonesia cenderung hanya menjadi hinterland dari negara-negara lain yang meraup banyak keuntungan dari “selat sepanjang masa”.
Hal ini dapat dilihat dari komparasi pelabuhan yang ada di pesisir selat malaka. Jangan lihat pelabuhan Batu Ampar Batam yang berkapasitas 200 ribu TEUS disandingkan dengan Port of Singapore Authority yang berkapasitas 30 juta TEUS! Pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Malaya memiliki kapasitas dan kualitas jauh lebih baik dari yang ada di Sumatera. Menurut data 50 pelabuhan teramai di dunia tahun 2012, pelabuhan Port Klang (Selangor, Malaysia) mampu menembus ranking 12 dengan total peti kemas yang ditampung 10 juta TEUS. Pelabuhan Tanjung Pelepas (Johor, Malaysia) berada di ranking 19 dengan total 7,7 juta TEUS.[3] Sumatera? Sayangnya tidak ada satupun pelabuhan di pulau tersebut yang masuk 50 besar.Padahal fakta menunjukkan bahwa tingkat kepadatan atau kesibukan pelabuhan peti kemas merupakan cermin denyut perekonomian daerah yang bersangkutan. Sebut saja kota-kota sekelas Shanghai, Hong Kong, Singapura, Shenzhen, Hamburg, Los Angeles, anda bisa telusuri bagaimana pelabuhan mereka.
Kembali ke visi poros maritim. Wacana tersebut agaknya telah memberi angin segar bagi pembangunan infrastruktur kepelabuhanan, karena salah satu instrumen untuk mewujudkannya adalah dengan konsep Tol Laut. Konsep ini sebetulnya mirip dengan konsep “Pendulum Nusantara” karena esensinya adalah mengintegrasikan jalur pelayaran di pelabuhan-pelabuhan utama ke dalam satu kesatuan sistem logistik.[4]Konsep ini diyakini akan menekan biaya produksi yang berimbas pada turunnya harga produk/barang.

Source : http://finance.detik.com/

Selain itu, lebih penting lagi adalah mengurangi ketimpangan pembangunan antara kawasan Indonesia Barat dan Timur yang bermuara pada pemerataan.Dengan adanya pelabuhan besar, terutama di Indonesia Timur, maka diharapkan dapat berimplikasi pada tumbuhnya industri-industri baru di daerah tersebut yang tentunya berkontribusi besar pada peningkatan perekonomian setempat. Agaknya tanda-tanda ke arah itu mulai terlihat. Sebut saja rencana pembangunan industri di sejumlah tempat di Papua.[5],[6]
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan sejumlah pelabuhan di Indonesia sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus, baik pelabuhan utama seperti Belawan, Tanjung Sauh, Kalibaru (New Priok), Tanjung Perak, Makassar dan Sorong, maupun pelabuhan penunjang lain seperti dibukanya kembali Pelabuhan Bebas Sabang, Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung, Pelabuhan Maloy dan juga Pelabuhan Hub Internasional Bitung.
Sudah terlalu lama negara ini berkutat dalam ironi. Sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, berada di jalur persimpangan pelayaran dunia, tetapi justru bergantung pada negara pulau kecil di mulut semenanjung untuk berdagang dengan bangsa lain. Berdikari di bidang ekonomi merupakan prinsip yang harus dipegang dan dijalankan dengan konsekuen, termasuk mandiri dalam kepemilikan infrastruktur guna memenuhi kepentingannya sendiri. Dan bukan berapa juta TEUS kapasitas pelabuhan yang bisa dibangun, atau berapa banyak kapal yang bersandar sebagai parameter. Tetapi seberapa besar pembangunan pelabuhan-pelabuhan itu berkorelasi terhadap industrialisasi, berapa banyak lapangan kerja yang tercipta, berapa banyak tenaga kerja yang terserap, mengurangi disparitas secara signifikan dan mewujudkan pemerataan pembangunan di segala penjuru negeri. 


Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...