Rabu, 22 Juni 2016

(Menatap) Jakarta


Pixabay

Aku di kotamu, Jakarta...
Megapolitan dunia di rantau nusantara
Sebelas juta jiwa
Sebelas juta cerita
Pernah sayup terdengar dari mereka
Pesonamu cuma uang dan uang
Adakah uang-uang itu memancarkan gaya?
Gaya magnet yang menarik mereka
Untuk datang berkalang mimpi dan asa
Memenuhi kotamu yang bersimbah asam arang?

Kiranya ini takdir yang terbentuk
Sekalipun kau sembunyi di cerukan teluk
Tapi selat strategis tak jauh darimu
Jalur ramai kapal dari segala penjuru
Dan ceruk teluk liang sembunyimu
Justru itulah yang kapal-kapal itu buru
Sejak zaman yang sudah sangat dulu
Selepas masa Karang Antu

Jakarta, di kotamu ini dulu
Berabad-abad yang telah berlalu
Orang-orang barat singgah di tanahmu
Berdagang sembari berkoloni 
Bernafaskan nafsu imperialistis menggebu
Menguasai hajat seluruh pewaris sahmu

Tidakkah kau ingat?
Ketika sang Pangeran terusir dari singgasana
Bersembunyi di hutan jati pinggir sungai
Lalu membangun harapannya kembali
Sembari lanjutkan ikhtiarnya yang suci?

Atau tidakkah kau ingat?
Peristiwa epik ratusan tahun silam
Ketika laskar-laskar berpanji Mataram
Bersimbah darah bertaruh nyawa
Di medan laga Sungai Marunda?

Mereka semua
Rela pertaruhkan itu semua
Dengan tujuan yang sama:
Membebaskan tanahmu yang mulia 
Dari belenggu pasung para penjajah!

Kaulah saksi bisu, yang paling sejati
Rangkaian momen heroik putra-putri pertiwi
Sebagai martir-martir revolusi
Berjiwa gelora determinasi tak bertepi
Hingga tibalah kemerdekaan di suatu hari
Yang kemudian kita nikmati sampai hari ini

Jakarta, kulihat kotamu kini telah menggila...
Terlena pembangunan masif merajalela
Berpacu iringi arus zaman
Episentrum ekonomi dan "seni segala kemungkinan"

Gedung-gedung pencakar mega
Jalan-jalan menjalar hingga sudut-sudut kota
By pass, underpass, fly over, rel dan lebuh raya
Dan jangan lupa proyek-proyek ambisius menggelora
Itulah rona wajahmu kini, Durian Besar...

Maafkan aku tak bermaksud antimodernitas
Tapi tak adakah yang mengingatkanmu
Bagaimana kabar sungai-sungaimu
Pesisir-pesisir pantaimu
Dimana hutan dan kebunmu yang dulu
Tidakkah kau muliakan bumimu
Serta budaya luhur pendahulu-pendahulumu?

Semoga tiada lupa atau masa bodoh darimu...
Karena semua ihwal jati dirimu
Jati diri sebuah ibukota
Dari negara yang berbhineka, berbudaya dan berketuhanan
Dan kau adalah cerminan
Maka janganlah sekali-kali kau nafikan

Tiada terlambat 'tuk sadar menghela
Kiranya semua akan mengamininya
Jadilah kau megapolitan madani dunia
Megapolitan yang humanis, asri dan berbudaya
Bukan cuma sarang hedonisme belaka


Cempaka Baru, 8 Juni 2016
Written by: Ali-Aliyonk


Minggu, 19 Juni 2016

Agama Terbaik di Dunia?

Ketika sesi reses sebuah acara diskusi tentang agama dan kebebasan, Dalai Lama mendapat pertanyaan yang menggelitik dari Leonardo Boff tentang agama apa yang paling baik di dunia. Leonardo sendiri adalah seorang tokoh renovator teologi pembebasan Amerika Latin yang berasal Brazil. Berikut dialog mereka, antara Leonardo (L) dan Dalai Lama (D):

L : “Menurut anda, agama apa yang terbaik di dunia ini?”

Leonardo berpikir jawaban yang akan ia terima adalah Buddha dari Tibet atau agama-agama timur yang usianya lebih tua dari Kristianitas.

D : (tersenyum seraya menatap Leonardo) “Agama terbaik di dunia adalah yang lebih mendekatkan diri anda pada cinta, yaitu agama yang membuat anda menjadi orang yang lebih baik.”

Sambil menutup rasa malu, Leonardo kembali bertanya.

L : “Apa tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik?”

D : “Agama apapun yang bisa membuat anda lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggung jawab, lebih beretika, agama yang punya kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik.”

Leonardo terdiam sejenak dan terkagum-kagum atas jawaban yang bijak dan tak terbantahkan itu. Dalai Lama lalu kembali melanjutkan,

D : “Kawan, tak penting bagi saya apa agamamu, tak peduli anda beragama atau tidak. Yang betul-betul penting bagi saya adalah perilaku anda di depan kawan-kawan anda, di depan keluarga, lingkungan kerja, dan dunia.

Ingat, alam semesta akan menggaungkan apa yang sudah kita lakukan dan pikirkan. Hukum aksi dan reaksi tidak ekslusif hanya untuk ilmu fisika, melainkan juga untuk hubungan antarmanusia. Jika saya berbuat baik, akan menerima kebaikan. Jika saya jahat, maka saya pun akan mendapatkan keburukan yang sama.”

Menurut Dalai Lama, apa yang telah disampaikan nenek moyang kita adalah kebenaran murni. Dalai Lama lantas menegaskan.

D : “Anda akan mendapatkan apa saja yang anda inginkan untuk orang lain. Dan menjadi bahagia bukanlah persoalan takdir, melainkan pilihan.”

Dan akhirnya Dalai Lama menutup:

“Jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu

Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu

Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu

Jagalah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu

Jagalah karaktermu, karena akan menjadi nasib/kammamu

Jadi, nasib/kammamu berawal dari pikiranmu, dan tak ada agama yang lebih tinggi daripada  kebenaran.”



Disadur dari: http://health.liputan6.com/read/2258491/agama-yang-paling-baik-di-dunia
                                              

Jumat, 10 Juni 2016

La Cita (12.1.v)

"Everyone just like the mosaic artwork. You can't value them by looking at only one part. You have to find the other parts by knowing them closer, by heart to heart, until you can see the full shape of its mosaic."
         - Aliyonk -

Rabu, 01 Juni 2016

(Penuturan) Kisah Bung Karno dibawah Pohon Sukun Pesisir Ende

"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."

Dari hasil kontemplasinya dibawah rindang Pohon Sukun tersebut, Bung Besar menemukan ilham yang beliau sebut "5 butir Mutiara". Kelak, 5 butir mutiara itu kita kenal (sampai hari ini) dengan nama Pancasila...


Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...