Senin, 22 Desember 2014

Makna Surga di Telapak Kaki Ibu

Source: kabaraku.com

Hari Ibu, 22 Desember. Berbeda dengan Hari Ibu Sedunia yang jatuh pada 13 Mei, Indonesia punya hari tersendiri untuk memperingatinya. Hampir semua orang merayakan Hari Ibu dengan berbagai cara. Mulai dari cara formal seperti upacara bendera, hingga sekedar mengungkapkan ekspresi dan pesan lewat sosial media yang didedikasikan kepada ibunda tercintanya masing-masing.
Sosok Ibu memang sangat berarti bagi setiap insan. Peringatan Hari Ibu kali ini pun mengingatkan saya akan nasehat yang pernah saya terima dari mendiang salah satu anggota keluarga besar saya tentang peran seorang ibu. Lewat tulisan inilah saya coba berbagi apa yang terkandung dalam nasehat dimaksud, meski bila kita menyisir sejarah, akar historis peringatan Hari Ibu 22 Desember lebih bernuansa Nasionalis ketimbang kesan/pesan moral keibuan secara personal pada umumnya (in my opinion).
Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan “Surga di telapak kaki Ibu”. Sebagian besar kalangan menafsirkan bahwa salah satu kunci yang menentukan layak tidaknya seseorang masuk Surga adalah bagaimana tingkat ketaatan orang itu terhadap ibunya, atau bagaimana sikap orang itu dalam memperlakukan sosok yang melahirkannya.
Semua pasti setuju dengan pandangan tersebut. Akan tetapi seseorang yang sempat saya sebut diatas, beliau punya perspektif tersendiri dalam memaknai ungkapan Surga di Telapak Kaki Ibu. Meskipun saya rasa beliau juga setuju dengan pandangan kolektif yang cenderung mengedepankan peran anak terhadap ibunya, beliau menginterpretasikan bahwa penentu surga bagi seorang atau setiap anak justru lebih ditentukan oleh peranan sang Ibu.
Bila kita mengikuti pendapat pertama yang menitikberatkan peran anak terhadap ibu, bagaimana jika ibunya yang tidak baik? Nah, inilah yang mendasari pendapat kedua yang lebih menitiberatkan peran ibu sebagai penentu surga bagi anak. Sekali lagi, surga di telapak kaki ibu. Ungkapan ini cenderung analogis. Kemanapun ibu melangkah, maka ke arah yang samalah anak mengikuti. Karena bagaimanapun, sosok ibu adalah panutan bagi anak-anaknya.
Jikalau ada sosok ibu dengan kepribadian yang buruk, baik sikap maupun perbuatannya, maka akan mendatangkan dua kemungkinan bagi anaknya: ikut mewarisi keburukan ibunya (sadar maupun tidak sadar) atau hilangnya respek terhadap ibunya sebagai buah kekecewaan terhadap sosok yang seharusnya menjadi panutan, sehingga berdampak buruk pula terhadap sikap dan perilaku anak dalam kesehariannya. Contohnya? Ah, anda bisa mengimajinasikan sendiri.
Sebaliknya, jika sosok ibu dengan kepribadian yang baik, menjauhkan anak-anaknya dari dosa, membimbing anak-anaknya di jalan yang lurus menuju cita-citanya, maka anak-anaknya akan mengikuti atau mewarisi kebaikan sang ibu. Dan bagaimana jadinya si anak sebagai hasil didikan ibunya, ending-nya pasti akan manis pada waktunya. Terdengar klise, tapi memang itulah keniscayaan.
Demikian catatan singkat saya dalam rangka Hari Ibu ke-86 yang jatuh tanggal 22 Desember 2014. Semoga dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang menyimak. Sebagai penutup, berikut saya sajikan video berisi pesan Hari Ibu dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Selamat Hari Ibu!






1 komentar:

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...