Source: kabaraku.com |
Hari Ibu, 22 Desember. Berbeda
dengan Hari Ibu Sedunia yang jatuh pada 13 Mei, Indonesia punya hari tersendiri
untuk memperingatinya. Hampir semua orang merayakan Hari Ibu dengan berbagai
cara. Mulai dari cara formal seperti upacara bendera, hingga sekedar
mengungkapkan ekspresi dan pesan lewat sosial media yang didedikasikan kepada
ibunda tercintanya masing-masing.
Sosok Ibu memang sangat berarti
bagi setiap insan. Peringatan Hari Ibu kali ini pun mengingatkan saya akan
nasehat yang pernah saya terima dari mendiang salah satu anggota keluarga besar
saya tentang peran seorang ibu. Lewat tulisan inilah saya coba berbagi apa yang
terkandung dalam nasehat dimaksud, meski bila kita menyisir sejarah, akar
historis peringatan Hari Ibu 22 Desember lebih bernuansa Nasionalis ketimbang
kesan/pesan moral keibuan secara personal pada umumnya (in my opinion).
Kita semua tentu pernah mendengar
ungkapan “Surga di telapak kaki Ibu”. Sebagian besar kalangan menafsirkan bahwa
salah satu kunci yang menentukan layak tidaknya seseorang masuk Surga adalah
bagaimana tingkat ketaatan orang itu terhadap ibunya, atau bagaimana sikap
orang itu dalam memperlakukan sosok yang melahirkannya.
Semua pasti setuju dengan
pandangan tersebut. Akan tetapi seseorang yang sempat saya sebut diatas, beliau
punya perspektif tersendiri dalam memaknai ungkapan Surga di Telapak Kaki Ibu.
Meskipun saya rasa beliau juga setuju dengan pandangan kolektif yang cenderung
mengedepankan peran anak terhadap ibunya, beliau menginterpretasikan bahwa
penentu surga bagi seorang atau setiap anak justru lebih ditentukan oleh
peranan sang Ibu.
Bila kita mengikuti pendapat
pertama yang menitikberatkan peran anak terhadap ibu, bagaimana jika ibunya
yang tidak baik? Nah, inilah yang mendasari pendapat kedua yang lebih menitiberatkan
peran ibu sebagai penentu surga bagi anak. Sekali lagi, surga di telapak kaki ibu.
Ungkapan ini cenderung analogis. Kemanapun ibu melangkah, maka ke arah yang
samalah anak mengikuti. Karena bagaimanapun, sosok ibu adalah panutan bagi
anak-anaknya.
Jikalau ada sosok ibu dengan
kepribadian yang buruk, baik sikap maupun perbuatannya, maka akan mendatangkan
dua kemungkinan bagi anaknya: ikut mewarisi keburukan ibunya (sadar maupun
tidak sadar) atau hilangnya respek terhadap ibunya sebagai buah kekecewaan
terhadap sosok yang seharusnya menjadi panutan, sehingga berdampak buruk
pula terhadap sikap dan perilaku anak dalam kesehariannya. Contohnya? Ah,
anda bisa mengimajinasikan sendiri.
Sebaliknya, jika sosok ibu dengan
kepribadian yang baik, menjauhkan anak-anaknya dari dosa, membimbing
anak-anaknya di jalan yang lurus menuju cita-citanya, maka anak-anaknya akan mengikuti atau mewarisi kebaikan sang ibu. Dan bagaimana jadinya si anak sebagai hasil didikan ibunya, ending-nya pasti akan manis pada waktunya. Terdengar klise, tapi memang itulah keniscayaan.
Demikian catatan singkat saya
dalam rangka Hari Ibu ke-86 yang jatuh tanggal 22 Desember
2014. Semoga dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang menyimak. Sebagai penutup, berikut saya sajikan video berisi pesan Hari Ibu dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Selamat Hari Ibu!
anies ayo bangun jakarta
BalasHapussabung ayam taji