Tahun 2015. Republik Indonesia memperingati hari jadinya yang ke-70. Sebuah usia yang terhitung tua untuk negara yang lahir pasca Perang Dunia II. Selama 70 tahun itu pula, Tuhan memberi amanat Republik ini untuk merawat dan mengelola berbagai kekayaannya, berupa potensi alam dan heterogenitas manusia-manusianya. Perlu diingat, kekekayaan-kekayaan tersebut bukanlah sesuatu yang baru untuk dimiliki republik ini. Kekayaan-kekayaan tadi merupakan warisan yang didapat dari peradaban-peradaban yang terlebih dahulu ada, jauh sebelum lahirnya republik ini.
Ya, sudah sejak dahulu kala tanah air kita memiliki potensi alam dan kemajemukan masyarakat yang sama hebatnya. Penghuni Nusantara adalah sekumpulan manusia yang beranekaragam suku, budaya, agama dan kepercayaan. Mereka hidup membaur antara satu dengan lainnya tanpa memandang perbedaan sebagai halangan, terlebih ancaman.
Source: https://blogbiografi.wordpress.com/ |
Termasuk pula dalam hal ini adalah kerukunan antar umat beragama. Bangsa kita adalah bangsa yang religius. Tetapi bukan berarti negaranya berupa Negara Agama atau Teokrasi, melainkan bangsa kita adalah bangsa yang percaya akan adanya Tuhan. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan sejarah seperti bangunan Punden Berundak yang diyakini sebagai tempat pemujaan terhadap "Kekuatan Besar". Sehingga ketika agama Hindu dan Buddha dibawa masuk oleh saudagar-saudagar negeri seberang, maka dengan mudah nenek moyang kita menerimanya.
Di zaman Kerajaan Hindu-Buddha, kerukunan antar umat beragama semakin berkembang. Hal ini terbukti dengan ditemukannya beberapa candi yang menunjukkan perpaduan dua corak agama yang dianut masyarakat kala itu, seperti Candi Batujaya di Kerawang dan Candi Jawi di Jawa Timur (https://hurahura.wordpress.com). Fakta itu kian diperkuat dengan kalimat Bhineka tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, yang termuat dalam Kitab Kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular, seorang pujangga era Majapahit. Adapun kalimat tersebut artinya "Berbeda-beda tapi satu jua", yang maksudnya untuk mendeskripsikan kerukunan masyarakat kala itu (http://www.sejarah-negara.com).
Sederet fakta historis telah menunjukkan bahwa kerukunan dalam kehidupan masyarakat majemuk Nusantara telah ada sejak lama. Toleransi di tengah kemajemukan merupakan suatu yang lazim di negeri ini. Hal itu pula yang berhasil "dimonumenkan" oleh Bung Karno pada era awal kemedekaan. Beliau menginisiasi pembangunan Masjid Istiqlal yang berdekatan dengan Katedral Jakarta. Tujuannya untuk dijadikan simbol kerukunan umat beragama yang saling hidup berdampingan di Republik ini. Uniknya, Masjid Istiqlal yang notabene rumah ibadah umat Islam termegah di Asia Tenggara, konstruksinya dirancang oleh seorang arsitek Nasrani bernama Frederich Silaban.
Hingga sampailah kita pada tahun ke-70 berdirinya republik ini. Sebagaimana kita ketahui, telah terjadi beberapa peristiwa yang bertentangan nilai-nilai toleransi dan berujung konflik. Tak perlu saya sebut peristiwa dan dimana saja terjadinya, yang jelas kondisi dan potensi ke arah itu memang harus dieliminasi.
Nilai-nilai kebangsaan kiranya perlu direaktualisasi dalam kehidupan masyarakat, terlebih guna mencegah konflik horizontal bernuansa SARA. Gagasan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai "Sekolah Konstitusi" kiranya perlu segera ditindaklanjuti untuk direalisasikan. Sudah cukup lama sejak Orde Baru, kita tidak ada lagi penataran nilai-nilai kebangsaan semacam P4. Padahal kegiatan semacam itu memang diperlukan untuk memperkuat rasa kebangsaan dan mereduksi paham-paham radikal yang mengancam eksistensi ideologi nasional.
Sebut saja potensi konflik yang ditebar kelompok-kelompok fundamentalis yang mengatasnamakan agama. Bergabungnya segelintir orang ke organisasi ekstrim fundamentalis adalah buah dari minimnya nasionalisme dalam diri yang bersangkutan.
Meski demikian, hal serupa juga dapat berlaku sebaliknya. Jika Nasionalisme yang ditanam tanpa "siraman" pengetahuan agama yang cukup, bisa mengarahkan kepada Sekularisme. Oleh karena itulah, perlu keseimbangan dalam memahami dua ajaran tersebut, dan Pancasila telah mengarahkan keseimbangan itu sejak lama.
Demikian sekelumit pikiran dan pendapat yang saya tuangkan dalam tulisan ini. Semoga setelah memasuki dekade yang ketujuh, republik ini semakin matang dalam berdemokrasi, semakin adil dalam penegakan hukum, semakin makmur rakyatnya, serta berdaulat dan bermartabat di mata dunia. Dirgahayu Indonesia...
Referensi:
https://hurahura.wordpress.com/2010/09/14/toleransi-beragama-di-masa-lampau/
http://www.sejarah-negara.com/2013/10/kerukunan-umat-hindu-dan-budha-masa.html
http://news.detik.com/berita/2930109/gandeng-lemhannas-mpr-ingin-buat-sekolah-konstitusi
http://www.leimena.org/id/page/v/314/indonesia-bukan-negara-agama-dan-bukan-negara-sekuler
Sederet fakta historis telah menunjukkan bahwa kerukunan dalam kehidupan masyarakat majemuk Nusantara telah ada sejak lama. Toleransi di tengah kemajemukan merupakan suatu yang lazim di negeri ini. Hal itu pula yang berhasil "dimonumenkan" oleh Bung Karno pada era awal kemedekaan. Beliau menginisiasi pembangunan Masjid Istiqlal yang berdekatan dengan Katedral Jakarta. Tujuannya untuk dijadikan simbol kerukunan umat beragama yang saling hidup berdampingan di Republik ini. Uniknya, Masjid Istiqlal yang notabene rumah ibadah umat Islam termegah di Asia Tenggara, konstruksinya dirancang oleh seorang arsitek Nasrani bernama Frederich Silaban.
Source: http://www.crystalbae.com/travels/indonesia/ |
Hingga sampailah kita pada tahun ke-70 berdirinya republik ini. Sebagaimana kita ketahui, telah terjadi beberapa peristiwa yang bertentangan nilai-nilai toleransi dan berujung konflik. Tak perlu saya sebut peristiwa dan dimana saja terjadinya, yang jelas kondisi dan potensi ke arah itu memang harus dieliminasi.
Nilai-nilai kebangsaan kiranya perlu direaktualisasi dalam kehidupan masyarakat, terlebih guna mencegah konflik horizontal bernuansa SARA. Gagasan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai "Sekolah Konstitusi" kiranya perlu segera ditindaklanjuti untuk direalisasikan. Sudah cukup lama sejak Orde Baru, kita tidak ada lagi penataran nilai-nilai kebangsaan semacam P4. Padahal kegiatan semacam itu memang diperlukan untuk memperkuat rasa kebangsaan dan mereduksi paham-paham radikal yang mengancam eksistensi ideologi nasional.
Sebut saja potensi konflik yang ditebar kelompok-kelompok fundamentalis yang mengatasnamakan agama. Bergabungnya segelintir orang ke organisasi ekstrim fundamentalis adalah buah dari minimnya nasionalisme dalam diri yang bersangkutan.
Meski demikian, hal serupa juga dapat berlaku sebaliknya. Jika Nasionalisme yang ditanam tanpa "siraman" pengetahuan agama yang cukup, bisa mengarahkan kepada Sekularisme. Oleh karena itulah, perlu keseimbangan dalam memahami dua ajaran tersebut, dan Pancasila telah mengarahkan keseimbangan itu sejak lama.
Demikian sekelumit pikiran dan pendapat yang saya tuangkan dalam tulisan ini. Semoga setelah memasuki dekade yang ketujuh, republik ini semakin matang dalam berdemokrasi, semakin adil dalam penegakan hukum, semakin makmur rakyatnya, serta berdaulat dan bermartabat di mata dunia. Dirgahayu Indonesia...
Referensi:
https://hurahura.wordpress.com/2010/09/14/toleransi-beragama-di-masa-lampau/
http://www.sejarah-negara.com/2013/10/kerukunan-umat-hindu-dan-budha-masa.html
http://news.detik.com/berita/2930109/gandeng-lemhannas-mpr-ingin-buat-sekolah-konstitusi
http://www.leimena.org/id/page/v/314/indonesia-bukan-negara-agama-dan-bukan-negara-sekuler
Tidak ada komentar:
Posting Komentar