Poros maritim
dunia. Gagasan cemerlang dari pemimpin yang baru datang: Insinyur Joko Widodo.
Sosok yang terkenal dengan berbagai gebrakannya itu mewacanakan sebuah visi
yang bertujuan mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negara kepulauan.
Sebuah negara dimana sebagian besar wilayah berupa perairan, maka sudah
sepatutnya mampu mengoptimalisasi laut untuk kemakmuran bangsanya. Salah satu
rencana aksi untuk mewujudkannya adalah dengan memperkuat infrastruktur untuk
menunjang kelancaran kegiatan ekonomi kelautan, pelabuhan.[1]
Source : http://www.terradaily.com/ |
Letak geografis
Indonesia memang sangat strategis, terutama untuk jalur perdagangan
internasional. Dari 7 selat strategis dunia, 4 diantaranya berada di wilayah
negeri ini: Selat Sunda (Alur Laut Kepulauan Indonesia/ALKI I), Selat Lombok,
Selat Makassar (ALKI II) dan Selat Malaka.[2]Untuk
nama terakhir bahkan dijuluki “selat sepanjang masa” karena di selat tersebut
telah ramai dilintasi kapal-kapal dagang dari seluruh dunia sejak ratusan tahun
silam.
Kejayaan Bangsa
Indonesia sebagai bangsa maritim telah tercatat dalam sejarah emas peradaban
nusantara. Anda bisa telusuri bagaimana kedigdayaan Sriwijaya, kehebatan
Majapahit, kejayaan Banten dengan pelabuhan Karangantu-nya, hingga ramainya
pelabuhan Sabang era 1800-an yang semuanya menjadikan laut sebagai penunjang
majunya peradaban, tak terlepas pula peran infrastruktur pelabuhan.
Tetapi zaman kini
telah berubah. Wilayah perairan kepulauan negeri ini memang masih ramai
dilintasi kapal-kapal. Hanya saja, negara tempat bernaungnya bangsa yang dulu
begitu jaya tadi belum mampu mengoptimalkan potensi bahari yang dimiliki. Untuk
urusan pelabuhan, kualitas dan kuantitas yang dimiliki Indonesia tertinggal
cukup jauh dari para tetangga. Ambillah Selat Malaka sebagai jalur pelayaran
tersibuk di dunia. Indonesia cenderung hanya menjadi hinterland dari negara-negara lain yang meraup banyak keuntungan
dari “selat sepanjang masa”.
Hal ini dapat
dilihat dari komparasi pelabuhan yang ada di pesisir selat malaka. Jangan lihat
pelabuhan Batu Ampar Batam yang berkapasitas 200 ribu TEUS disandingkan dengan Port of Singapore Authority yang
berkapasitas 30 juta TEUS! Pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Malaya memiliki
kapasitas dan kualitas jauh lebih baik dari yang ada di Sumatera. Menurut data
50 pelabuhan teramai di dunia tahun 2012, pelabuhan Port Klang (Selangor,
Malaysia) mampu menembus ranking 12 dengan total peti kemas yang ditampung 10
juta TEUS. Pelabuhan Tanjung Pelepas (Johor, Malaysia) berada di ranking 19
dengan total 7,7 juta TEUS.[3]
Sumatera? Sayangnya tidak ada satupun pelabuhan di pulau tersebut yang masuk 50
besar.Padahal fakta menunjukkan bahwa tingkat kepadatan atau kesibukan
pelabuhan peti kemas merupakan cermin denyut perekonomian daerah yang
bersangkutan. Sebut saja kota-kota sekelas Shanghai, Hong Kong, Singapura,
Shenzhen, Hamburg, Los Angeles, anda bisa telusuri bagaimana pelabuhan mereka.
Kembali ke visi
poros maritim. Wacana tersebut agaknya telah memberi angin segar bagi
pembangunan infrastruktur kepelabuhanan, karena salah satu instrumen untuk
mewujudkannya adalah dengan konsep Tol Laut. Konsep ini sebetulnya mirip dengan
konsep “Pendulum Nusantara” karena esensinya adalah mengintegrasikan jalur
pelayaran di pelabuhan-pelabuhan utama ke dalam satu kesatuan sistem logistik.[4]Konsep
ini diyakini akan menekan biaya produksi yang berimbas pada turunnya harga
produk/barang.
Source : http://finance.detik.com/ |
Selain itu, lebih
penting lagi adalah mengurangi ketimpangan pembangunan antara kawasan Indonesia
Barat dan Timur yang bermuara pada pemerataan.Dengan adanya pelabuhan besar,
terutama di Indonesia Timur, maka diharapkan dapat berimplikasi pada tumbuhnya
industri-industri baru di daerah tersebut yang tentunya berkontribusi besar
pada peningkatan perekonomian setempat. Agaknya tanda-tanda ke arah itu mulai
terlihat. Sebut saja rencana pembangunan industri di sejumlah tempat di Papua.[5],[6]
Oleh karena itu,
pembangunan dan pengembangan sejumlah pelabuhan di Indonesia sudah sepatutnya
mendapat perhatian khusus, baik pelabuhan utama seperti Belawan, Tanjung Sauh,
Kalibaru (New Priok), Tanjung Perak, Makassar dan Sorong, maupun pelabuhan
penunjang lain seperti dibukanya kembali Pelabuhan Bebas Sabang, Pelabuhan Hub
Internasional Kuala Tanjung, Pelabuhan Maloy dan juga
Pelabuhan Hub Internasional Bitung.
Sudah terlalu lama
negara ini berkutat dalam ironi. Sebuah negara kepulauan terbesar di dunia,
berada di jalur persimpangan pelayaran dunia, tetapi justru bergantung pada
negara pulau kecil di mulut semenanjung untuk berdagang dengan bangsa lain. Berdikari
di bidang ekonomi merupakan prinsip yang harus dipegang dan dijalankan dengan
konsekuen, termasuk mandiri dalam kepemilikan infrastruktur guna memenuhi
kepentingannya sendiri. Dan bukan berapa juta TEUS kapasitas pelabuhan yang
bisa dibangun, atau berapa banyak kapal yang bersandar sebagai parameter.
Tetapi seberapa besar pembangunan pelabuhan-pelabuhan itu berkorelasi terhadap
industrialisasi, berapa banyak lapangan kerja yang tercipta, berapa banyak
tenaga kerja yang terserap, mengurangi disparitas secara signifikan dan mewujudkan
pemerataan pembangunan di segala penjuru negeri.
Referensi:
salam hangat dari kami ijininformasinya dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapussalam hangat, silahkan..
BalasHapus