Sabtu, 13 September 2014

Infrastruktur Maritim, Menepis Ironi di Negeri Bahari



Poros maritim dunia. Gagasan cemerlang dari pemimpin yang baru datang: Insinyur Joko Widodo. Sosok yang terkenal dengan berbagai gebrakannya itu mewacanakan sebuah visi yang bertujuan mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebuah negara dimana sebagian besar wilayah berupa perairan, maka sudah sepatutnya mampu mengoptimalisasi laut untuk kemakmuran bangsanya. Salah satu rencana aksi untuk mewujudkannya adalah dengan memperkuat infrastruktur untuk menunjang kelancaran kegiatan ekonomi kelautan, pelabuhan.[1]

Source : http://www.terradaily.com/

Letak geografis Indonesia memang sangat strategis, terutama untuk jalur perdagangan internasional. Dari 7 selat strategis dunia, 4 diantaranya berada di wilayah negeri ini: Selat Sunda (Alur Laut Kepulauan Indonesia/ALKI I), Selat Lombok, Selat Makassar (ALKI II) dan Selat Malaka.[2]Untuk nama terakhir bahkan dijuluki “selat sepanjang masa” karena di selat tersebut telah ramai dilintasi kapal-kapal dagang dari seluruh dunia sejak ratusan tahun silam.
Kejayaan Bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim telah tercatat dalam sejarah emas peradaban nusantara. Anda bisa telusuri bagaimana kedigdayaan Sriwijaya, kehebatan Majapahit, kejayaan Banten dengan pelabuhan Karangantu-nya, hingga ramainya pelabuhan Sabang era 1800-an yang semuanya menjadikan laut sebagai penunjang majunya peradaban, tak terlepas pula peran infrastruktur pelabuhan.
Tetapi zaman kini telah berubah. Wilayah perairan kepulauan negeri ini memang masih ramai dilintasi kapal-kapal. Hanya saja, negara tempat bernaungnya bangsa yang dulu begitu jaya tadi belum mampu mengoptimalkan potensi bahari yang dimiliki. Untuk urusan pelabuhan, kualitas dan kuantitas yang dimiliki Indonesia tertinggal cukup jauh dari para tetangga. Ambillah Selat Malaka sebagai jalur pelayaran tersibuk di dunia. Indonesia cenderung hanya menjadi hinterland dari negara-negara lain yang meraup banyak keuntungan dari “selat sepanjang masa”.
Hal ini dapat dilihat dari komparasi pelabuhan yang ada di pesisir selat malaka. Jangan lihat pelabuhan Batu Ampar Batam yang berkapasitas 200 ribu TEUS disandingkan dengan Port of Singapore Authority yang berkapasitas 30 juta TEUS! Pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Malaya memiliki kapasitas dan kualitas jauh lebih baik dari yang ada di Sumatera. Menurut data 50 pelabuhan teramai di dunia tahun 2012, pelabuhan Port Klang (Selangor, Malaysia) mampu menembus ranking 12 dengan total peti kemas yang ditampung 10 juta TEUS. Pelabuhan Tanjung Pelepas (Johor, Malaysia) berada di ranking 19 dengan total 7,7 juta TEUS.[3] Sumatera? Sayangnya tidak ada satupun pelabuhan di pulau tersebut yang masuk 50 besar.Padahal fakta menunjukkan bahwa tingkat kepadatan atau kesibukan pelabuhan peti kemas merupakan cermin denyut perekonomian daerah yang bersangkutan. Sebut saja kota-kota sekelas Shanghai, Hong Kong, Singapura, Shenzhen, Hamburg, Los Angeles, anda bisa telusuri bagaimana pelabuhan mereka.
Kembali ke visi poros maritim. Wacana tersebut agaknya telah memberi angin segar bagi pembangunan infrastruktur kepelabuhanan, karena salah satu instrumen untuk mewujudkannya adalah dengan konsep Tol Laut. Konsep ini sebetulnya mirip dengan konsep “Pendulum Nusantara” karena esensinya adalah mengintegrasikan jalur pelayaran di pelabuhan-pelabuhan utama ke dalam satu kesatuan sistem logistik.[4]Konsep ini diyakini akan menekan biaya produksi yang berimbas pada turunnya harga produk/barang.

Source : http://finance.detik.com/

Selain itu, lebih penting lagi adalah mengurangi ketimpangan pembangunan antara kawasan Indonesia Barat dan Timur yang bermuara pada pemerataan.Dengan adanya pelabuhan besar, terutama di Indonesia Timur, maka diharapkan dapat berimplikasi pada tumbuhnya industri-industri baru di daerah tersebut yang tentunya berkontribusi besar pada peningkatan perekonomian setempat. Agaknya tanda-tanda ke arah itu mulai terlihat. Sebut saja rencana pembangunan industri di sejumlah tempat di Papua.[5],[6]
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan sejumlah pelabuhan di Indonesia sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus, baik pelabuhan utama seperti Belawan, Tanjung Sauh, Kalibaru (New Priok), Tanjung Perak, Makassar dan Sorong, maupun pelabuhan penunjang lain seperti dibukanya kembali Pelabuhan Bebas Sabang, Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung, Pelabuhan Maloy dan juga Pelabuhan Hub Internasional Bitung.
Sudah terlalu lama negara ini berkutat dalam ironi. Sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, berada di jalur persimpangan pelayaran dunia, tetapi justru bergantung pada negara pulau kecil di mulut semenanjung untuk berdagang dengan bangsa lain. Berdikari di bidang ekonomi merupakan prinsip yang harus dipegang dan dijalankan dengan konsekuen, termasuk mandiri dalam kepemilikan infrastruktur guna memenuhi kepentingannya sendiri. Dan bukan berapa juta TEUS kapasitas pelabuhan yang bisa dibangun, atau berapa banyak kapal yang bersandar sebagai parameter. Tetapi seberapa besar pembangunan pelabuhan-pelabuhan itu berkorelasi terhadap industrialisasi, berapa banyak lapangan kerja yang tercipta, berapa banyak tenaga kerja yang terserap, mengurangi disparitas secara signifikan dan mewujudkan pemerataan pembangunan di segala penjuru negeri. 


2 komentar:

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...