Monorail atau
monorel. Sebuah moda transportasi berbasis rel yang beroperasi wilayah
perkotaan. Ditinjau dari namanya (mono
= satu, rail = rel), dapat ditebak
bahwa alat transportasi satu ini berupa kereta yang berjalan diatas satu rel.
Hal yang tentunya berbeda dengan lazimnya kereta yang berjalan diatas dua
batang rel. So, kenapa saya membuat
postingan tentang monorel? Simple answer.
Karena beberapa kota di Indonesia menginginkannya sebagai alternatif moda
transportasi publik.
14 Juni 2004. Presiden RI kala itu, Megawati Soekarno Putri
meresmikan pembangunan sebuah proyek transportasi di ibukota Jakarta, dengan nilai
investasi Rp 3 Trilyun. Peresmian tersebut ditandai dengan dibangunnya tiang
pancang yang sedianya akan digunakan sebagai tempat berdirinya rel untuk
jalannya sebuah kereta. Proyek itu tidak lain adalah megaproyek monorel Jakarta.
Sebuah perwujudan dari ide dan ambisi yang dicanangkan oleh Gubernur DKI
Jakarta kala itu, Sutiyoso.
Namun setahun berselang, tiang-tiang pancang yang gagah
berdiri di tengah jalanan ibukota itu tidak lebih dari hanya sekedar pajangan
di tengah hiruk pikuk kemacetan ibukota. Masalah financial telah membuyarkan
impian Jakarta untuk memiliki moda transportasi anyar berupa Kereta Monorel. Alhasil, tiang-tiang pancang yang
sudah terlanjur dibangun pun terbengkalai. Jadilah Bus Rapid Transit (BRT) sebagai andalan utama ibukota dalam
memenuhi kebutuhan alat transportasi masal, yang juga berfungsi untuk
mengurangi ketergantungan kendaraan pribadi yang menyebabkan kemacetan. Moda berupa
BRT inilah yang kemudian akrab dikenal sebagai Busway Transjakarta oleh khalayak ramai.
Setelah beberapa tahun berkutat dengan berbagai masalah
seperti pendanaan, dan siapa pihak yang meng-handle proyek, bulan September 2011 lalu menjadi ending bagi kisah perjalanan megaproyek Jakarta Monorail. Fauzi Bowo, gubernur
DKI pengganti Sutiyoso, memutuskan bahwa proyek monorel resmi dibatalkan. Sebagai
gantinya, mereka (Pemprov DKI) menggantinya dengan proyek Mass Rapid Transit (MRT) sebagai moda transportasi pengurai
kemacetan, yang sedianya akan dibangun 2012 ini. Lantas bagaimana dengan nasib
tiang-tiang pancang yang sudah mangkrak
bertahun-tahun? Tiang-tiang tersebut akan dikembangkan sebagai infrastruktur penyangga Elevated Bus Rapit Transit (Bus Layang), yang juga merupakan proyek transportasi baru Pemprov DKI.
Cerita kegagalan Jakarta membangun monorel kiranya tidak
menularkan trauma kepada kota-kota lain di Indonesia. Jumlahnya memang tidak
banyak. Masih sebatas hitungan jari. Tapi setidaknya membuktikan bahwa
kegagalan Jakarta tidak menyurutkan semangant mereka untuk memilih monorel
sebagai alternatif transportasi di masa mendatang. Kota mana sajakah yang
dimaksud? Bila disebut satu per satu, nama yang pertama terucap adalah
Makassar.
Adalah Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI yang
memprakarsai pembangunan monorel di pusat pemerintahan provinsi Sulawesi
Selatan. Oleh perusahaannya, Kalla Group, rencananya Monorel Makassar akan
membentang sepanjang +35 km. Monorel tersebut dibangun untuk
menghubungkan beberapa sentra publik di metropolitan Mamminasata
(Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar), atau Greater
Makassar (Jabodetabek-nya Sulawesi Selatan). Tujuannya pun sama seperti
Monorel Jakarta : mengurangi kemacetan. Selain itu, proyek Monorel Makassar
yang rencananya dibangun September 2012 itu nantinya juga bakal terintegrasi
dengan megaproyek Center Point of
Indonesia (CPI), yang akan menjadikan Makassar sebagai salah satu kota
bisnis terkemuka di Indonesia.
Setelah Makassar, kota kedua yang berencana membangun monorel
adalah Surabaya. Selama ini Surabaya telah dikenal sebagai kota tersebesar
kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Sebagai kota yang mengarah ke metropolitan,
tingkat kepadatan dan mobilisasi penduduk tentu tidak dapat dicegah untuk
menyebabkan kemacetan lalu lintas. Untuk itu, ketersediaan sarana transportasi
masal yang memadai sudah wajib hukumnya. Guna menyelesaikan masalah tersebut,
otoritas setempat memilih 2 moda transportasi untuk dikembangkan. Keduanya adalah
Trem dan Monorel.
Trem. Sebuah moda transportasi berupa kereta yang punya rel
khusus di dalam kota. Kendaraan ini dibagi 2 jenis, yaitu Trem yang terdiri 2
gerbong (satu set) disebut Light Rail
Transit (LRT) dan yang terdiri dari 4 gerbong (2 set) disebut Heavy Rail Transit (HRT). Pemerintah
Kota Surabaya memilih jenis LRT. Rencananya LRT Surabaya akan membentang utara-selatan
sepanjang 12,16 km. Sedangkan untuk monorel, jalur yang dibangun sepanjang 24,47
km dan membentang dari barat-timur. Kabar terkahir menyebutkan bahwa
pembangunan Monorel Surabaya akan dilaksanakan tahun 2013.
Setelah Makassar dan Surabaya, kota selanjutnya adalah bekas
Kerajaan Sriwijaya, Palembang. Kota yang sukses menghelat SEA Games 2011 itu
juga turut memimpikan monorel sebagai salah satu alat transportasi di wilayahnya.
Kabarnya Monorel Palembang dibangun untuk menghubungkan Bandara Sultan Mahmud
Badarudin II dengan Sport Center
Jakabaring. Rencananya pembangunan akan dilaksanakan pada tahun 2014.
Kota terakhir yang cukup mengejutkan dengan rencana
monorelnya adalah Yogyakarta. Menjelang akhir 2011 lalu Pemerintah Provinsi DIY
mengutarakan wacananya untuk membangun monorel sebagai sarana transportasi di
masa mendatang. Penggagasnya adalah Eman Suparno, mantan Menteri PU Republik
Indonesia yang kini menjadi penasehat di Pemprov DIY. Rencananya monorel akan membentang
sepanjang 40 km menghubungkan Borobudur-Yogyakarta. Fungsi utamanya untuk menghubungkan tempat-tempat
wisata dan kampus-kampus di sekitar Yogyakarta. Selain itu jalur Monorel Jogja
juga dibuat melingkar sepanjang Kali Code, sebagai bagian dari upaya Pemda
setempat untuk menata kawasan bantaran sungai tersebut. Kabarnya nilai
investasi Monorel Jogja mencapai Rp 1,8 Trilyun.
Menelusuri rencana beberapa kota di Indonesia yang hendak
membangun monorel sebagai sarana transportasi masal di wilayahnya, semuanya
mempunyai tujuan satu : mengurangi kemacetan. Ditinjau dari tujuan yang
diinginkan, tentu tidak ada yang salah dari berbagai rencana tersebut. Namun
yang menjadi persoalan adalah, tepatkah kebijakan yang mereka ambil? Jika menyimak
penuturan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, Tri Tjahjono, mungkin dapat
membuat mereka yang mengidolakan monorel berpikir.
Sebagaimana termuat di berbagai media elektronik, Tri
Tjahjono mengungkapkan bahwa monorel hanya sukses diterapkan di 3 negara. Padahal
cukup banyak negara di dunia ini yang menggunakan monorel di kota-kotanya. Ketiga
negara yang sukses itu adalah Jepang, Malaysia dan Australia. Alasannya karena
selain biayanya terlalu mahal, teknologinya isolated.
Jika terjadi kerusakan, akan sulit untuk ditangani. Selain itu kapasitasnya
juga dinilai kecil. Padahal monorel dirancang untuk alat transportasi
berkapasitas massif guna mengurangi kemacetan.
Di 3 negara yang sukses mengembangkan monorel tadi, sebetulnya mereka
tidak menjadikan monorel sebagai tulang punggung transportasinya. Di Jepang,
monorel hanya untuk menghubungkan Bandara Haneda dengan kota Tokyo. Di
Malaysia, tepatnya di Kuala Lumpur (KL), monorel hanya untuk menghubungkan KL
dengan sebuah pusat perbelanjaan. Aussie?
Disana monorel digunakan untuk menghubungkan pelabuhan dengan kawasan CBD (Central Bussines District).
Setelah menyimak apa yang disampaikan Bapak Tri, yang paling “kena”
adalah Monorel Jogja dan Monorel Palembang. Karena di kedua kota itu monorel dibangun untuk
menghubungkan lokasi-lokasi yang telah ditentukan secara jelas. Monorel Jogja
untuk akses ke kawasan-kawasan pariwisata sekitar Borobudur sampai finish ke Jogja. Jadi maksudnya
jelas. Monorel Jogja dibangun untuk akses ke kawasan-kawasan pariwisata sekitar
Borobudur-Jogja. Kepentingannya pun jelas, untuk pariwisata. Begitu pula
Palembang yang menghubungkan badara dengan stadion olahraga. Berbeda halnya
dengan kota-kota lain yang hendak menjadikan monorel sebagai alat transportasi utama.
Berdasarkan fakta ketiga negara yang sukses tadi, menurut saya monorel memang patut
dipilih tapi bukan sebagai alat transportasi primer. Monorel hendaknya digunakn
sebagai penghubung dua titik tertentu yang punya nilai vital bagi sebuah kota. Misalnya
untuk menghubungkan bandara dengan pusat bisnis, atau pelabuhan dengan pusat
industri. Sedangkan untuk mengurangi
kemacetan, saya lebih setuju dengan kereta bawah tanah (subway) yang akan dikembangkan oleh Jakarta melalui proyek MRT
tahun 2012 ini. Kelebihan subway
jelas tidak memakan tempat karena beroperasi di bawah tanah sehingga tidak
menimbulkan kesan crowded di jalanan.
Selain itu dengan kapasitas yang memadai, subway
akan menjadi alternatif transportasi yang sangat baik untuk mengurangi
kemacetan di wilayah perkotaan. Dengan syarat : biaya terjangkau dan keamanan
terjamin.
Sumber Gambar : www.lightrailnow.org
just follow the Path of God , i.e.. the true, the right way to live in ISLAM way
BalasHapusthx to comment :)
Hapus