Sembilan
belas hari pasca euforia. Rasa manis itu serasa belum pudar dari lidah. Acara arak-arakan
ke sejumlah daerah pun dihelatkan. Bangsa yang thirsty of pride? Boleh jadi, ya. Suatu hal yang salah? Tentu tidak.
Apa gerangan yang terjadi 19 hari sebelum ditulisnya artikel ini? Sebuah pretasi
datang dari sebuah cabang olahraga, yang mana memang punya romansa tersendiri
bagi bangsa ini sejak lama : Bulutangkis. Tak tanggung-tanggung, 2 gelar juara
dunia ajang BWF World Championship 2013 berhasil direbut para punggawa olahraga
tepok bulu tanah air. Guangzhou, kota terbesar di provinsi termaju di China,
menjadi saksi kejayaan Merah-Putih di dua nomor. Sesuatu yang bangsa ini tidak
merasakannya sejak 2007 silam.
Euforia
Tim Bulutangkis Indonesia di Guangzhou memang tergolong “wah” (saya sedikit heran juga sebetulnya). Bahkan
seolah menjadi perban yang mampu menutupi luka yang didapat di tahun sebelumnya,
setelah gagal total di Olimpiade 2012. Namun bila nanti buaian itu tak lagi
terasa, muncul sebuah pertanyaan : What
next? Ya, apa yang dilakukan setelah puas menjadi juara dunia? Jawabannya
mungkin akan terdengar klise, namun justru itulah tantangan yang mau tidak mau
harus dihadapi. Jawaban yang dimaksud adalah mempertahankan dan melestarikan
kejayaan, as long as it could be done.
Dan satu hal yang tak dapat ditawar dalam upaya mewujudkannya adalah pembinaan
dan pengembangan pemain muda.
Ya, regenerasi
pemain badminton Indonesia memang tergolong lambat, terutama di sektor tunggal.
Hal ini bertolak belakang dengan China yang hampir tiap beberapa tahun sekali
melahirkan pemain muda yang handal. Namun stakeholder
negeri ini tampak telah mengupayakan hal tersebut. Sebut saja dibangunnya Pusat
Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Bulututangkis di sejumlah daerah yang
merupakan effort yang patut
diapresiasi.[1]
Selain itu, pengiriman pemain-pemain muda ke kejuaraan internasional hendaknya juga
perlu lebih ditingkatkan.
Namun
satu hal yang menarik perhatian saya adalah rencana dikirimnya skuad lapis dua
bulutangkis ke ajang SEA Games 2013 di Myanmar.[2]
Hal ini disebabkan karena event SEA Games bertepatan dengan waktu digelarnya
BWF Super Series Final 2013, sehingga pemain terbaik diprioritaskan ikut event
yang disebut terakhir. Saya justru melihatnya sebagai suatu hal yang positif. Karena
itu berarti memberi kesempatan bagi pemain kelas dua bukan hanya untuk menimba
pengalaman, tapi juga mengasah mental dan abilitas bertanding di kancah internasional. So, alangkah baiknya bila PBSI tidak memandang keputusan itu sebagai suatu hal yang incidental (karena bentrok dengan jadwal event BWF), melainkan suatu hal yang akan terus berkelanjutan (dilakukan rutin setiap ajang SEA Games berlangsung).
Saya
bahkan memandang, alangkah lebih baiknya lagi bila yang dikirim ke Myanmar
nanti adalah pemain-pemain berusia muda. Karena dengan beban target meraih
sejumlah medali emas (regu maupun perorangan), para pemain yang masih muda usia
akan ditempa dengan pelatihan teknis, mental dan motivasi high level. Terlebih
SEA Games merupakan ajang yang ditujukan untuk pemain senior. So, bila pemain
junior berani diterjunkan ke ajang tersebut, ia akan mendapat pengalaman
berharga tentang bagaimana persaingan kompetisi level senior. Meskipun persaingannya mungkin tidak seketat BWF Super Series, setidaknya atmosfer pertandingan high level tetap didapat. Kondisi tersebut tentu
akan berdampak positif bagi perkembangan
sang atlet muda untuk ke depannya. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah
investasi masa depan bulutangkis Indonesia.
Namun bukannya bermaksud untuk pesimis, tapi harus diakui, pengiriman skuad lapis dua atau skuad pemain muda ke SEA Games
memang mengundang resiko. Hal yang dimaksud tak lain adalah melebarnya potensi kegagalan memenuhi target perolehan medali yang dicanangkan. Namun saya rasa
hikmah positif pasti tetap dapat dipetik. No pain, no gain. Okelah bila keputusan dikirimnya
pemain muda dapat meningkatkan resiko gagalnya meraih taget medali. Namun selama itu demi merintis kejayaan di Olimpiade dan Kejuaraan Dunia BWF, kenapa tidak? Disinilah kita berorientasi untuk jangka panjang.
Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian. Sebagaimana sempat disebut sebelumnya,
regenerasi pebulutangkis Indonesia tergolong lamban. Namun dengan upaya
mengirim dan menempa pemain muda ke ajang kelas tinggi seperti (salah satunya) SEA Games, hal itu
dapat dihitung sebagai usaha pengembangan pemain junior, akselerasi menuju
level teknis dan mental yang lebih tinggi kelasnya. So, sudah saatnya PBSI memandang SEA Games sebagai kawah
candradimuka pemain-pemain muda masa depan bulutangkis Indonesia. Bukan hanya di
Naypyitaw 2013, tapi juga SEA Games – SEA Games berikutnya. Sama halnya cabang
sepak bola yang menjadikan event dwi tahunan itu sebagai ajang khusus pemain
U-23.
[1]
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/22/225441/Kemenpora-Dirikan-PPLP-Bulu-Tangkis
[2]
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/07/26/4/171051/Turunkan-Skuat-Lapis-Kedua-di-SEA-Games-PBSI-tidak-Koreksi-Target
Sumber Gambar : http://www.smc.edu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar