Angin
segar tengah berhembus di dunia pariwisata nasional. Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan dana promosi pariwisata sebesar
Rp 1,2 Trilyun. Jumlah tersebut berarti 4x lipat lebih banyak, mengingat
sebelumnya hanya dianggarkan Rp 300 Milyar per tahun untuk promosi pariwisata. Kebijakan
ini masih diikuti dengan pemberian kewenangan kepada Kementerian PU-Pera
untuk membangun infrastruktur penunjang pariwisata, terutama untuk aksesibiltas
kawasan strategis pariwisata.[1]
Source: http://travel.kompas.com/
Pembangunan
infrastruktur memang harus dikejar mengingat sulitnya aksesibiltas sejumlah
daerah wisata telah berdampak pada rendahnya daya saing pariwisata Indonesia
di kancah internasional.[2] Selain itu, tak kalah
penting pula ketersediaan sarana yang memadai seperti transportasi dan
akomodasi bagi wisatawan.
Untuk
penyediaan sarana akomodasi biasanya dilaksanakan oleh pelaku usaha. Hal ini
lazim mengingat sarana akomodasi turis merupakan salah satu lahan bisnis yang
menarik dari sektor pariwisata. Sebut saja Hotel dan Villa yang merupakan
bisnis yang menjamur di daerah-daerah wisata. Akan tetapi masih sering pula ditemui
daerah wisata yang kekurangan hotel sebagai tempat menginap wisatawan.
Hal
ini justru biasa terjadi pada daerah yang perkembangan pariwisatanya pesat.
Meningkatnya jumlah pelancong berbanding lurus dengan bertambahnya permintaan
hotel sebagai akomodasi.[3] Memang harus diakui bahwa
keberadaan hotel memegang peranan tersendiri dalam jagad turisme. Namun dalam
mengatasi masalah ini, para pemangku kepentingan hendaknya lebih
fleksibel dalam menanganinya.
Hotel
memang diperlukan. Tetapi butuh investasi untuk mewujudkannya, terlebih untuk
hotel kelas bintang. Untuk itu, diperlukan waktu untuk menyediakan lahan, menggaet
investor, hingga mengurus segala perizinan yang dibutuhkan. Sembari menunggu
investor yang bersedia membangun hotel di daerahnya, akan lebih baik jika Pemda
setempat lebih jeli dalam memberdayakan desa atau pemukiman yang berada di
kawasan wisata.
Adapun
pemberdayaan yang dimaksud adalah dengan menyediakan rumah atau bangunan lain
yang berfungsi sebagai tempat penginapan turis di pemukiman penduduk. Konsep
yang diterapkan dapat berupa Homestay
ataupun Guest House. Semua tergantung
pada kondisi dan kesepakatan dengan desa yang bersangkutan.
Baik
Homestay maupun Guest House, kapasitasnya memang tak akan semasif hotel. Sebagaimana telah disampaikan, konsep ini merupakan alternatif sementara bagi daerah yang
kekurangan hotel dan belum punya kepastian dari investor atau pihak yang akan membangunnya. Namun yang menjadi esensi disini adalah
pemberdayaaan desa atau warga setempat untuk kepentingan pariwisata, yang mana
turut berkontribusi pula pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Homestay dapat menjadi sumber penghasilan
tambahan bagi warga yang disinggahi rumahnya. Sedangkan Guest House (terpisah dari pemilik rumah), nantinya akan mempekerjakan warga setempat yang berarti
membuka lapangan kerja baru bagi warga lokal. Guest House dapat pula dikelola sebagai unit usaha berstatus Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), yang nantinya berperan sebagai sumber
pendapatan asli desa.
Jika
terealisasi, maka hal ini dapat menjadi suplemen yang ideal untuk meningkatkan
perekonomian desa atau warga yang bermukim di kawasan wisata. Karena
pengembangan pariwisata memanfaatkan potensi lokal, sudah sepatutnya memberi
kontribusi maksimal bagi kemakmuran warga lokal. Terlebih setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang tujuannya antara lain
memajukan perekonomian masyarakat Desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional, serta memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. [4]
Referensi:
[3]http://travel.kompas.com/read/2015/02/12/173200727/Pariwisata.Lombok.Tengah.Kekurangan.Hotel
[4] Pasal 4 Huruf h dan i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
[4] Pasal 4 Huruf h dan i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar