Mimpi. Pernahkah anda memilikinya? Atau anda sedang
memilikinya? Oops, tunggu dulu. Mimpi
yang dimaksud disini bukan bunga tidur. Tapi mimpi yang dimaksud adalah alasan
dibalik hasrat kita dalam melakukan berbagai upaya. Mengapa kita bermimpi?
Secara
turun-temurun, bangsa kita percaya bahwa tiap manusia dianugerahi tiga
kemampuan dasar (tridaya) dalam menjalani perannya sebagai individu. Ketiga
kemampuan dimaksud adalah cipta, rasa dan karsa. Cipta merupakan kemampuan
manusia untuk memunculkan suatu ide/gagasan dalam pikiran yang sifatnya brand new. Sesuatu yang sebelumnya belum
ada, belum terpikirkan, menjadi ada dan bergelayut dalam pikiran.
Pixabay |
Daya cipta telah memunculkan sesuatu dalam diri kita. Entah
berupa pemikiran yang berkecamuk dalam kepala, perasaan yang terpendam dalam
diri kita, atau segala hal tak kasat mata yang hanya ada dalam diri kita, dan cuma
kita pula yang memahaminya. Mengapa kita merasakannya? Tentu karena kita
memiliki daya rasa. Kemampuan untuk merasakan segala yang menghampiri kita,
entah muncul dalam diri maupun dari luar. Sebuah ungkapan emosi yang berangkat
dari apa yang dirasa, baik lahir maupun batin.
Terakhir adalah karsa. Dimana karsa ini merupakan daya
manusia yang menentukan seberapa besar kemauan manusia dalam
mewujudkan/menyalurkan apa yang telah tercipta dan ia rasakan dalam dirinya. Dari
daya ini pula muncul apa yang kita kenal dengan istilah “hasrat”. Hasrat timbul
dalam diri untuk melakukan segala upaya yang menghasilkan output dari daya cipta dan rasa yang mendahuluinya.
Hasrat ini pula yang menjadi energi untuk mengejar semua yang
kita inginkan. Apapun yang kita inginkan, baik berupa gagasan, ucapan, target, kehendak,
tindakan, pernyataan sikap, dan tak ketinggalan pula sesuatu yang tengah kita
bahas: impian. Ya, impian. Bentuk lanjutan dari gagasan berupa mimpi. Dengan
mimpi, manusia seperti memiliki peta petunjuk jalan yang mengarah pada target
yang diinginkan, sedangkan hasrat ibarat kendaraan yang mengantar manusia mengarungi
jalan menuju targetnya.
Sekiranya kita sudah cukup akrab mendengar jargon-jargon
semacam “mengejar mimpi”, “menjemput impian”, “kejarlah cita-citamu”, dan masih
banyak lagi yang maknanya sama: positif! Benar, banyak sekali ungkapan/kutipan tentang
semangat dalam mewujudkan mimpi. Tentu saja dalam prakteknya tak berhenti pada
kalimat-kalimat heroik belaka. Dibutuhkan upaya nyata, baik berupa tindakan
maupun keputusan yang diambil seseorang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Pixabay |
Ada berbagai macam upaya yang dilakukan manusia dalam merealisasikan mimpinya. Mulai dari yang teringan, terberat, termudah, tersulit, tercepat, terlama, bahkan dari yang wajar hingga yang tak wajar. Semua bergantung pada seberapa besar hasrat seseorang dalam mengejar mimpinya. Bukan hal yang salah pula seseorang berusaha mewujudkan impiannya, selama tidak merugikan orang lain tentunya. Ini berlaku untuk semua, termasuk kita.
Namun satu-satunya pertanyaan yang muncul, siapkah kita pada
berbagai kemungkinan yang diperoleh dari usaha kita? Bisa saja kita jawab Ya,
atau Tidak/Belum. Tapi jawaban yang paling nyata adalah sikap kita ketika waktu
itu benar-benar tiba. Bagaimana sikap kita ketika benar-benar berhasil, atau
benar-benar gagal ketika usahanya mencapai fase akhir di ambang target.
Ada dua indikator seseorang itu disebut siap. Pertama, ketika
ia berhasil mewujudkan mimpinya tetap stay
in control, tidak melakukan selebrasi yang berlebihan (tetap gembira tapi
masih dalam kewajaran), dan bersyukur baik dalam ucapan maupun tindakan. Kedua,
ketika ia gagal merealisasikan mimpinya, meskipun sedih tapi tidak berlebihan,
tidak mencari kompensasi lain yang merugikan, dan berusaha move on mencari peluang dan harapan baru.
Sedangkan seseorang tidak dikatakan siap dengan segala
kemungkinan jika ia berhasil mewujudkan mimpinya, keberhasilan itu menjadi escalator
yang meninggikan hatinya, sehingga pandangannya terus keatas dan lupa akan
masa-masa saat ia dibawah, serta lupa pula bahwa keberhasilannya tak lain karena kehendak Tuhan. Seseorang juga dikatakan tidak siap ketika ia gagal
merealisasikan impiannya, seketika itu pula ia terpuruk jatuh dalam liang
kesedihan tak berujung. Ia butuh waktu lama untuk move on karena merasa dunia seperti sudah berakhir karena
kegagalannya dalam mewujudkan mimpi.
Dari dua jawaban diatas pula dapat diketahui seseorang itu
pengejar mimpi atau pemuja mimpi. Apa bedanya pengejar dan pemuja? Tentu saja
ada bedanya. Jika seseorang itu masuk kategori siap dengan segala kemungkinan
yang terjadi, maka ia pun termasuk pengejar mimpi. Karena pengejar mimpi masih
didominasi oleh rasionalitas dalam memandang apa yang diimpikan.
Pixabay |
Sebaliknya, jika ia tidak siap dengan segala kemungkinan,
maka ia termasuk dalam pemuja mimpi. Karena dilihat dari sikapnya dalam
menanggapi hasil yang diperoleh, maka tampaklah bahwa ia menaruh impiannya itu
diatas segalanya. Kedudukan impiannya melebihi semua harapan yang ia miliki,
sehingga tak ada pilihan lagi selain apa yang menjadi impiannya itu. Dan kegagalan
yang ia peroleh merupakan kerugian terbesar dalam hidupnya. Sikap inilah yang
perlu dihindari dalam usaha meraih mimpi. Maka jadilah pengejar mimpi, bukan
pemuja mimpi.
Demikian sekelumit tulisan saya ini, mohon maaf bila ada
kekurangan baik dari segi teknis maupun substansi. Semoga bermanfaat bagi
siapapun yang membaca. Keep dreaming,
keep fighting, and don’t forget for praying…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar