Rabu, 23 Mei 2012

Menanti "Shenzhen Baru" di Bumi Nusantara


“Saat berada di negara kami, pemerintah anda berjanji bahwa tidak akan ada biaya apapun jika berinvestasi di Batam. Tapi apa kenyataannya? Begitu kami menginjakkan kaki di pelabuhan, ternyata semua urusan harus bayar,” ungkap H, seorang pengusaha asal Singapura yang enggan disebutkan namanya.  (www.bisnis-kepri.com)



Shenzhen. Ada yang pernah mendengarnya? Shenzhen adalah sebuah kota di tenggara China yang letaknya tidak jauh dari Hong Kong. Dalam suatu paket wisata, biasanya Shenzhen ikut terselip dalam perjalanan tour Hong Kong – Makau - Shenzhen. Tapi apa keistimewaan kota tersebut? Shenzhen disebut sebagai kota dengan pertumbuhan paling pesat di dunia, bahkan paling pesat dalam sejarah peradaban dunia. Ada pula yang menyebut laju pertumbuhan Shenzhen merupakan sebuah keajaiban ekonomi. Mengapa demikian? Pada era 80-an, Shenzhen hanya kota kecil yang penduduknya hanya 20.000 jiwa.  Namun setelah Shenzhen ditetapkan oleh pemerintah China sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus di negara tersebut, perubahan menakjubkan pun terjadi. Dalam kurun waktu 20 tahun, Shenzhen menjelma menjadi kota metropolis dengan gedung-gedung menjulang tinggi. Jumlah penduduknya melonjak menjadi 6 juta jiwa dengan pendapatan per kapita hampir 5000 US Dollar.
Pesatnya perkembangan kota Shenzhen tidak lepas dari kebijakan pemerintah komunis China pada 1980-an yang menetapkan beberapa daerah sebagai Special Economic Zone (SEZ). Shenzhen yang juga termasuk daerah yang terpilih itu, dijadikan zona ekonomi khusus berbasis Industri Hi-Tech. Kebijakan itu pun berbuah manis. Bukan hanya Shenzhen, daerah-daerah lain yang ditetapkan sebagai SEZ juga mengalami perkembangan yang sama. Lantas, dari mana Shenzhen mendapat cara jitu untuk “menyulap” dirinya?
Jawabannya ternyata mereka belajar dari Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas di Batam, Indonesia. Batam sendiri adalah daerah yang diberi status oleh pemerintah RI sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas atas prakarsa Menristek zaman Orde Baru, Bapak B.J. Habibie (akhirnya jadi Presiden RI ke-3) pada tahun 1970-an. Tapi hasilnya? Seperti kita ketahui, Sehnzhen justru mampu jauh lebih berhasil dari Batam yang letak geografisnya sangat strategis di persimpangan jalur perdagangan dunia (dekat Singapura) sedianya dibuka untuk menjadi pusat industri dan kegiatan pelabuhan alternatif selain Singapura. Visi Batam pun cukup megah, yakni menjadikan Batam sebagai “Bandar Dunia Madani”.
Akan tetapi dalam perkembangannya, perkembangan kota dengan luas lebih dari 700 km persegi itu kurang sesuai dengan ekspektasi menjadikannya sebagai pusat investasi sebagai lokomotiv penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.  Meskipun tetap masih bisa dibilang ada perubahan sejak berstatus sebagai kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/ FTZ), perkembangan Batam sesungguhnya malah tertinggal cukup jauh dengan pesaing-pesaing satu kawasan, yakni segitiga emas Sinjori (Singapura-Johor –Riau). Meskipun punya keunggulan berupa pasar domestik (nasional) yang lebih besar, banyak investor yang enggan menanamkan modalnya di Batam karena banykanya terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur setempat terhadap para investor.
Pelabuhan merupakan tempat yang paling sering terjadi penyimpangan oleh aparat setempat.  Maraknya pungli-pungli (pungutan liar) yang terjadi saat berlangsungnya kegiatan kapal-kapal barang yang masuk ke Batam. Kiranya “preman-preman pelabuhan” itu menyadari status Batam sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas  yang pastinya akan mengundang banyak kapal-kapal barang untuk singgah disana. Selain itu, penyelahgunaan pelabuhan juga terjadi berupa manipulasi transshipment oleh para importir. Situs resmi Kementerian Perindustrian (www.kemenperin.go.id)  menyebutkan bahwa Pelabuhan Batam sering terjadi pelanggaran transshipment berupa manipulasi Surat Keterangan Asal (SKA). Misalnya ada importir mengimpor barang dari dari negara A, diangkut dari negara A kapal ke pelabuhan Batam. Kemudian importir memanfaatkan momen tersebut dengan mengganti barang Made in A dengan keterangan Made in Indonesia, kemudian diekspor lagi ke negara lain. Hal ini tentu sangat merugikan industri dalam negeri, khususnya yang memproduksi barang yang sama dengan barang ilustrasi tadi.
Faktor lain yang menghambat pengembangan Batam adalah buruknya birokrasi mereka, khususnya di bidang perizinan. Bukti kongkrit rendahnya kualitas perizinan Batam dapat dilihat dari hasil survey World Bank terhadap tingkat kemudahan berusaha di 20 kota di Indonesia. Dari hasil survey yang menempatkan kota Yogyakarta sebagai ranking 1 nasional tersebut, terselip kota Batam yang nangkring di peringkat 15. Banyak kalangan yang menilai dengan statusnya yang memperoleh keistimewaan, seharusnya Batam berada di peringkat atas. Situs berita www.bisnis-kepri.com menyebutkan bahwa tidak ada urusan di Batam yang tidak membutuhkan uang tunai. Sama seperti “preman-preman pelabuhan “tadi, ternyata “preman-preman birokrasi” juga tidak mau ketinggalan dalam prosesi “rayahan berkah” atas status FTZ Batam. Faktor itu pula yang sering mematikan niat baik para investor untuk turut membangun negeri ini.
Akan tetapi hal yang patut diapresiasi dari negara ini atas sekelumit permasalahan tentang kebijakan dibukanya Kawasan Perdagangan Bebas Batam adalah, pengalaman tersebut tidak membuat pemerintah RI patah arang. Menjelang akhir 2011 lalu, pemerintah mengeluarkan sebuah terobosan baru hasil untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi daerah berbasis investasi : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan ini semakin mantap dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus sebagai dasar hukumnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus,  sebagai pedoman pelaksanaannya.
So, what is Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)?? Menurut Pasal 1 angka 1 ketentuan umum UU KEK, yang dimaksud KEK ada kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Dari pengertian yang saya tangkap dari berbagai media, KEK merupakan kawasan yang punya otoritas menyelenggrakan kegiatan ekonomi secara spesifik untuk menunjang pembangunan dan peningkatan kesejahteraan daerahnya. Misalnya suatu daerah punya keunggulan berupa penghasil kelapa sawit, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai KEK berbasis kelapa sawit. Disitu akan dilangsungkan berbagai kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan kelapa sawit, mulai dari perkebunan, penggilingan, pengolahan, sampai hilirisasi menjadi produk jadi/konsumsi, semua dilakukan dalam satu kawasan yang terintegrasi.Dan hal positif lain yang tak kalah pentingnya dalam KEK adalah, Pasal 3 ayat (3) UU KEK menyebutkan bahwa di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta Koperasi baik sebagai pelau usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada dalam KEK. So, kegiatan ekonomi kerakyatan pun juga dapat berkembang dalam KEK nantinya.
Pemerintah berencana akan menetapkan 6-8 KEK hingga 2014. Tahun 2011 kemarin sudah ada 2 yang resmi ditetapkan, yaitu KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara yang berbasis Kelapa Sawit dan KEK Tanjung Lesung di Provinsi Banten yang berbasis pariwisata. Untuk selanjutnya, Bitung (Sulawesi Utara) dan Mandalika (NTB) akan segera ditetapkan sebagai KEK tahun 2012 ini. Bitung dijadikan KEK berbasis perikanan sedangkan Mandalika berbasis pariwisata, sama seperti Tanjung Lesung.
Namun berkaca dari pengalaman Batam, pertanyaan yang muncul adalah, mungkinkah KEK mampu berjalan sukses sesuai harapan? Sama halnya FTZ, KEK dibentuk dengan tujuan untuk menarik investasi, membuka lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentu berpotensi menaikkan pamor daerah yang bersangkutan bagi para pelaku bisnis yang hendak membuka atau mengekspansi bisnisnya di daerah tersebut. Artinya, suatu daerah yang sebelumnya “biasa-biasa” saja, tiba-tiba dibanjiri oleh para investor untuk menannamkan uangnya ke daerah itu. Apabila aparat-aparatnya, khususnya yang di institusi yang berhubungan langsung dengan kegiatan tersebut bermental maling, bisa jadi ditetapkan suatu daerah sebagai KEK akan menjadi lahan korupsi baru bagi elit-elit daerah yang bersangkutan.
Proyek-proyek baru berskala nasional bahkan internasional akan mengantre di Dinas Perizinan daerah tempat adanya KEK. Sebagai negara yang “konsisten” menyandang predikat sebagai salah satu negara terkorup, berbagai tindakan koruptif seperti penyuapan, pungutan liar, penyelewengan anggaran, atau perbuatan-perbuatan lain yang merugikan uang negara, tentu bukan barang baru lagi di Indonesia. Untuk kasus yang disebut terakhir, ada dua kemungkinan penyimpangan yang berpotensi terjadi : aparat/pejabat disuap, atau malah aparat/pejabat yang meminta langsung “uang pelicin”.
Berangkat dari permasalahan tersebut, saya sangat berharap peran Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus yang dibetuk atas Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2010. Selain memantau dan mengevaluasi kinerja KEK, menurut saya Dewan Nasional KEK harus terlebih dahulu melakukan pembinanaan kepada aparatur daerah setempat mengenai KEK agar yang bersangkutan benar-benar sadar bahwa KEK dibentuk untuk kepentingan rakyat dan kemajuan daerah. Apabila kebijakan KEK di daerahnya sukses, tentu akan menimbulkan kebanggan tersendiri bagi mereka para pejabat maupun aparatur daerah.
Oleh karena itulah mereka harus bekerja dengan konsisten, profesional, dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas mulia mereka sebagai abdi negara. Bukan malah bertindak egois untuk kepentingan sendiri, menyalahgunakan kebijakan untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak halal, yang pada akhirnya mencoreng citra daerah, negara, dan juga nama mereka sendiri.
Selain itu, penting pula untuk memperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU KEK mengenai pemberian ruang terhadap UMKM dan Koperasi dalam KEK. Ketentuan tersebut wajib hukumnya (diprioritaskan) untuk diimplementasikan agar nanti bukan hanya kaum pemodal saja yang memetik hasilnya, tapi para pelaku usaha kecil dan koperasi yang notabene berasal dari masyarakat setempat juga turut menikmati keuntungan yang diraup dari potensi daerahnya sendiri, dalam meningkatkan taraf perekonomian mereka. Privilege yang diberikan kepada investor selayaknya juga ditujukan pada pelaku ekonomi kerakyatan yang juga hendak mengisi kegiatan KEK, agar mereka (pelaku UMKM dan Kperasi) menjadi tuan rumah di tanah sendiri.
Kebijakan pemerintah mengenai KEK memang perlu didukung berbagai pihak, terutama masyarakat. Sukses tidaknya kebijakan tersebut juga tidak bisa lepas dari peran masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar kawasan. Oleh karena itulah transparansi publik mengenai dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan KEK mutlak dibutuhkan dalam hal ini supaya fungsi pengawasan masyarakat dapat berjalan maksimal.
So, mungkinkah "La Nueva Shenzhen" atau "Shenzhen Baru" akan muncul di Indonesia, mengingat konsep KEK sangat mirip dengan Special Economic Zone yang terbukti sukses di beberapa wilayah China seperi Zhuhai, Pudong, dan Shenzhen? Cukup 3 kata untuk menjawabnya : Impossible is Nothing.

Sumber Gambar : http://mtromania.blogspot.com

2 komentar:

  1. Hah!! Batam mau disamain dengan Zenshen? Imposible lah..Negara korupsi gak mungkin bisa sama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang saya maksud di alinea terakhir adalah daerah2 baru yg ditetapkan pemerintah sbg KEK, meskipun bukan tidak mungkin batam jg bisa berkembang seperti shenzhen di masa mendatang. selama bumi msh berputar, selama itu pula harapan terus ada. We'll never know what the future hold, right?

      Hapus

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...