“Saat
berada di negara kami, pemerintah anda berjanji bahwa tidak akan ada biaya
apapun jika berinvestasi di Batam. Tapi apa kenyataannya? Begitu kami
menginjakkan kaki di pelabuhan, ternyata semua urusan harus bayar,” ungkap H,
seorang pengusaha asal Singapura yang enggan disebutkan namanya. (www.bisnis-kepri.com)
Shenzhen.
Ada yang pernah mendengarnya? Shenzhen adalah sebuah kota di tenggara
China yang letaknya tidak jauh dari Hong Kong. Dalam suatu paket wisata,
biasanya Shenzhen ikut terselip dalam perjalanan tour Hong Kong – Makau -
Shenzhen. Tapi apa keistimewaan kota tersebut? Shenzhen disebut sebagai kota
dengan pertumbuhan paling pesat di dunia, bahkan paling pesat dalam sejarah
peradaban dunia. Ada pula yang menyebut laju pertumbuhan Shenzhen merupakan
sebuah keajaiban ekonomi. Mengapa demikian? Pada era 80-an, Shenzhen hanya kota
kecil yang penduduknya hanya 20.000 jiwa. Namun setelah Shenzhen ditetapkan oleh
pemerintah China sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus di negara tersebut,
perubahan menakjubkan pun terjadi. Dalam kurun waktu 20 tahun, Shenzhen
menjelma menjadi kota metropolis dengan gedung-gedung menjulang tinggi. Jumlah
penduduknya melonjak menjadi 6 juta jiwa dengan pendapatan per kapita hampir
5000 US Dollar.
Pesatnya
perkembangan kota Shenzhen tidak lepas dari kebijakan pemerintah komunis China
pada 1980-an yang menetapkan beberapa daerah sebagai Special Economic Zone (SEZ). Shenzhen yang juga termasuk daerah
yang terpilih itu, dijadikan zona ekonomi khusus berbasis Industri Hi-Tech.
Kebijakan itu pun berbuah manis. Bukan hanya Shenzhen, daerah-daerah lain yang
ditetapkan sebagai SEZ juga mengalami perkembangan yang sama. Lantas, dari mana
Shenzhen mendapat cara jitu untuk “menyulap” dirinya?
Jawabannya
ternyata mereka belajar dari Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas di Batam,
Indonesia. Batam sendiri adalah daerah yang diberi status oleh pemerintah RI
sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas atas prakarsa Menristek zaman
Orde Baru, Bapak B.J. Habibie (akhirnya jadi Presiden RI ke-3) pada tahun
1970-an. Tapi hasilnya? Seperti kita ketahui, Sehnzhen justru mampu jauh lebih
berhasil dari Batam yang letak geografisnya sangat strategis di persimpangan
jalur perdagangan dunia (dekat Singapura) sedianya dibuka untuk menjadi pusat
industri dan kegiatan pelabuhan alternatif selain Singapura. Visi Batam pun
cukup megah, yakni menjadikan Batam sebagai “Bandar Dunia Madani”.
Akan
tetapi dalam perkembangannya, perkembangan kota dengan luas lebih dari 700 km
persegi itu kurang sesuai dengan ekspektasi menjadikannya sebagai pusat
investasi sebagai lokomotiv penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun tetap masih bisa dibilang ada
perubahan sejak berstatus sebagai kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/
FTZ), perkembangan Batam sesungguhnya malah tertinggal cukup jauh dengan
pesaing-pesaing satu kawasan, yakni segitiga emas Sinjori (Singapura-Johor
–Riau). Meskipun punya keunggulan berupa pasar domestik (nasional) yang lebih besar, banyak investor yang enggan menanamkan modalnya di
Batam karena banykanya terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur
setempat terhadap para investor.
Pelabuhan
merupakan tempat yang paling sering terjadi penyimpangan oleh aparat setempat. Maraknya pungli-pungli (pungutan liar) yang
terjadi saat berlangsungnya kegiatan kapal-kapal barang yang masuk ke Batam. Kiranya
“preman-preman pelabuhan” itu menyadari status Batam sebagai kawasan
perdagangan dan pelabuhan bebas yang
pastinya akan mengundang banyak kapal-kapal barang untuk singgah disana. Selain
itu, penyelahgunaan pelabuhan juga terjadi berupa manipulasi transshipment oleh para importir. Situs
resmi Kementerian Perindustrian (www.kemenperin.go.id) menyebutkan bahwa Pelabuhan Batam sering
terjadi pelanggaran transshipment
berupa manipulasi Surat Keterangan Asal (SKA). Misalnya ada importir mengimpor
barang dari dari negara A, diangkut dari negara A kapal ke pelabuhan Batam.
Kemudian importir memanfaatkan momen tersebut dengan mengganti barang Made in A
dengan keterangan Made in Indonesia, kemudian diekspor lagi ke negara lain. Hal
ini tentu sangat merugikan industri dalam negeri, khususnya yang memproduksi barang
yang sama dengan barang ilustrasi tadi.
Faktor
lain yang menghambat pengembangan Batam adalah buruknya birokrasi mereka,
khususnya di bidang perizinan. Bukti kongkrit rendahnya kualitas perizinan
Batam dapat dilihat dari hasil survey World
Bank terhadap tingkat kemudahan berusaha di 20 kota di Indonesia. Dari
hasil survey yang menempatkan kota Yogyakarta sebagai ranking 1 nasional
tersebut, terselip kota Batam yang nangkring
di peringkat 15. Banyak kalangan yang menilai dengan statusnya yang
memperoleh keistimewaan, seharusnya Batam berada di peringkat atas. Situs
berita www.bisnis-kepri.com
menyebutkan bahwa tidak ada urusan di Batam yang tidak membutuhkan uang tunai. Sama
seperti “preman-preman pelabuhan “tadi, ternyata “preman-preman birokrasi” juga
tidak mau ketinggalan dalam prosesi “rayahan berkah” atas status FTZ Batam. Faktor
itu pula yang sering mematikan niat baik para investor untuk turut membangun
negeri ini.
Akan
tetapi hal yang patut diapresiasi dari negara ini atas sekelumit permasalahan
tentang kebijakan dibukanya Kawasan Perdagangan Bebas Batam adalah, pengalaman
tersebut tidak membuat pemerintah RI patah arang. Menjelang akhir 2011 lalu,
pemerintah mengeluarkan sebuah terobosan baru hasil untuk mengakselerasi
pembangunan ekonomi daerah berbasis investasi : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan
ini semakin mantap dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang
Kawasan Ekonomi Khusus sebagai dasar hukumnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, sebagai pedoman pelaksanaannya.
So, what is Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)?? Menurut
Pasal 1 angka 1 ketentuan umum UU KEK, yang dimaksud KEK ada kawasan dengan
batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas
tertentu. Dari pengertian yang saya tangkap dari berbagai media, KEK merupakan
kawasan yang punya otoritas menyelenggrakan kegiatan ekonomi secara spesifik untuk menunjang
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan daerahnya. Misalnya suatu daerah
punya keunggulan berupa penghasil kelapa sawit, maka daerah tersebut ditetapkan
sebagai KEK berbasis kelapa sawit. Disitu akan dilangsungkan berbagai kegiatan
ekonomi yang berhubungan dengan kelapa sawit, mulai dari perkebunan,
penggilingan, pengolahan, sampai hilirisasi menjadi produk jadi/konsumsi, semua
dilakukan dalam satu kawasan yang terintegrasi.Dan hal positif lain yang tak kalah pentingnya dalam KEK adalah, Pasal 3 ayat (3) UU KEK menyebutkan bahwa di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta Koperasi baik sebagai pelau usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada dalam KEK. So, kegiatan ekonomi kerakyatan pun juga dapat berkembang dalam KEK nantinya.
Pemerintah
berencana akan menetapkan 6-8 KEK hingga 2014. Tahun 2011 kemarin sudah ada 2
yang resmi ditetapkan, yaitu KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara yang berbasis
Kelapa Sawit dan KEK Tanjung Lesung di Provinsi Banten yang berbasis
pariwisata. Untuk selanjutnya, Bitung (Sulawesi Utara) dan Mandalika (NTB) akan
segera ditetapkan sebagai KEK tahun 2012 ini. Bitung dijadikan KEK berbasis
perikanan sedangkan Mandalika berbasis pariwisata, sama seperti Tanjung Lesung.
Namun
berkaca dari pengalaman Batam, pertanyaan yang muncul adalah, mungkinkah KEK
mampu berjalan sukses sesuai harapan? Sama halnya FTZ, KEK dibentuk dengan
tujuan untuk menarik investasi, membuka lapangan kerja, mengurangi
pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Hal ini tentu berpotensi menaikkan pamor daerah yang bersangkutan bagi
para pelaku bisnis yang hendak membuka atau mengekspansi bisnisnya di daerah
tersebut. Artinya, suatu daerah yang sebelumnya “biasa-biasa” saja, tiba-tiba dibanjiri
oleh para investor untuk menannamkan uangnya ke daerah itu. Apabila aparat-aparatnya,
khususnya yang di institusi yang berhubungan langsung dengan kegiatan tersebut
bermental maling, bisa jadi ditetapkan suatu daerah sebagai KEK akan menjadi
lahan korupsi baru bagi elit-elit daerah yang bersangkutan.
Proyek-proyek
baru berskala nasional bahkan internasional akan mengantre di Dinas Perizinan
daerah tempat adanya KEK. Sebagai negara yang “konsisten” menyandang predikat
sebagai salah satu negara terkorup, berbagai tindakan koruptif seperti
penyuapan, pungutan liar, penyelewengan anggaran, atau perbuatan-perbuatan lain
yang merugikan uang negara, tentu bukan barang baru lagi di Indonesia. Untuk kasus
yang disebut terakhir, ada dua kemungkinan penyimpangan yang berpotensi terjadi
: aparat/pejabat disuap, atau malah aparat/pejabat yang meminta langsung “uang pelicin”.
Berangkat dari permasalahan tersebut, saya sangat berharap peran Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus yang
dibetuk atas Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2010. Selain memantau dan
mengevaluasi kinerja KEK, menurut saya Dewan Nasional KEK harus terlebih dahulu
melakukan pembinanaan kepada aparatur daerah setempat mengenai KEK agar yang
bersangkutan benar-benar sadar bahwa KEK dibentuk untuk kepentingan rakyat dan
kemajuan daerah. Apabila kebijakan KEK di daerahnya sukses, tentu akan
menimbulkan kebanggan tersendiri bagi mereka para pejabat maupun aparatur
daerah.
Oleh karena itulah mereka harus bekerja dengan konsisten, profesional, dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas mulia mereka sebagai abdi negara. Bukan malah bertindak egois untuk kepentingan sendiri, menyalahgunakan kebijakan untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak halal, yang pada akhirnya mencoreng citra daerah, negara, dan juga nama mereka sendiri.
Oleh karena itulah mereka harus bekerja dengan konsisten, profesional, dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas mulia mereka sebagai abdi negara. Bukan malah bertindak egois untuk kepentingan sendiri, menyalahgunakan kebijakan untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak halal, yang pada akhirnya mencoreng citra daerah, negara, dan juga nama mereka sendiri.
Selain itu, penting pula untuk memperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU KEK mengenai pemberian ruang terhadap UMKM dan Koperasi dalam KEK. Ketentuan tersebut wajib hukumnya (diprioritaskan) untuk diimplementasikan agar nanti bukan hanya kaum pemodal saja yang memetik hasilnya, tapi para pelaku usaha kecil dan koperasi yang notabene berasal dari masyarakat setempat juga turut menikmati keuntungan yang diraup dari potensi daerahnya sendiri, dalam meningkatkan taraf perekonomian mereka. Privilege yang diberikan kepada investor selayaknya juga ditujukan pada pelaku ekonomi kerakyatan yang juga hendak mengisi kegiatan KEK, agar mereka (pelaku UMKM dan Kperasi) menjadi tuan rumah di tanah sendiri.
Kebijakan pemerintah mengenai KEK memang perlu didukung berbagai pihak, terutama masyarakat. Sukses tidaknya kebijakan tersebut juga tidak bisa lepas dari peran masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar kawasan. Oleh karena itulah transparansi publik mengenai dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan KEK mutlak dibutuhkan dalam hal ini supaya fungsi pengawasan masyarakat dapat berjalan maksimal.
Kebijakan pemerintah mengenai KEK memang perlu didukung berbagai pihak, terutama masyarakat. Sukses tidaknya kebijakan tersebut juga tidak bisa lepas dari peran masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar kawasan. Oleh karena itulah transparansi publik mengenai dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan KEK mutlak dibutuhkan dalam hal ini supaya fungsi pengawasan masyarakat dapat berjalan maksimal.
So, mungkinkah "La Nueva Shenzhen" atau "Shenzhen Baru" akan muncul di Indonesia, mengingat konsep KEK sangat mirip dengan Special Economic Zone yang terbukti sukses di beberapa wilayah China seperi Zhuhai, Pudong, dan Shenzhen? Cukup 3 kata untuk menjawabnya : Impossible is Nothing.
Sumber Gambar : http://mtromania.blogspot.com
Sumber Gambar : http://mtromania.blogspot.com
Hah!! Batam mau disamain dengan Zenshen? Imposible lah..Negara korupsi gak mungkin bisa sama.
BalasHapusyang saya maksud di alinea terakhir adalah daerah2 baru yg ditetapkan pemerintah sbg KEK, meskipun bukan tidak mungkin batam jg bisa berkembang seperti shenzhen di masa mendatang. selama bumi msh berputar, selama itu pula harapan terus ada. We'll never know what the future hold, right?
Hapus