Negara
maju (Developed Country). Dua kata
yang menjadi cita-cita semua negara yang ada di dunia ini. Guna mencapainya, pembangunan
yang merata di segala bidang mutlak harus dilakukan. Peningkatan kesejahteraan
ekonomi rakyat menjadi acuan. Salah satu misi yang harus dipenuhi guna menggapai
asa menjadi negara maju adalah penguasaan di bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK), yang diterapkan salah satunya dalam bentuk industri berbasis
teknologi tinggi (Hi-Tech). Kabar baiknya,
Indonesia telah merintis hal itu sejak puluhan tahun silam.
Tepatnya
adalah tanggal 26 April 1976. Pemerintahan Orde Baru yang tengah menggalakkan
pembangunan di segala bidang berdasar GBHN dan beberapa Repelita-nya,
mendirikan industri pesawat terbang yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Tentu mudah ditebak maksud dan tujuan mereka itu.
Mendirikan industri berbasis teknologi tinggi yang bertujuan agar Indonesia
mampu menciptakan produk-produk modern hasil rekayasa teknologi yang memiliki
nilai jual yang bersaing dengan produk-produk negara maju, dalam wujud pesawat
tentunya.
Tingginya
nilai strategis industri pesawat terbang tersebut membutuhkan sosok yang benar-benar
berkompeten memimpinnya. Presiden Soeharto pun mengundang putra Indonesia yang
menuntut ilmu di Negeri Bavaria untuk pulang dan mengembangkan industri
dirgantara Indonesia. Putra Indonesia yang dimaksud adalah Bachrudin Jusuf
Habibie, seorang insinyur yang mengenyam
pendidikan di Jerman. Beliau pun didaulat untuk mengemban amanat menjadi
direktur di perusahaan yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. Dan
jadilah Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang diproyeksikan sebagai
pabrik pesawat terbang buatan putra-putri Indonesia.
Setelah
cukup lama berdiri, tepatnya di tahun ketujuh (1983) IPTN menghasilkan produk
komersial pertamanya. Produk yang dimaksud adalah Pesawat CN-235, hasil
kerjasama dengan industri pesawat terbang Spanyol, Construcciones Aeronauticas
SA (CASA). Hasilnya pun memuaskan. Resmi dipasarkan tahun 1986, CN-235 sukses
menjadi pesawat terlaris di kelasnya.[1]
Nama CN-235 sendiri bukan tanpa arti. C adalah kode untuk CASA, N berarti
Nusantara, 2 adalah jumlah mesinnya dan 35 merupakan jumlah kapasitas
penumpangnya. CN-235 biasa berfungsi sebagai pesawat angkut militer.
Kejayaan
IPTN yang dipimpin oleh BJ Habibie pun mulai menggoreskan tinta emas dalam
sejarah Indonesia. Industri Pesawat Terbang Nurtanio, yang sejak 1985 berganti
menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, berhasil menyelesaikan proyek
kebanggaannya pada 1990-an. Proyek itu adalah prototype sebuah pesawat propeller canggih yang murni didesain dan
dikerjakan fisiknya oleh IPTN sendiri. Momen bersejarah pun terjadi. Tanggal 10 Agustus 1995, 7 hari menjelang HUT special
kemerdekaan Indonesia yang ke-50. Pesawat N-250 Gatotkaca buatan IPTN terbang perdana
membelah langit kota Bandung, diiringi tepuk tangan dan decak kagum para
hadirin yang menyaksikan langsung acara launching
terbang perdana pesawat tersebut. Diantara mereka adalah Presiden Soeharto, Ibu
Negara Tien Soeharto, sejumlah wartawan dari dalam dan luar negeri dan tentu
saja sang arsitek pesawat, BJ Habibie. Setahun kemudian varian kedua yang diberi nama Krincing Wesi, menyusul terbang perdana.
Indonesian pride. Kalimat itu layak
disematkan untuk proyek N-250 yang memang bukan pesawat sembarangan. N-250, yang terdiri dari 4 varian, merupakan pesawat terbang pertama di dunia yang menerapkan teknologi fly by wire. [2]
Untuk diketahui, sistem fly by wire
merupakan sistem kendali yang menggunakan sinyal elektronik .[3]
Belum
sempat resmi N-250 dipasarkan (harus memenuhi jam terbang dulu) karena baru
diresmikan penerbangan perdananya, di waktu yang sama Presiden Soeharto
mengumumkan proyek berikutnya yang lebih hebat. Adapun proyek yang dimaksud
adalah pesawat N-2130, sebuah pesawat jet rancangan asli IPTN. Namun satu
masalah besar terjadi pada tahun 1997. Krisis moneter yang menjalar ke beberapa
negara Asia telah menjangkit Indonesia dan merusak berbagai sendi kehidupan
negeri tersebut. Perekonomian lumpuh. Muncullah “pahlawan” yang datang membantu
Indonesia guna mengatasi krisis yang menghantam. Sayangnya, mereka mengajukan
beberapa syarat yang salah satunya menjadi kabar buruk bagi IPTN. Indonesia
diminta untuk menghentikan proyek pembuatan pesawatnya.[4]
Buyarlah impian Indonesia untuk menerbangkan pesawat buatannya sendiri.
Jangankan N-2130. Pesawat N-250 pun tepar sebelum mencapai finish. Dua varian yang sedianya menyusul terbang perdana, batal seketika.
Lima
belas tahun berlalu. Dua purwarupa pesawat N-250 (Gatotkaca dan Krincing Wesi) yang sempat menjadi bintang di
pertengahan 1990-an, kini hanya menjadi pajangan di apron milik PT Dirgantara Indonesia (perubahan nama IPTN sejak 2000), sebelah Bandara Husein Sastranegara Bandung. Apakah peluang untuk
menerbangkannya kembali benar-benar tertutup? Kedengarannya tidak bagi BJ
Habibie. Tahun 2012 lalu, Pak Habibie mengutarakan rencananya untuk
membangkitkan kembali proyek N-250. Bahkan bersama anak kandungnya, mereka akan
membuatnya lebih modern.
Diawali
dengan mendirikan perusahaan pembuat pesawat swasta pertama di Indonesia (gabungan
perusahaan milik anak sulung Habibie dan perusahaan milik mantan direktur Bursa
Efek), digagaslah sebuah pesawat turboprop yang dirancang untuk bersaing
merebut pasar di kelasnya. Target yang dipasang pun jelas, yakni terealisasi tahun
2018.[5]
Namun disini saya melihat sedikit kerancuan. Apakah yang dimaksud 2018 itu baru
prototype-nya saja, atau sudah
diproduksi massal untuk dipasarkan?
Apapun
itu, kita semua patut berharap impian Pak Habibie, atau skala yang lebih besar,
impian Bangsa Indonesia untuk menciptakan produk dirgantara buatan sendiri dapat
segera terwujud. Untuk menjadi negara
maju, tentu kita harus berdiri sejajar negara-negara maju. Penguasaan bidang
teknologi adalah salah satu misi yang harus dituju. Dengan usaha dan dukungan yang
cukup, plus keyakinan yang mumpuni, bukan tidak mungkin pesawat propeller hanya
lompatan pertama yang akan segera disusul lompatan-lompatan besar berikutnya. Anda
mengerti maksud saya? Awal 1990-an, Pak Habibie pernah berkomentar bahwa kualitas
industri pesawat China jauh dibawah IPTN. Namun sekarang, China telah menjadi
negara Asia pertama yang mampu menciptakan pesawat tempur siluman (dua kali). Bahkan negara Asia pertama yang berhasil melancarkan program pengiriman misi luar
angkasa berawak, melaui program Shenzhou-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar