Ø Final Tiger Cup 2002, Indonesia vs
Thailand. Indonesia digadang-gadang bakal meraih title perdananya di ajang sepakbola tertinggi se-Asia Tenggara. Bermain
di kandang sendiri plus statistik yang mengarahkan Indonesia menjadi kampiun
tahun itu, Timnas justru kalah lewat drama adu penalty setelah hanya bermain
imbang 2-2 di waktu normal.
Ø Fase penyisihan grup sepakbola SEA
Games Hanoi 2003. Indonesia dituntut wajib menang di matchday terakhir penyisihan grup untuk lolos ke semifinal. Bonus sejumlah
uang pun dijanjikan guna menambah motivasi pemain Timnas U-23. Tapi hasilnya? Lagi-lagi
Thailand menjadi nightmare setelah
membantai Tim Garuda dengan setengah lusin gol tanpa balas (0-6).
Ø Final Tiger Cup 2004. Indonesia kembali
membuka asa menjadi yang terbaik se-ASEAN setelah lolos ke grand final untuk ketiga kali berturut-turut. Sungguh disayangkan, di
final Tiger Cup yang memakai sistem home-away
untuk pertama kalinya, lagi-lagi impian menjadi juara harus terkubur setelah
dipecundangi negeri mungil Singapura dengan agregat telak, 5-1.
Ø Fase penyisihan grup AFF Cup 2007. Indonesia
dituntut wajib menang untuk bisa lolos ke semifinal. Malang, Indonesia harus
mencatat sejarah untuk kali pertama gagal lolos fase grup AFF Cup sejak
diselenggarakan tahun 1996. Timnas hanya mampu bermain imbang 2-2 dengan tuan
rumah Singapura dan gagal lolos karena kalah selisih gol dengan Singapura dan
Vietnam meski poin ketiga tim sama.
Ø Final AFF Cup 2010. Indonesia untuk ‘pertama
kalinya’ masuk final pasca ajang serupa tahun 2004. Namun apa mau dikata, Tim
Merah-Putih harus merelakan trofinya jatuh ke tangan negeri jiran Malaysia.
Ø Final SEA Games 2011. Indonesia, yang
diwakili Timnas U-23, untuk pertama kalinya melaju hingga final sepakbola SEA
Games setelah terakhir tahun 1997. Asa untuk mengobati dahaga gelar yang
terakhir diraih pada SEA Games 1991 pun terbuka lebar. Tapi akhirnya? Lagi-lagi
Pasukan Kebangsaan Malaysia mengubur ambisi Indonesia untuk mengakhiri ‘puasa
gelar' selama 20 tahun.
* * * *
Postingan ini saya buat hanya berselang kurang lebih dua jam
setelah pertandingan matchday terakhir
penyisihan Grup B AFF Cup 2012 antara Indonesia vs Malaysia yang berakhir 2-0
untuk kemenangan tuan rumah Malaysia. Berkat hasil tersebut, Indonesia harus
menelan pil pahit untuk kedua kalinya gagal melewati fase penyisihan grup AFF Cup setelah
mengalami hal serupa tahun 2007 silam. Harus diakui, kualitas Timnas kali ini
memang tidak sebaik sebelumnya setelah adanya dualisme organisasi yang
berlanjut ke dualisme kompetisi, dan juga berimplikasi ke dualisme Tim Nasional.
Meskipun sempat ada niatan dari ‘kubu seberang’ PSSI untuk mengizinkan
pemainnya masuk Timnas yang ‘legal’, beralasan waktu yang sudah sangat limit,
para pemain dari ‘kompetisi seberang’ pun batal bergabung.
Sejak awal pun saya tidak yakin dalam kondisi seperti sekarang Timnas mampu berprestasi di AFF. Bahkan secara objektif saya lebih menjagokan Thailand vs Singapura akan bertemu di final dan memprediksi Thailand keluar sebagai juaranya. Bukan pesimis atau tidak nasionalis, tapi relistis. Saya tetap nasionalis, tapi nasionalisme saya bukan right or wrong is my country. Seorang pecinta nasi goreng jika disuguhi nasi goreng yang kebanyakan lombok atau kurang bumbu, tentu ia tak perlu memaksakan diri menghabiskannya.
Saya pun tidak terlalu yakin apakah seandainya pemain-pemain 'kompetisi seberang' digabung dengan timnas bentukan PSSI menjadi jaminan Timnas bakal menjuarai AFF Cup tahun ini. Okelah secara individual, pemain kompetisi seberang memang lebih baik. Tapi faktanya, selama ini Timnas (level U-23 dan senior) sama sekali tidak pernah meraih gelar juara apapun di ajang sepakbola antar negara. Pertandingan matchday 3 penyisihan Grup B AFF Cup 2012 memang menjadi laga ‘hidup-mati’ bagi Timnas untuk lolos ke semifinal. Tapi seperti yang telah diketahui, timnas gagal melewati ujian tersebut.
Sejak awal pun saya tidak yakin dalam kondisi seperti sekarang Timnas mampu berprestasi di AFF. Bahkan secara objektif saya lebih menjagokan Thailand vs Singapura akan bertemu di final dan memprediksi Thailand keluar sebagai juaranya. Bukan pesimis atau tidak nasionalis, tapi relistis. Saya tetap nasionalis, tapi nasionalisme saya bukan right or wrong is my country. Seorang pecinta nasi goreng jika disuguhi nasi goreng yang kebanyakan lombok atau kurang bumbu, tentu ia tak perlu memaksakan diri menghabiskannya.
Saya pun tidak terlalu yakin apakah seandainya pemain-pemain 'kompetisi seberang' digabung dengan timnas bentukan PSSI menjadi jaminan Timnas bakal menjuarai AFF Cup tahun ini. Okelah secara individual, pemain kompetisi seberang memang lebih baik. Tapi faktanya, selama ini Timnas (level U-23 dan senior) sama sekali tidak pernah meraih gelar juara apapun di ajang sepakbola antar negara. Pertandingan matchday 3 penyisihan Grup B AFF Cup 2012 memang menjadi laga ‘hidup-mati’ bagi Timnas untuk lolos ke semifinal. Tapi seperti yang telah diketahui, timnas gagal melewati ujian tersebut.
Kejadian itu bukan pertama kalinya dialami Timnas Indonesia. Bahkan
hampir di setiap partai-partai krusial yang dihadapi Timnas di berbagai ajang,
dimana pada partai tersebut Timnas dituntut wajib menang untuk menyelamatkan
nasibnya, mereka selalu menuai kegagalan. Dan yang lebih mengherankan lagi,
melawan tim-tim yang secara tradisi timnas selalu mudah mengalahkannya, tapi
jika dilangsungkan dalam sebuah partai krusial atau laga hidup-mati, timnas
selalu gagal menang.
Salah satunya saat Final Hassanal Bolkiah 2012 lalu yang
melibatkan Timnas U-22. Di partai final, timnas ‘hanya’ menghadapi tim lemah
yang sering menjadi lumbung gol di level ASEAN : Brunei Darussalam. Meskipun berstatus
tuan rumah, di atas kertas mereka tetap jauh dibawah kita. Tapi faktanya? Di
babak final, Timnas U-22 dipaksa tunduk 0-2 dan gagal menjadi yang terbaik. Mau
bukti lagi? Di turnamen Grand Royal Challenge
yang diselenggarakan di Myanmar 2008 silam, Indonesia berhasil melaju hingga
final. Tapi akhirnya? Di babak akhir turnamen, Indonesia takluk dengan tim yang
pada ajang berbeda mereka bantai 4-0, Myanmar.
Saya mengamati Timnas Indonesia sejak 2001 dan selalu heran
apa sebetulnya yang menyebabkan Indonesia sulit juara. Faktor teknis? Secara
individual, untuk level ASEAN Indonesia masuk kelas atas. Faktor pelatih?
Kurang setuju juga. Peter Withe, pelatih berkebangsaan Inggris yang melatih
timnas 2004-2007 adalah sosok yang berjasa membawa Thailand juara ASEAN dua
kali berturut tahun 2000 dan 2002. Peter Withe dikenal sebagai pelatih yang
bukan hanya mahir meracik strategi, tapi juga pintar dalam memotivasi pemain. Tapi
faktanya, meskipun sukses bersama Thailand, ia harus menelan pil pahit selama
tiga tahun melatih Tim Garuda tanpa menghasil gelar juara apapun. So, what’s the trouble?
Saya melihat faktor penyebab terjadinya rentetan kegagalan
yang dialami Timnas, bukan karena kualitas teknis, bukan pula faktor
kepelatihan. Lalu apa penyebab utamanya?
The trouble is mentality. Dalam beberapa kali partai super penting yang
melibatkan Timnas, secara teknis seharusnya mereka bisa mengatasinya. Tapi sebagus-bagusnya
pemain, jika mental mereka tidak siap, maka useless-lah
kemampuan yang mereka miliki. Seperti saya sampaikan tadi, melawan tim sekelas Brunei
dalam ‘suasana Final’ pun membuat timnas kehilangan taji.
Faktor mental memang harus segera diperbaiki jika Timnas
ingin berprestasi. Dan untuk membentuk mental juara, diperlukan waktu yang
panjang. Untuk itulah sangat diperlukan kompetisi berjenjang di usia dini, yang
diselenggarakan secara kontinyu dan profesional. Seperti yang pernah saya
singgung dalam postingan sebelumnya (baca : Menyemai
Benih, Meretas Asa edisi Juni 2012.), kompetisi usia dini dengan format Liga (bukan
turnamen piala yang sering dijumpai selama ini), yang diselenggarakan secara berjenjang urut berdasarkan
kelompok umur, serta diadakan secara kontinyu (rutin setiap tahun) dan dikelola
secara profesional. Saya percaya konsep tersebut bukan hanya akan menghasilkan
pemain berteknik bagus, tapi juga bermental juara. Karena melalui sistem Liga
dengan kompetisi penuh (dua putaran, home-away,
pakai klasemen), pemain dibiasakan untuk bersaing dan menjaga konsistensi
permainan sepanjang kompetisi berlangsung, untuk mengejar gelar juara. Dari
sinilah tertanam mental kompetitif dalam pribadi masing-masing pemain yang kemudian
tumbuh menjadi mental juara.
Kita semua tentu berharap gelar medali
emas sepak bola SEA Games 1991 bukan menjadi gelar terakhir bagi Tim Nasional
Indonesia. Karena biar bagaimanapun sepakbola merupakan olahraga terpopuler di dunia
dan juga negeri ini. Prestasi Timnas tentu akan memberikan rasa bangga tersendiri
bagi masyarakat khususnya pecinta sepakbola nasional. Demikian sekelumit tentang pandangan saya terhadap permasalahan timnas yang begitu sulit berprestasi, berikut solusinya yang saya harap bisa diterima dan diterapkan oleh pihak yang berwenang atas sepakbola Indonesia, khususnya dalam hal ini PSSI.
Dapatkan Penghasilan Tambahan Disini..
BalasHapusDonaco Poker.. Agen Terpercaya dan Teraman..
Kemenangan besar bisa di dapatkan...
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662
Suka bermain Slot??
BalasHapusLagi mencari situs permainan Slot Gacor Terpecaya?
Hanya Situs Winning303 yang memberikan bonus 100% PRAGMATIC TERBAIK, Ayo Bergabung bersama kami ^^
Terima Deposit Pulsa TELKOMSEL & XL
E-Wallet : DANA, GOPAY, OVO, LINK AJA, DAN SAKUKU
Bonus Mingguan Rolingan 1% dan Bonus cash back sampai 10%
Klik ====>Winning303
Ayo Segera Daftar Akun Bermain Anda..Gratiss..
Klik >>>>>>> Daftar slot
Hubungi Segera:
WA: 087785425244
Cs 24 Jam Online