Kopi.
Salah satu jenis minuman terpopuler di dunia, yang digemari berkat aroma dan
cita rasanya yang khas. Kabar baiknya, negeri kita Indonesia termasuk wilayah
yang paling kaya akan jenis minuman yang biasa disajikan hangat itu. Dari ujung
sumatera hingga papua, tak jarang ditemukan tanaman-tanaman kopi yang memiliki ciri
khas tersendiri kala diolah menjadi produk konsumsi. Mulai dari Kopi Gayo di Aceh, Kopi Sidikalang
dari Sumatera Utara, Kopi Jambi yang sesuai nama daerahnya, begitu pula Kopi Lampung, Kopi Jawa, Kopi Kintamani dari Bali, Kopi Lombok, Kopi Kalosi dari Sulawesi Selatan hingga
Kopi Wamena di Papua.
Ragam
alternatif produk kopi yang dihasilkan negeri ini semakin kaya dengan adanya kopi
yang diolah dari sisa hasil pencernaan makanan (feses) hewan luwak, lalu
dinamakan sesuai dengan hewan bekas pemakannya itu. Yup, tidak lain adalah kopi
luwak, raja dari segala kopi di dunia. Raja? Ya, kopi luwak sudah sejak lama
dianggap sebagai kopi termahal di dunia. Dibutuhkan lembaran uang
berkisar 100-600 US Dollar demi mendapatkan 1 kg kopi luwak.[1]
Akan
tetapi singgasana raja kopi tampak tak lagi ramah ditempati oleh kopi luwak. Bahkan
tahun 2012 lalu, posisinya telah ‘dikudeta’ oleh produk inovasi dari seorang
Kanada yang tinggal di Thailand. Dialah Blake Dinkin, investor kopi asal Kanada
yang mencetus ide menyulap ampas kopi hasil pencernaan gajah menjadi minuman
termahal di dunia.[2]
Yeah, seperti halnya kopi luwak, kopi gajah pun diolah dari biji kopi yang
sudah dimakan dan telah melalui proses pencernaan. Tapi kenapa harganya bisa
lebih tinggi dari kopi luwak (diatas 1000 US Dollar per kilogram)? Hm…sudah cukup banyak artikel yang menjelaskan alasan mengapa kopi gajah atau Black Ivory Coffee lebih mahal dari kopi luwak. Anda hanya tinggal mengetik kata kuncinya di google karena disini saya bukan cuma
membahas kopi gajah, tapi juga soal gajahnya itu sendiri.
Seperti
yang telah diutarakan sebelumnya bahwa bahan baku kopi gajah adalah biji kopi
hasil pencernaaan makanan hewan gajah. Artinya, tentu dibutuhkan
keberadaan gajah untuk menghasilkan minuman yang bernilai ekonomi tinggi itu. Bicara
soal gajah, lagi-lagi negeri kita Indonesia merupakan salah satu bagian bumi
yang beruntung karena menjadi habitat mamalia terbesar di dunia itu. Tepatnya adalah
di Pulau Sumatera. Di pulau terbesar keenam di dunia itu terdapat ribuan hewan yang masuk sub
spesies Gajah Asia, yang tersebar di beberapa titik daratannya : Gajah Sumatera. Mereka
biasa hidup dan tinggal di hutan-hutan pedalaman, utamanya di kawasan hutan
taman nasional.
Sebetulnya
Gajah Sumatera bukanlah satu-satunya jenis gajah yang hidup di Kepulauan
Nusantara. Di Kalimantan, khususnya di bagian utaranya (Sabah dan Serawak di Malaysia
dan Kabupaten Nunukan di Indonesia),[3]
diyakini masih terdapat Gajah Kalimantan meskipun keadaannya sudah amat sangat
memprihatinkan. Di pulau terbesar nomor tiga dunia, yang hutannya disebut
sebagai salah satu paru-paru dunia, populasi gajah yang tersisa di Kalimantan tinggal
20-80 ekor saja.[4]
Ancaman kepunahan tentu sudah bukan berita baru lagi.
Setali
tiga uang dengan Gajah Kalimantan, Gajah Sumatera pun demikian. Dari waktu ke
waktu, jumlah populasi Gajah Sumatera terus berkurang. Dari yang tercatat tahun
2007 sejumlah 3000-5000 ekor, kini hanya tinggal 2400-2800 ekor saja.[5]
Tak heran bila Lembaga konservasi dunia, IUCN telah menaikkan status gajah
Sumatera dari genting menjadi kritis, status yang berarti hanya setingkat
persis dibawah kepunahan. [6]
Nah,
cobalah pikirkan. Tuhan dalam tiap kali berkehendak, pastilah bukan tanpa
tujuan. Karena segala yang telah diciptakan-Nya, tentu sudah diatur sedemikian
rupa. Termasuk dalam menciptakan organisme-organisme yang hidup di bumi. Antar satu
makhluk dengan yang makhluk lain terjalin berbagai jenis simbiosis. Begitu pula
rantai makanan yang melibatkan berbagai jenis keanekaragaman hayati di muka
bumi. Hal ini membuktikan bahwa antar makhluk hidup satu dengan makhluk hidup
yang lain saling membutuhkan. Dan sadar maupun tidak sadar, manusia pun
terlibat dalam semua itu. Apabila salah satu pihak atau makhluk hidup yang
menyangga kehidupan hilang atau musnah, hal itu sangat mempengaruhi keseimbangan
ekosistem keberlangsungan hubungan hidup antar makhluk tadi. Dan jika keseimbangan
ekosistem telah rusak, cepat atau lambat akan memberi dampak terhadap
kehidupan makhluk atau spesies didalamnya.
Keberlangsungan sistem penyangga kehidupan pun telah diatur dalam hukum positif negeri ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, bunyi pasal 6 dan 7 menyatakan sebagai berikut :
Keberlangsungan sistem penyangga kehidupan pun telah diatur dalam hukum positif negeri ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, bunyi pasal 6 dan 7 menyatakan sebagai berikut :
Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.Begitu pula yang terjadi dengan Gajah di Indonesia. Seandainya –tapi jangan sampai terjadi- gajah itu punah, cepat atau lambat dampaknya pasti terasa -termasuk oleh manusia- sebagai akibat rusaknya keseimbangan ekosistem. Oleh karena itulah dibutuhkan upaya atau terobosan inovatif guna melindungi gajah dari kepunahan. Disinilah kita kembali lagi ke Black Ivory Coffee. Apa hubungannya? Jelas ada. Tidak ada salahnya bila Indonesia mencoba mengembangkan kopi mahal itu di negerinya.
Saya
rasa Sumatera adalah lokasi yang tepat untuk mencobanya. Alasannya, jelas di
Sumatera sudah ada gajah. Kedua, sebagaimana telah dipaparkan di awal, ada
banyak jenis kopi di daerah-daerah Sumatera yang mengindikasikan bahwa pulau
ini penghasil kopi. Ketiga, Sumatera punya sejumlah daerah wisata yang menjadi tujuan turis domestik maupun mancanegara. Faktor ini turut mendukung mengingat segmen pasar minuman mahal macam kopi luwak dan gajah adalah pelancong (selain ekspor). Selanjutnya, try doing.
Berbekal tiga fakta tadi, saya rasa Kopi Gajah adalah masuk akal untuk coba
dikembangkan di Sumatera. Dan bila berhasil, manfaat besar akan segera dipetik darinya.
Dengan
dikembangkannya Kopi Gajah di Sumatera, dengan memanfaatkan Gajah Sumatera,
eksistensi hewan tersebut akan lebih dihargai sehingga dapat lebih terlindungi
dari ancaman kepunahan yang kian mencengkeram. Selain itu, keuntungan langsung
bagi manusianya, inovasi ini dapat memberikan nilai tambah tersendiri (added value) untuk hasil perkebunan kopi
petani setempat sehingga dapat berkontribusi pula terhadap peningkatan
penghasilan para petani kopi yang terlibat. So, mana yang mau dipilih : Kopi
Gajah sebagai kompetitor kopi luwak belaka, atau sebagai pemberi inspirasi dalam upaya
melindungi aset kekayaan hayati dan meningkatkan nilai jual hasil perkebunan
kopi.
[1]
http://female.kompas.com/read/2012/10/22/15595276/Kopi.Gajah.Saingan.Baru.Kopi.Luwak
[2]
http://www.tempo.co/read/news/2012/12/08/121446731/Ini-Sebab-Kopi-Gajah-Lebih-Mahal-daripada-Kopi-Luwak
[3]
http://ms.wikipedia.org/wiki/Gajah_Borneo
[4]
http://www.wwf.or.id/?27120/Satgas-Konflik-Gajah-Kalimantan-Perlu-Dukungan-Atasi-Konflik-Gajah-dan-Manusia
[5]
http://www.antaranews.com/berita/320193/status-gajah-sumatera-kritis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar