Minggu, 17 Februari 2013

Gajah: Antara Kopi dan Konservasi




Kopi. Salah satu jenis minuman terpopuler di dunia, yang digemari berkat aroma dan cita rasanya yang khas. Kabar baiknya, negeri kita Indonesia termasuk wilayah yang paling kaya akan jenis minuman yang biasa disajikan hangat itu. Dari ujung sumatera hingga papua, tak jarang ditemukan tanaman-tanaman kopi yang memiliki ciri khas tersendiri kala diolah menjadi produk konsumsi.  Mulai dari Kopi Gayo di Aceh, Kopi Sidikalang dari Sumatera Utara, Kopi Jambi yang sesuai nama daerahnya, begitu pula Kopi Lampung, Kopi Jawa, Kopi Kintamani dari Bali, Kopi Lombok, Kopi Kalosi dari Sulawesi Selatan hingga Kopi Wamena di Papua.
Ragam alternatif produk kopi yang dihasilkan negeri ini semakin kaya dengan adanya kopi yang diolah dari sisa hasil pencernaan makanan (feses) hewan luwak, lalu dinamakan sesuai dengan hewan bekas pemakannya itu. Yup, tidak lain adalah kopi luwak, raja dari segala kopi di dunia. Raja? Ya, kopi luwak sudah sejak lama dianggap sebagai kopi termahal di dunia. Dibutuhkan lembaran uang berkisar 100-600 US Dollar demi mendapatkan 1 kg kopi luwak.[1]
Akan tetapi singgasana raja kopi tampak tak lagi ramah ditempati oleh kopi luwak. Bahkan tahun 2012 lalu, posisinya telah ‘dikudeta’ oleh produk inovasi dari seorang Kanada yang tinggal di Thailand. Dialah Blake Dinkin, investor kopi asal Kanada yang mencetus ide menyulap ampas kopi hasil pencernaan gajah menjadi minuman termahal di dunia.[2] Yeah, seperti halnya kopi luwak, kopi gajah pun diolah dari biji kopi yang sudah dimakan dan telah melalui proses pencernaan. Tapi kenapa harganya bisa lebih tinggi dari kopi luwak (diatas 1000 US Dollar per kilogram)? Hm…sudah cukup banyak artikel yang menjelaskan alasan mengapa kopi gajah atau Black Ivory Coffee lebih mahal dari kopi luwak.  Anda hanya tinggal mengetik kata kuncinya di google karena disini saya bukan cuma membahas kopi gajah, tapi juga soal gajahnya itu sendiri.
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa bahan baku kopi gajah adalah biji kopi hasil pencernaaan makanan hewan gajah. Artinya, tentu dibutuhkan keberadaan gajah untuk menghasilkan minuman yang bernilai ekonomi tinggi itu. Bicara soal gajah, lagi-lagi negeri kita Indonesia merupakan salah satu bagian bumi yang beruntung karena menjadi habitat mamalia terbesar di dunia itu. Tepatnya adalah di Pulau Sumatera. Di pulau terbesar keenam di dunia itu terdapat ribuan hewan yang masuk sub spesies Gajah Asia, yang tersebar di beberapa titik daratannya : Gajah Sumatera. Mereka biasa hidup dan tinggal di hutan-hutan pedalaman, utamanya di kawasan hutan taman nasional.
Sebetulnya Gajah Sumatera bukanlah satu-satunya jenis gajah yang hidup di Kepulauan Nusantara. Di Kalimantan, khususnya di bagian utaranya (Sabah dan Serawak di Malaysia dan Kabupaten Nunukan di Indonesia),[3] diyakini masih terdapat Gajah Kalimantan meskipun keadaannya sudah amat sangat memprihatinkan. Di pulau terbesar nomor tiga dunia, yang hutannya disebut sebagai salah satu paru-paru dunia, populasi gajah yang tersisa di Kalimantan tinggal 20-80 ekor saja.[4] Ancaman kepunahan tentu sudah bukan berita baru lagi.
Setali tiga uang dengan Gajah Kalimantan, Gajah Sumatera pun demikian. Dari waktu ke waktu, jumlah populasi Gajah Sumatera terus berkurang. Dari yang tercatat tahun 2007 sejumlah 3000-5000 ekor, kini hanya tinggal 2400-2800 ekor saja.[5] Tak heran bila Lembaga konservasi dunia, IUCN telah menaikkan status gajah Sumatera dari genting menjadi kritis, status yang berarti hanya setingkat persis dibawah kepunahan. [6]



Nah, cobalah pikirkan. Tuhan dalam tiap kali berkehendak, pastilah bukan tanpa tujuan. Karena segala yang telah diciptakan-Nya, tentu sudah diatur sedemikian rupa. Termasuk dalam menciptakan organisme-organisme yang hidup di bumi. Antar satu makhluk dengan yang makhluk lain terjalin berbagai jenis simbiosis. Begitu pula rantai makanan yang melibatkan berbagai jenis keanekaragaman hayati di muka bumi. Hal ini membuktikan bahwa antar makhluk hidup satu dengan makhluk hidup yang lain saling membutuhkan. Dan sadar maupun tidak sadar, manusia pun terlibat dalam semua itu. Apabila salah satu pihak atau makhluk hidup yang menyangga kehidupan hilang atau musnah, hal itu sangat mempengaruhi keseimbangan ekosistem keberlangsungan hubungan hidup antar makhluk tadi. Dan jika keseimbangan ekosistem telah rusak, cepat atau lambat akan memberi dampak terhadap kehidupan makhluk atau spesies didalamnya.
Keberlangsungan sistem penyangga kehidupan pun telah diatur dalam hukum positif negeri ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, bunyi pasal 6 dan 7 menyatakan sebagai berikut :

Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Begitu pula yang terjadi dengan Gajah di Indonesia. Seandainya –tapi jangan sampai terjadi- gajah itu punah, cepat atau lambat dampaknya  pasti terasa -termasuk oleh manusia- sebagai akibat rusaknya keseimbangan ekosistem. Oleh karena itulah dibutuhkan upaya atau terobosan inovatif guna melindungi gajah dari kepunahan. Disinilah kita kembali lagi ke Black Ivory Coffee. Apa hubungannya? Jelas ada. Tidak ada salahnya bila Indonesia mencoba mengembangkan kopi mahal itu di negerinya.
Saya rasa Sumatera adalah lokasi yang tepat untuk mencobanya. Alasannya, jelas di Sumatera sudah ada gajah. Kedua, sebagaimana telah dipaparkan di awal, ada banyak jenis kopi di daerah-daerah Sumatera yang mengindikasikan bahwa pulau ini penghasil kopi. Ketiga, Sumatera punya sejumlah daerah wisata yang menjadi tujuan turis domestik maupun mancanegara. Faktor ini turut mendukung mengingat segmen pasar  minuman mahal macam kopi luwak dan gajah adalah pelancong (selain ekspor). Selanjutnya, try doing. Berbekal tiga fakta tadi, saya rasa Kopi Gajah adalah masuk akal untuk coba dikembangkan di Sumatera. Dan bila berhasil, manfaat besar akan segera dipetik darinya.
Dengan dikembangkannya Kopi Gajah di Sumatera, dengan memanfaatkan Gajah Sumatera, eksistensi hewan tersebut akan lebih dihargai sehingga dapat lebih terlindungi dari ancaman kepunahan yang kian mencengkeram. Selain itu, keuntungan langsung bagi manusianya, inovasi ini dapat memberikan nilai tambah tersendiri (added value) untuk hasil perkebunan kopi petani setempat sehingga dapat berkontribusi pula terhadap peningkatan penghasilan para petani kopi yang terlibat. So, mana yang mau dipilih : Kopi Gajah sebagai kompetitor kopi luwak belaka, atau sebagai pemberi inspirasi dalam upaya melindungi aset kekayaan hayati dan meningkatkan nilai jual hasil perkebunan kopi.



[1] http://female.kompas.com/read/2012/10/22/15595276/Kopi.Gajah.Saingan.Baru.Kopi.Luwak
[2] http://www.tempo.co/read/news/2012/12/08/121446731/Ini-Sebab-Kopi-Gajah-Lebih-Mahal-daripada-Kopi-Luwak
[3] http://ms.wikipedia.org/wiki/Gajah_Borneo
[4] http://www.wwf.or.id/?27120/Satgas-Konflik-Gajah-Kalimantan-Perlu-Dukungan-Atasi-Konflik-Gajah-dan-Manusia
[5] http://www.antaranews.com/berita/320193/status-gajah-sumatera-kritis
[6] Ibid

                              http://www.personal.psu.edu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...