Minggu, 02 Agustus 2020

Perkara soal Marah

Sore itu Inshiv Moerta menyaksikan seseorang yang tengah memarahi seseorang lainnya. Nada ucapan yang terlontar dari lisan itu tidaklah terlalu tinggi, tetapi cukup mengena bagi sosok yang menjadi objek kemarahan tersebut. Sama halnya dengan orang-orang sekitar, tak ada yang dapat dilakukan Moerta selain hanya diam tercenung mendengar kata-kata pedas yang terus merambati telinga selama kemarahan berlangsung.  Sekalipun tentu saja, ia dan orang-orang disekitarnya bukanlah objek dari kemarahan yang terjadi.
Peristiwa marahnya seseorang kepada seseorang lainnya memang lazim dalam dinamika interaksi antarindividu. Akan tetapi insiden hari itu seolah menjadi percikan yang hadirkan kecamuk kecil yang menjalari rongga-rongga ruang pikiran seorang Moerta. 
Tiupan memori membawanya melintasi pengalaman-pengalaman masa lalunya yang berkaitan dengan kemarahan. Menuntun Moerta untuk menarik benang merah yang tersembunyi di balik tabir jiwa-jiwa yang marah.
Sebagaimana telah mahfum dimengerti, marah merupakan luapan emosi yang berangkat dari kekesalan atas ketidaksesuaian realitas dengan idealitas yang diinginkan. Luapan emosi ini dapat berlangsung tentatif, dapat pula berlangsung lama. Tergantung tingkat parahnya keadaan yang dirasakan oleh sang empunya kemarahan. 
Cara orang mengungkapkan kemarahan pun bervariasi. Marah secara eksplisit dengan mengucap kata-kata pedas dan frontal langsung kepada objek kemarahan adalah cara yang paling umum sekaligus paling mudah dilakukan. Sedangkan orang yang menunjukan kemarahan hanya cukup dengan sikap adalah marah yang tersirat (implisit). Oh, satu lagi. Tak jarang pula orang mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata sindiran sarkastik, baik langsung maupun tidak langsung, ditujukan kepada orang yang menjadi objek kekesalannya. 
Sayangnya, segala seluk beluk kemarahan yang dijabarkan kalimat-kalimat tadi bukanlah benang merah yang dimaksud oleh Inshiv Moerta. Ia lantas berpikir bahwa kemarahan seseorang itu dibagi berdasarkan musabab dan tujuan dari marah itu sendiri.
Pertama adalah marah yang mengintimidasi. Kemarahan ini dilakukan untuk mengancam objek kemarahannya agar tunduk ataupun takut untuk melakukan hal-hal yang tak dikehendaki pelaku. Seperti halnya kemarahan seorang petani jagung kepada anak yang bermain di ladangnya karena khawatir akan jagungnya dicuri, jenis kemarahan ini juga dapat ditujukan untuk melindungi diri. 
Kemudian jenis kemarahan kedua adalah yang paling dibenci Inshiv Moerta: marah yang mem-bully. Baginya, ini adalah kemarahan palsu. Kemarahan yang dibuat-buat. Marah untuk mengerjai, sering kali mencelakai. Marah yang dilakukan seseorang untuk show off! 
Sebut saja seorang murid yang menghardik anak baru di kelasnya agar bersikap seperti yang ia inginkan, atau marah karena anak yang ia palak tidak mau memberikan uangnya. Kemarahan ini intimidatif seperti jenis pertama, tetapi latar belakangnya sangat tidak bermutu. Oleh sebab yang tidak prinsipil sama sekali, termasuk standard ganda yang diterapkan seenak jidat pelakunya. WTF...!
Dan yang terakhir ialah marah yang mengoreksi. Marah jenis ini represif, tapi konstruktif. Intimidatif, tapi positif. Luapan kemarahan yang murni berangkat dari hasrat memperbaiki keadaan. Kemarahan yang ditujukan agar objeknya selamat dari resiko kesalahan, maupun terulangnya kesalahan. Seperti marahnya seorang guru kepada murid yang tidak mengerjakan PR, atau marahnya seorang ayah kepada anaknya yang bermain korek api. 
Hmm, memang benar bahwa marah bukanlah solusi yang disarankan dalam menuntaskan masalah. Inshiv Moerta pun menyepakati pendekatan persuasif sebagai jalan utama dalam upaya mengembalikan  idealitas ke posisi yang semestinya. Akan tetapi kebijaksanaan tetaplah menjadi parameter dalam memutuskan kapan seseorang perlu bernegosiasi, kapan  pula harus marah. Dan tentu saja marah disini adalah jenis yang ketiga.
Ah, peristiwa marah-memarahi sore itu memang tak enak didengar. Jangankan oleh orang yang dimarahi, orang-orang sekitarnya yang tak berkaitan pun turut terkena imbasnya meski hanya sebatas perasaan. Tetapi, setidaknya ada sesuatu yang dapat dipetik oleh Inshiv Moerta, dan juga orang-orang lain disekitarnya...

Credit: pixabay.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...