Tanggal 29 Februari. Sebuah tanggal yang hanya terjadi empat
tahun sekali, karena tanggal 29 februari hanya ada di tahun kabisat (angka
tahun yang habis dibagi empat). Tahun ini, 2012, tanggal langka tersebut jatuh
pada hari rabu, tepat sehari sebelum dipostingnya artikel ini. Pada hari langka
itu pula telah terjadi sebuah peristiwa yang juga langka tapi pahit untuk
dikenang, khususnya bagi para insan sepakbola Indonesia. What happened on that day? Timnas Indonesia telah mencatatkan rekor
kekalahan terburuk sepanjang sejarah persepakbolaan Indonesia. Bermain di kota
Manama (markas tim Bahrain), tim Garuda dibantai habis sepuluh gol tanpa balas!
Belum pernah sejak PSSI didirikan pada tahun 1930, timnas mengalami kekalahan
dengan gol sebanyak itu, bahkan ketika melawan Brazil pada tahun 1972
sekalipun.
Ketika awal saya mengetahui Timnas Indonesia hendak menjalani
laga terakhir Kualifikasi Piala Dunia 2014 melawan tuan rumah Bahrain dengan
membawa pemain-pemain muda dari kompetisi legal, saya memang sudah memprediksi
Timnas bakal kalah telak. Bukannya pesimistis, tapi realistis. Bahrain adalah
salah satu tim terkuat di Timur Tengah dan prestasinya cukup berkibar di Asia. Hal
ini terbukti pada 2 kualifikasi piala dunia terakhir (2006 dan 2010), mereka
selalu lolos ke babak akhir (play off)
meski akhirnya gagal lolos ke piala dunia.
Ketika menonton siaran langsung pertandingan tersebut saya
hanya melihat Babak I saja dimana kedudukan akhir 4-0 untuk tuan rumah Bahrain.
Separuh dari empat gol itu dilesakkan lewat titik putih alias penalty. Begitu babak
pertama usai saya langsung matikan TV dan menyetel computer untuk berinternet. Setelah
cukup lama saya asyik “berselancar” di berbagai situs (bukan porno loh :P),
saya memutuskan untuk mengupdate skor pertandingan di TV. Begitu saya buka
beritanya, Ow… My… Gosh. Baru… aja timnas membukukan rekor baru berupa
kekalahan terburuk sepanjang sejarah. As
we know today, skor akhir adalah 10-0 untuk kemenangan Bahrain. Buset dah!
Terakhir sebelum saya ketik artikel ini, diberitakan bahwa hasil pertandingan
tersebut mengundang kecurigaan FIFA. Organisasi sepakbola tertinggi di dunia
tersebut hendak menginvestigasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang illegal seperti
suap. Skor pertandingan itu memang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Bahrain
yang untuk lolos harus menang minimal sepuluh gol atas Indonesia (hampir
mustahil), secara kebetulan bisa terwujud dengan skor yang benar-benar
diharapkan. Meskipun Bahrain tetap tak lolos karena kalah poin dari Qatar (saat
bersamaan menahan imbang Iran 2-2), FIFA tetap melihat ada kejanggalan pada
pertandingan yang berlangsung di kota Manama tersebut.
Saat pertandingan baru berjalan sekitar 3 menit, kiper
Indonesia sudah diganjar kartu merah karena menjatuhkan pemain Bahrain di kotak
penalty. Beberapa lama kemudian kembali terjadi pelanggaran di kotak penalty. Namun
penalty kedua Bahrain berhasil ditepis kiper lapis dua Indonesia. Selang tak
lama kemudian kembali terjadi pelanggaran yang menyebabkan penalty bagi Bahrain
dan berhasil membuahkan gol. So, dalam satu babak terjadi 3 kali penalty. Babak
kedua Bahrain menambah 6 gol yang salah satunya juga dihasilkan lewat penalty. Jadi
totalnya ada 4 penalti dalam satu pertandingan.
Namun terlepas dari kepemimpinan wasit atau faktor non teknis
lain yang mempengaruhi pertandingan tersebut, penampilan timnas memang
benara-benar menunjukkan mereka memang tim yang belum matang. Jelas saja karena
mayoritas pemain yang dibawa berusia U-23 dan caps internasionalnya masih nol. Hal
ini merupakan buah dari keputusan PSSI yang terlalu berani menurunkan
pemain-pemain muda minim pengalaman yang berasal dari klub-klub liga yang
mereka akui. Padahal sebagian besar pemain talenta terbaik negeri ini berada di
Liga yang justru di-judge sebagai
liga illegal oleh PSSI.
Bagi para pemerhati sepak bola nasional tentu sudah akrab atau
bahkan bosan dengan kontroversi dilarangnya pemain di luar liga resmi, untuk
membela timnas. Keputusan PSSI disinyalir karena adanya kepentingan. Karena ketua
PSSI yang sekarang adalah kaki-tangan dari orang yang mencetuskan kompetisi
Liga Sepakbola Profesional yang kini diakui PSSI sebagai liga yang sah. Padahal
pada masa ketua PSSI yang sebelumnya, liga profesional tersebut sudah dianggap
tidak sah. So, cukup reasonable bila
muncul dugaan peninjukan liga yang sah sekarang memang sarat kepentingan.
Sebenarnya kepemimpinan PSSI yang sekarang punya visi yang
bagus dan cukup jelas. Yaitu fokus pada pembinaan usia dini dengan menggelar
kompetisi usia muda oleh setiap pengcab di seluruh Indonesia. Mereka pun juga
serius menyiapkan timnas di segala kelompok umur mulai dari U-17, U-19, U-21,
U-23 hingga senior. Tapi sayangnya PSSI masih belum bisa melepaskan ego mereka
yang tetap bersikeras melarang pemain di luar liga resmi untuk masuk timnas. Hal
ini tentu menyulitkan pelatih timnas karena pilihan pemainnya terbatas. Selain itu
kualitas liga yang sekarang dilegalkan PSSI belum teruji. Begitu pula
pemain-pemainnya yang belum ada yang dapat meyakinkan publik sepak bola
nasional kecual dari klub-klub yang sudah punya nama di kancah sepak bola
nasional jauh sebelum kepemimpinan PSSI yang sekarang.
Dorongan agar PSSI mau mengakui liga di luar mereka terus
didengungkan. Namun sepertinya PSSI berat untuk melaksanakannya. Padahal fakta
membuktikan bahwa dulu Indonesia juga sempat menggelar dua kompetisi sekaligus
(Galatama dan Perserikatan) dan tidak malasah atas penyelenggaran double kompetisi tersebut. Jadi semua
ini sebenarnya memang tergantung pada kemuan PSSI. Jika memang benar PSSI komit
untuk peningkatan prestasi timnas, mestinya mereka harus terbuka terhadap semua
hal yang dapat menunjang kebutuhan timnas. Termasuk terhadap semua kompetisi
yang menghasilkan talenta berkualitas dan siap pakai.
Di tengah kisruhnya kepengurusan sepakbola nasional,
tampaknya sekelompok orang-orang yang peduli sepak bola sejak lama telah
menyusun rencana untuk “mengkudeta” ketua PSSI yang sekarang berkuasa. Pada tanggal
18 Maret 2012, kelompok yang menamakan dirinya Komite Penyelamat Sepakbola
Indonesia (KPSI) hendak mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk memilih ketua
PSSI yang baru. KPSI yakin upaya yang mereka lakukan akan diterima Asian
Football Confederation (AFC) karena mereka mengklaim usaha tersebut didukung
oleh 2/3 anggota PSSI. Jadi bila nantinya KLB selesai diselenggarakan dan ketum
PSSI sudah dipilih, bagaimana mekanisme dalam mengakuisisi jabatan yang tengah
dipegang secara sah oleh orang yang kini menjabat sebagai Ketum PSSI? Just wait and see sajalah. Apapun hasilnya
nanti, yang penting dua kompetisi liga yang ada bisa segera disatukan dan tak
ada lagi diskriminasi terhadap pemain-pemain klub tertentu untuk mengenakan
kostum garuda di dada.
Dan yang lebih penting lagi, jangan lagi ada kekalahan 10 gol
tanpa balas yang lebih disebabkan karena keegoan para pemangku kepentingan
sepak bola nasional. Cukup sekali saja terjadi dalam sejarah sepak bola
Indonesia. Cukup sekali saja terjadi pada tanggal langka yang tampaknya lebih layak disebut sebagai the day to be forgotten bagi insan sepak bola nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar