Jumat, 02 Maret 2012

A Day To Be Forgotten...


Tanggal 29 Februari. Sebuah tanggal yang hanya terjadi empat tahun sekali, karena tanggal 29 februari hanya ada di tahun kabisat (angka tahun yang habis dibagi empat). Tahun ini, 2012, tanggal langka tersebut jatuh pada hari rabu, tepat sehari sebelum dipostingnya artikel ini. Pada hari langka itu pula telah terjadi sebuah peristiwa yang juga langka tapi pahit untuk dikenang, khususnya bagi para insan sepakbola Indonesia. What happened on that day? Timnas Indonesia telah mencatatkan rekor kekalahan terburuk sepanjang sejarah persepakbolaan Indonesia. Bermain di kota Manama (markas tim Bahrain), tim Garuda dibantai habis sepuluh gol tanpa balas! Belum pernah sejak PSSI didirikan pada tahun 1930, timnas mengalami kekalahan dengan gol sebanyak itu, bahkan ketika melawan Brazil pada tahun 1972 sekalipun.
Ketika awal saya mengetahui Timnas Indonesia hendak menjalani laga terakhir Kualifikasi Piala Dunia 2014 melawan tuan rumah Bahrain dengan membawa pemain-pemain muda dari kompetisi legal, saya memang sudah memprediksi Timnas bakal kalah telak. Bukannya pesimistis, tapi realistis. Bahrain adalah salah satu tim terkuat di Timur Tengah dan prestasinya cukup berkibar di Asia. Hal ini terbukti pada 2 kualifikasi piala dunia terakhir (2006 dan 2010), mereka selalu lolos ke babak akhir (play off) meski akhirnya gagal lolos ke piala dunia.
Ketika menonton siaran langsung pertandingan tersebut saya hanya melihat Babak I saja dimana kedudukan akhir 4-0 untuk tuan rumah Bahrain. Separuh dari empat gol itu dilesakkan lewat titik putih alias penalty. Begitu babak pertama usai saya langsung matikan TV dan menyetel computer untuk berinternet. Setelah cukup lama saya asyik “berselancar” di berbagai situs (bukan porno loh :P), saya memutuskan untuk mengupdate skor pertandingan di TV. Begitu saya buka beritanya, Ow… My… Gosh. Baru… aja timnas membukukan rekor baru berupa kekalahan terburuk sepanjang sejarah. As we know today, skor akhir adalah 10-0 untuk kemenangan Bahrain. Buset dah!
Terakhir sebelum saya ketik artikel ini, diberitakan bahwa hasil pertandingan tersebut mengundang kecurigaan FIFA. Organisasi sepakbola tertinggi di dunia tersebut hendak menginvestigasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang illegal seperti suap. Skor pertandingan itu memang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Bahrain yang untuk lolos harus menang minimal sepuluh gol atas Indonesia (hampir mustahil), secara kebetulan bisa terwujud dengan skor yang benar-benar diharapkan. Meskipun Bahrain tetap tak lolos karena kalah poin dari Qatar (saat bersamaan menahan imbang Iran 2-2), FIFA tetap melihat ada kejanggalan pada pertandingan yang berlangsung di kota Manama tersebut.
Saat pertandingan baru berjalan sekitar 3 menit, kiper Indonesia sudah diganjar kartu merah karena menjatuhkan pemain Bahrain di kotak penalty. Beberapa lama kemudian kembali terjadi pelanggaran di kotak penalty. Namun penalty kedua Bahrain berhasil ditepis kiper lapis dua Indonesia. Selang tak lama kemudian kembali terjadi pelanggaran yang menyebabkan penalty bagi Bahrain dan berhasil membuahkan gol. So, dalam satu babak terjadi 3 kali penalty. Babak kedua Bahrain menambah 6 gol yang salah satunya juga dihasilkan lewat penalty. Jadi totalnya ada 4 penalti dalam satu pertandingan.
Namun terlepas dari kepemimpinan wasit atau faktor non teknis lain yang mempengaruhi pertandingan tersebut, penampilan timnas memang benara-benar menunjukkan mereka memang tim yang belum matang. Jelas saja karena mayoritas pemain yang dibawa berusia U-23 dan caps internasionalnya masih nol. Hal ini merupakan buah dari keputusan PSSI yang terlalu berani menurunkan pemain-pemain muda minim pengalaman yang berasal dari klub-klub liga yang mereka akui. Padahal sebagian besar pemain talenta terbaik negeri ini berada di Liga yang justru di-judge sebagai liga illegal oleh PSSI.
Bagi para pemerhati sepak bola nasional tentu sudah akrab atau bahkan bosan dengan kontroversi dilarangnya pemain di luar liga resmi, untuk membela timnas. Keputusan PSSI disinyalir karena adanya kepentingan. Karena ketua PSSI yang sekarang adalah kaki-tangan dari orang yang mencetuskan kompetisi Liga Sepakbola Profesional yang kini diakui PSSI sebagai liga yang sah. Padahal pada masa ketua PSSI yang sebelumnya, liga profesional tersebut sudah dianggap tidak sah. So, cukup reasonable bila muncul dugaan peninjukan liga yang sah sekarang memang sarat kepentingan.
Sebenarnya kepemimpinan PSSI yang sekarang punya visi yang bagus dan cukup jelas. Yaitu fokus pada pembinaan usia dini dengan menggelar kompetisi usia muda oleh setiap pengcab di seluruh Indonesia. Mereka pun juga serius menyiapkan timnas di segala kelompok umur mulai dari U-17, U-19, U-21, U-23 hingga senior. Tapi sayangnya PSSI masih belum bisa melepaskan ego mereka yang tetap bersikeras melarang pemain di luar liga resmi untuk masuk timnas. Hal ini tentu menyulitkan pelatih timnas karena pilihan pemainnya terbatas. Selain itu kualitas liga yang sekarang dilegalkan PSSI belum teruji. Begitu pula pemain-pemainnya yang belum ada yang dapat meyakinkan publik sepak bola nasional kecual dari klub-klub yang sudah punya nama di kancah sepak bola nasional jauh sebelum kepemimpinan PSSI yang sekarang.
Dorongan agar PSSI mau mengakui liga di luar mereka terus didengungkan. Namun sepertinya PSSI berat untuk melaksanakannya. Padahal fakta membuktikan bahwa dulu Indonesia juga sempat menggelar dua kompetisi sekaligus (Galatama dan Perserikatan) dan tidak malasah atas penyelenggaran double kompetisi tersebut. Jadi semua ini sebenarnya memang tergantung pada kemuan PSSI. Jika memang benar PSSI komit untuk peningkatan prestasi timnas, mestinya mereka harus terbuka terhadap semua hal yang dapat menunjang kebutuhan timnas. Termasuk terhadap semua kompetisi yang menghasilkan talenta berkualitas dan siap pakai.
Di tengah kisruhnya kepengurusan sepakbola nasional, tampaknya sekelompok orang-orang yang peduli sepak bola sejak lama telah menyusun rencana untuk “mengkudeta” ketua PSSI yang sekarang berkuasa. Pada tanggal 18 Maret 2012, kelompok yang menamakan dirinya Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) hendak mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk memilih ketua PSSI yang baru. KPSI yakin upaya yang mereka lakukan akan diterima Asian Football Confederation (AFC) karena mereka mengklaim usaha tersebut didukung oleh 2/3 anggota PSSI. Jadi bila nantinya KLB selesai diselenggarakan dan ketum PSSI sudah dipilih, bagaimana mekanisme dalam mengakuisisi jabatan yang tengah dipegang secara sah oleh orang yang kini menjabat sebagai Ketum PSSI? Just wait and see sajalah. Apapun hasilnya nanti, yang penting dua kompetisi liga yang ada bisa segera disatukan dan tak ada lagi diskriminasi terhadap pemain-pemain klub tertentu untuk mengenakan kostum garuda di dada.
Dan yang lebih penting lagi, jangan lagi ada kekalahan 10 gol tanpa balas yang lebih disebabkan karena keegoan para pemangku kepentingan sepak bola nasional. Cukup sekali saja terjadi dalam sejarah sepak bola Indonesia. Cukup sekali saja terjadi pada tanggal langka yang tampaknya  lebih layak disebut sebagai the day to be forgotten bagi insan sepak bola nasional.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...