Rabu, 05 September 2012

Lampu Kuning Izin Perhotelan di Daerah Istimewa



Sebagai daerah tujuan pariwisata, hospitality industry berupa usaha perhotelan mempunyai peran penting dalam mengerakkan perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain sebagai sarana penunjang pariwisata, keberadaan  hotel juga mampu menyerap tenaga kerja sehingga berdampak pada berkurangnya pengangguran. Atas dasar tersebut, pemerintah daerah setempat pun membuka keran selebar-lebarnya untuk menampung investor  yang hendak menanamkan modalnya di bidang perhotelan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, keran tersebut seolah-olah ‘bocor’ sehingga aliran investasi terus membanjir. DIY pun terancam  mendapat masalah yang hampir serupa dengan DKI Jakarta yang telah menuai masalah akibat menjamurnya mall di daerahnya.



Sebagai provinsi yang minim akan kandungan sumber daya alam, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terbilang sangat beruntung. Wilayah bekas Kerajaan Mataram ini menyimpan potensi pariwisata yang sangat besar, baik berupa peninggalan sejarah, tradisi kebudayaannya, maupun keindahan alamnya. Kondisi ini menjadi magnet yang cukup kuat untuk menarik minat para pelancong baik dari dalam maupun luar negeri untuk datang ke daerah tersebut guna menikmati kegiatan pariwisata mereka pada hari atau musim liburan.
Pemerintah agaknya menyadari keadaan itu dan segera melakukan upaya untuk menunjang kelancaran kegiatan pariwisata di DIY seperti membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam rangka menyediakan sarana pariwisata, terutama untuk akomodasi wisatawan, pemerintah membuka peluang bagi pelaku usaha yang berminat membangun hotel di Yogyakarta, dimana otoritas pemberian izin atas usaha tersebut dipegang oleh pemerintah kabupaten/kota setelah diberlakukannya otonomi daerah. Dan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak hotel masuk ke kas daerah Kabupaten/Kota. Hingga tahun 2010, tercatat jumlah hotel di DIY sebanyak 452, yang terdiri dari 37 hotel berbintang dan 415 hotel kelas melati (buku statistik visitingjogja.com).
Laju pertumbuhan hotel di DIY memang terbilang pesat. Tercatat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir telah berdiri 20 hotel baru di daerah yang sempat dipermasalahkan status keistimewaannya itu. Kabar baiknya, berdirinya 20 hotel tadi telah berhasil menyerap sebanyak 6000 tenaga kerja (travel.kompas.com). Jumlah yang cukup fantastis. Menandakan bahwa sektor perhotelan tidak dapat dipandang sebelah mata dalam menggerakkan roda perekonomian DIY.
Vitalnya peran yang diemban sektor perhotelan di Jogja semakin nyata setelah Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi provinsi seluas 3.185,80 km square itu -4,27% pada triwulan II 2012. Namun di tengah minusnya pertumbuhan tersebut, sektor jasa mampu memberi andil positif  terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto diperode yang sama sebesar 15,25%, dimana perhotelan turut berkontribusi.
Akan tetapi segala sesuatu yang berlebih, cepat atau lambat pasti akan memberi efek yang negatif. Mekipun cukup konsisten dalam memberi 'buaian manis', tetap harus diperhatikan apakah laju pertumbuhan hotel di jogja masih dalam batas normal. Idealnya, pertumbuhan hotel berbading lurus dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang menggunakan jasa hotel. Tapi faktanya, pertumbuhan jumlah wisatawan di DIY tidak terlalu pesat. Bahkan saat musim libur lebaran 2012 ini jumlah okupansi (laju jumlah penghuni hotel) DIY menurun 10% dibanding lebaran tahun lalu sehingga melenceng dari target. Persebarannya pun tidak merata karena sebagian besar wisatawan hanya memadati hotel-hotel  sekitar kawasan Malioboro. Padahal, sebelumnya situs viva.co.id menyatakan bahwa sudah ada 17 hotel baru yang sudah di-endorsed Dinas Perizinan dan siap dibangun 2012 ini juga!
Sebagai pihak yang diberi amanah mengeluarkan izin kepada setiap kegiatan usaha di daerahnya, sudah sepatutnya Dinas Perizinan (kabupaten atau kota manapun itu) lebih selektif dan rasional dalam memberi keputusan. Karena merupakan perbuatan pemerintah bersegi satu, dimana kewenangan sepenuhnya ada di tangan si pemberi keputusan, mereka mempunyai tanggung jawab moral yang lebih atas segala resiko yang timbul terkait keputusan yang mereka berikan.
Saya belum berbicara tentang moratorium perizinan. Namun bila tidak segera dilakukan evaluasi, bisa jadi DIY (terutama kota Jogja-nya), akan mendapat masalah yang mirip dengan DKI Jakarta yang ‘kekenyangan mall’. Anda tentu bisa menebak akibatnya bila pertumbuhan hotel tidak diimbangi dengan bertambahnya turis pengguna hotel.  Akan banyak hotel yang tidak kebagian jatah ‘kue turis’. Selain itu, pengusaha hotel terancam bangkrut lalu gulung tikar? Itu memang masalah. Tapi lebih dari itu, semakin banyak hotel yang terancam bangkrut, berarti semakin banyak orang yang terancam kehilangan sumber nafkah. So, yang tadinya ingin menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja (plus pemasukan dari pajak hotel), malah mencetak ribuan pengangguran baru…
Oleh karena itu, langkah preventif kiranya perlu diambil. Untuk hal ini bisa diawali dengan dilakukannya evaluasi. Jika memang terbukti over supply, institusi yang berwenang pasti paham apa yang harus dilakukan. Bolehlah sampai sini bicara moratorium. Setelah itu, bagaimana dengan nasib hotel-hotel yang jumlahnya sudah terlanjur tinggi?
Hal tersebut menjadi PR bagi pemerintah daerah, baik provinsi maupun tingkat dibawahnya. Mereka harus berupaya agar hotel-hotel yang ada dapat terus terisi. Caranya dengan meningkatkan promosi pariwisata baik di dalam maupun di luar negeri, sembari melakukan divesifikasi terhadap produk-produk pariwisata DIY guna menarik lebih banyak turis. Selain itu saya juga menyarankan agar dibuat Perda yang mengatur agar setiap hotel, terutama yang berbintang, wajib menyediakan space atau galeri yang khusus untuk menjajakan produk-produk UKM kepada para tamunya. Hal itu saya maksud untuk mematahkan image bahwa keberadaan pengusaha bermodal besar (baca : kapitalis) mematikan pelaku usaha kecil, tidak berlaku untuk usaha perhotelan di Daerah Istimewa Yogyakarta.  





2 komentar:

  1. ngeriii, berat banget pembahasannya cong, jadi bahan skripsimu ya? :)

    BalasHapus

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...