Sebagai daerah tujuan pariwisata, hospitality industry berupa usaha perhotelan mempunyai peran
penting dalam mengerakkan perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain
sebagai sarana penunjang pariwisata, keberadaan hotel juga mampu menyerap tenaga kerja
sehingga berdampak pada berkurangnya pengangguran. Atas dasar tersebut,
pemerintah daerah setempat pun membuka keran selebar-lebarnya untuk menampung
investor yang hendak menanamkan modalnya
di bidang perhotelan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, keran tersebut
seolah-olah ‘bocor’ sehingga aliran investasi terus membanjir. DIY pun terancam
mendapat masalah yang hampir serupa
dengan DKI Jakarta yang telah menuai masalah akibat menjamurnya mall di
daerahnya.
Sebagai provinsi yang minim akan kandungan sumber daya alam,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terbilang sangat beruntung. Wilayah bekas
Kerajaan Mataram ini menyimpan potensi pariwisata yang sangat besar, baik
berupa peninggalan sejarah, tradisi kebudayaannya, maupun keindahan alamnya. Kondisi
ini menjadi magnet yang cukup kuat untuk menarik minat para pelancong baik dari
dalam maupun luar negeri untuk datang ke daerah tersebut guna menikmati
kegiatan pariwisata mereka pada hari atau musim liburan.
Pemerintah agaknya menyadari keadaan itu dan segera melakukan
upaya untuk menunjang kelancaran kegiatan pariwisata di DIY seperti membangun sarana
dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam rangka menyediakan sarana pariwisata,
terutama untuk akomodasi wisatawan, pemerintah membuka peluang bagi pelaku
usaha yang berminat membangun hotel di Yogyakarta, dimana otoritas pemberian
izin atas usaha tersebut dipegang oleh pemerintah kabupaten/kota setelah
diberlakukannya otonomi daerah. Dan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak hotel
masuk ke kas daerah Kabupaten/Kota. Hingga tahun 2010, tercatat jumlah hotel di
DIY sebanyak 452, yang terdiri dari 37 hotel berbintang dan 415 hotel kelas
melati (buku statistik visitingjogja.com).
Laju pertumbuhan hotel di DIY memang terbilang pesat. Tercatat
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir telah berdiri 20 hotel baru di daerah yang sempat
dipermasalahkan status keistimewaannya itu. Kabar baiknya, berdirinya 20 hotel
tadi telah berhasil menyerap sebanyak 6000 tenaga kerja (travel.kompas.com). Jumlah yang
cukup fantastis. Menandakan bahwa sektor perhotelan tidak dapat dipandang
sebelah mata dalam menggerakkan roda perekonomian DIY.
Vitalnya peran yang diemban sektor perhotelan di Jogja
semakin nyata setelah Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mengumumkan bahwa
pertumbuhan ekonomi provinsi seluas 3.185,80 km square itu -4,27% pada triwulan
II 2012. Namun di tengah minusnya pertumbuhan tersebut, sektor jasa mampu memberi
andil positif terhadap pertumbuhan
Produk Domestik Regional Bruto diperode yang sama sebesar 15,25%, dimana perhotelan
turut berkontribusi.
Akan tetapi segala sesuatu yang berlebih, cepat atau lambat
pasti akan memberi efek yang negatif. Mekipun cukup konsisten dalam memberi 'buaian manis', tetap harus diperhatikan apakah laju pertumbuhan hotel di jogja
masih dalam batas normal. Idealnya, pertumbuhan hotel berbading lurus dengan
meningkatnya jumlah wisatawan yang menggunakan jasa hotel. Tapi faktanya,
pertumbuhan jumlah wisatawan di DIY tidak terlalu pesat. Bahkan saat musim
libur lebaran 2012 ini jumlah okupansi (laju jumlah penghuni hotel) DIY menurun
10% dibanding lebaran tahun lalu sehingga melenceng dari target. Persebarannya pun tidak merata karena sebagian
besar wisatawan hanya memadati hotel-hotel
sekitar kawasan Malioboro. Padahal, sebelumnya situs viva.co.id menyatakan
bahwa sudah ada 17 hotel baru yang sudah di-endorsed
Dinas Perizinan dan siap dibangun 2012 ini juga!
Sebagai pihak yang diberi amanah mengeluarkan izin kepada
setiap kegiatan usaha di daerahnya, sudah sepatutnya Dinas Perizinan (kabupaten
atau kota manapun itu) lebih selektif dan rasional dalam memberi keputusan.
Karena merupakan perbuatan pemerintah bersegi satu, dimana kewenangan
sepenuhnya ada di tangan si pemberi keputusan, mereka mempunyai tanggung jawab
moral yang lebih atas segala resiko yang timbul terkait keputusan yang mereka
berikan.
Saya belum berbicara tentang moratorium perizinan. Namun bila
tidak segera dilakukan evaluasi, bisa jadi DIY (terutama kota Jogja-nya), akan
mendapat masalah yang mirip dengan DKI Jakarta yang ‘kekenyangan mall’. Anda
tentu bisa menebak akibatnya bila pertumbuhan hotel tidak diimbangi dengan
bertambahnya turis pengguna hotel. Akan
banyak hotel yang tidak kebagian jatah ‘kue turis’. Selain itu, pengusaha hotel
terancam bangkrut lalu gulung tikar? Itu memang masalah. Tapi lebih dari itu,
semakin banyak hotel yang terancam bangkrut, berarti semakin banyak orang yang
terancam kehilangan sumber nafkah. So, yang tadinya ingin menyerap sebanyak
mungkin tenaga kerja (plus pemasukan dari pajak hotel), malah mencetak ribuan pengangguran baru…
Oleh karena itu, langkah preventif kiranya perlu diambil. Untuk hal ini bisa diawali dengan dilakukannya evaluasi. Jika memang terbukti over
supply, institusi yang berwenang pasti paham apa yang harus dilakukan. Bolehlah sampai sini bicara moratorium. Setelah itu, bagaimana dengan nasib hotel-hotel yang jumlahnya
sudah terlanjur tinggi?
Hal tersebut menjadi PR bagi pemerintah daerah, baik provinsi
maupun tingkat dibawahnya. Mereka harus berupaya agar hotel-hotel yang ada
dapat terus terisi. Caranya dengan meningkatkan promosi pariwisata baik di
dalam maupun di luar negeri, sembari melakukan divesifikasi terhadap produk-produk
pariwisata DIY guna menarik lebih banyak turis. Selain itu saya juga
menyarankan agar dibuat Perda yang mengatur agar setiap hotel, terutama yang
berbintang, wajib menyediakan space atau galeri yang khusus untuk menjajakan
produk-produk UKM kepada para tamunya. Hal itu saya maksud untuk mematahkan image bahwa keberadaan pengusaha
bermodal besar (baca : kapitalis) mematikan pelaku usaha kecil, tidak berlaku
untuk usaha perhotelan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber Gambar : http://sipulaukelapa.blogspot.com
ngeriii, berat banget pembahasannya cong, jadi bahan skripsimu ya? :)
BalasHapusngga bro, skripsiku bahas yg laen :)
Hapus