Tahun 2012 kiranya menjadi tahun yang memberikan berkah yang
cukup melimpah bagi dunia pariwisata, konservasi alam dan kebudayaan Indonesia. Dua aset
kekayaan bangsa ini, yang kebetulan keduanya berlokasi di Pulau Bali, telah
resmi mendapat pengakuan prestisius dari Badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan dan
kebudayaan, UNESCO. Dua aset berharga itu adalah Subak, sistem pertanian
tradisional Bali yang resmi ditetapkan UNESCO
World Heritage pada akhir bulan Juni dan Kaldera Gunung Batur yang masuk
dalam Global Geopark Network atau
Jaringan Taman Bumi Global (internasional).
Diakuinya dua warisan tersebut memang patut
diapresiasi. Subak, sebuah sistem pertanian khas Bali, mempunyai nilai
filosofis tersendiri. Subak merupakan
perwujudan dari Tri Hita Karana. Situs
Wikipedia menjelaskan bahwa Tri Hita Karana berarti “Tiga Penyebab Terjadinya
Kebahagiaan”, yaitu Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam Lingkungannya dan
Manusia dengan sesamanya. Pengakuan terhadap subak semakin berarti karena
lanskap budaya ini telah diperjuangkan selama 12 tahun ke UNESCO demi
mendapatkan pengakuan resmi sebagai warisan dunia.
Setali tiga uang dengan Subak, ditetapkannya Kaldera Gunung
Batur sebagai Global Geopark mempunyai makna
tersendiri karena telah menjadi Global Geopark pertama di Indonesia dan kedua di Asia
Tenggara, setelah Pulau Langkawi di Malaysia memperoleh pengakuan serupa tahun
2007 silam. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud Geopark atau Taman Bumi adalah
kawasan atau situs warisan geologi yang mempunyai nilai ekologi dan warisan
budaya dan berfungsi sebagai daerah konservasi, edukasi dan pembangunan berkelanjutan (http://www.globalgeopark.org).
Sebetulnya di Indonesia terdapat cukup banyak situs dan kawasan yang
berpotensi menjadi Geopark. Setelah sukses Gunung Batur, rencananya Indonesia
akan mengajukan Danau Toba, Pulau Wayag di Raja Ampat (Papua), Situs Merangin
(Jambi), Gunung Rinjani (NTB) dan Karst Pegunungan Sewu (DIY - Jawa Tengah – Jawa Timur)
untuk tujuan yang sama.
Recognition yang
diberikan oleh Badan UNESCO terhadap situs-situs yang mempunyai nilai tertentu
memang menjadi sebuah pencapaian yang istimewa. Dengan mendapatkan pengakuan
tersebut, automatically akan menambah
daya tarik tersendiri bagi situs atau kawasan yang bersangkutan, khususnya untuk
pariwisata guna menjaring lebih banyak turis. Semakin padat dikunjungi, maka
semakin makmurlah tempat yang bersangkutan. Namun upaya Indonesia untuk
menambah koleksi World Heritage-nya tampak tidak mudah, terutama untuk situs
dengan fitur tertentu seperti kawasan karst atau batu kapur.
Di Indonesia terdapat banyak kawasan karst yang mempunyai
daya tarik tersendiri berupa keindahan bukit-bukit kapur, gua-gua alam dan
kekayaan biodiversitas serta berfungsi sebagai penampung air alami. Bahkan kawasan
karst di Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan) adalah yang terluas nomor dua di
dunia setelah Karst di Cina Selatan (http://tanahair.kompas.com). Begitu pula kawasan karst Pegunungan Sewu yang
membentang 3 kabupaten di 3 provinsi. Kawasan inilah yang
menjadi salah satu calon geopark baru Indonesia yang hendak diajukan ke UNESCO.
Akan tetapi impian untuk menjadikan Pegunungan Sewu sebagai
Geopark mendapatkan ganjalan yang cukup serius. seperti yang dijelaskan
sebelumnya, kawasan ini membentang di 3 kabupaten. Salah satu kabupaten yang
dilalui pegunungan ini, secara serius memperjuangkan agar diajukan ke UNESCO
sebagai Geopark.[1]
Alasannya karena untuk mengembangkan sektor pariwisata yang memang merupakan
salah satu pilar perekonomian kabupaten tersebut serta melindungi warisan alam
yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat daerah setempat. Akan tetapi di
saat yang hampir bersamaan, kabupaten tetangganya justru memiliki rencana yang
kontradiktif. Mereka (kabupaten tetangga tadi) ditetapkan sebagai salah satu pusat perekonomian
terkemuka di Southern Jawa Tengah.[2]
Memang tidak ada yang salah dengan visi tersebut. Namun keadaan memburuk ketika salah satu industri yang hendak dikembangkan daerah
tersebut adalah industri semen yang notabene berbahan baku batu gamping yang terkandung
dalam bukit-bukit dan gua kapur yang banyak terdapat di pegunungan sewu.[3]
Kegiatan eksploitasi batu kapur ini tentu saja mengancam kelestarian karst
Pegunungan Sewu. Padahal kawasan ini hendak diajukan ke UNESCO yang kriteria
penilaiannya tentu tidak bisa terlepas dari keutuhan dan kelestarian situs yang
bersangkutan. So, bagaimana bisa berharap Pegunungan Sewu mendapat pengakuan
UNESCO jika belum diajukan saja sudah timbul polemik yang mengancam
kelestariannya…
Sejauh ini Indonesia tercatat memiliki 8 situs warisan dunia UNESCO yang terdiri dari 4 kategori alam dan 4 kategori budaya (http://whc.unesco.org) plus satu global geopark. Itu belum termasuk Intangible World Heritages seperti batik, wayang, keris, dan sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana peran UNESCO dalam menjaga warisan dunianya? Apakah UNESCO betul-betul berkontribusi dalam upaya menjaga kelestarian warisannya? Apabila kita memeriksa daftar warisan dunia di situs resmi UNESCO, ada beberapa situs yang diberi tanda merah yang artinya sedang terancam kelestariannya. Bahkan ada pula beberapa yang dicoret. Dan yang memprihatinkan adalah, hutan hujan tropis sumatera (tropical rainforest heritage of Sumatera) termasuk salah satu warisan dunia yang diberi tanda merah (satu-satunya di Asia Tenggara yang bertanda merah!).
Siapa yang memberikan tanda merah dan bahkan mencoret situs dari daftar warisan dunia? Tentu saja pihak yang sama ketika situs yang bersangkutan ditetapkan menjadi World Heritage. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut gagal dijaga eksistensinya. So, berarti UNESCO menetapkan sebuah situs sebagai warisan dunia, tapi ketika eksistensi situs tersebut terancam serius kelestariannya, UNESCO lalu memberinya tanda merah, bahkan mencoretnya. Pertanyaan besar : Ketika terjadi upaya atau kegiatan yang merusak warisan dunia, where are you UNESCO??
Guna menjawab pertanyaan tersebut, kiranya ada dua undang-undang yang berkaitan dengan warisan dunia UNESCO, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya. Pasal 56 UU Cagar Alam berbunyi, "Setiap orang dapat berperan serta melakukan perlindungan cagar budaya." Sedangkan UU Konsevasi SDH dan Ekosistem, Pasal 37 ayat (1) dan (2) berbunyi:
(1) Peran rakyat dalam konservasi sumber daya
hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna
(2) Dalam
mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud ayat (1), Pemerintah
menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
Bagaimanapun juga, peran negara atau daerah yang bersangkutan tetap yang utama. Tak terkecuali dalam upaya menanamkan kesadaran kepada masyarakatnya akan pentingnya warisan dunia sebagai milik bersama sehingga wajib dijaga dan menjadi tanggung jawab bersama. Berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap kawasan lindung (baik alam maupun budaya), bukan hanya sekedar formalitas berlaka, tapi hendaknya diimplementasikan sepenuhnya di lapangan termasuk pemberian sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran, sesuai yang telah diatur didalamnya, tanpa pandang bulu. Dan yang lebih penting lagi adalah, aparat atau otoritas yang berwenang atas perlindungan warisan-warisan tersebut hendaknya harus bersih dan berintegitas. Jangan sampai rusak atau berkurangnya nilai situs warisan dunia terjadi karena adanya 'main mata' antara aparat yang berwenang dengan oknum yang tak bertanggung jawab.
Terakhir, pentingkah pengakuan dari UNESCO? Tentu saja sangat penting. Dengan menempuh proses penilaian yang menguras sangat banyak waktu, tenaga dan pikiran, pengakuan tersebut merupakan bukti sekaligus penghargaan prestisius kepada suatu negara atas keberhasilan mereka dalam menjaga, merawat dan mempertahankan aset alam dan/atau budaya yang bernilai tinggi. Pengakuan dari UNESCO merupakan sebuah penghargaan sekaligus ‘tanda pemberian kepercayaan’ kepada negara yang bersangkutan untuk menjaga, melestarikan dan mengembangkan situs warisan dunia miliknya, agar tetap eksis dan dapat dirasakan kemanfaatannya untuk jangka panjang. World Heritage bukan hanya sekedar peninggalan masa lampau, tapi juga aset masa depan bagi generasi yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar