Realitas sepakbola nasional
sepanjang 2018 tengah mengalami pasang surut dalam dinamikanya. Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku induk organisasi yang menaungi
lagi-lagi tak dapat dipisahkan dalam berbagai permasalahan yang mendera. Mulai
dari kematian suporter yang kembali terjadi menyusul tahun-tahun sebelumnya, kegagalan
akan kesepakatan kontrak dengan pelatih pilihan, hingga kegagalan Timnas senior
menembus semifinal Piala AFF 2018. Sederet permasalah itu kian terlengkapi oleh
mencuatnya skandal pengaturan skor (match
fixing) yang terjadi dalam babak lanjutan Liga 2, kompetisi kasta kedua
Liga Indonesia sejak 2017 lalu.
Source: https://pixabay.com |
Sebetulnya bila kita mencoba melihat
secara keseluruhan, pencapaian sepakbola Indonesia selama 2 tahun terakhir
tidaklah terlalu buruk. Timnas U-23 mampu meraih medali perunggu SEA Games 2017 (lebih baik dari SEA Games 2015 yang nihil medali), dan lolos 8 besar Asian
Games 2018 (mempertahankan capaian sebelumnya). Timnas U-19 membuat sejarah
dengan lolos penyisihan grup Piala Asia U-19 sejak 1978, sementara Timnas U-16
berhasil menjuarai Piala AFF U-16 2018 dan mengukir sejarah lolos 8 besar Piala
Asia U-16 di tahun yang sama. Hanya Timnas senior yang kurun waktu terakhir
tidak ada turnamen mayor yang diikuti selain Piala AFF di penghujung tahun.
Akan tetapi sederet prestasi gemilang
timnas kelompok umur tampaknya belum cukup untuk menutupi borok sepakbola dalam
negeri. Setidaknya itulah yang dirasakan para publik sepakbola yang tak
henti-hentinya melancarkan kritik kepada para pengurus PSSI. Edy Rahmayadi
selaku ketua umum menjadi sasaran utama ketidakpuasan sebagian publik yang pada
ujungnya menginginkan lengsernya sang ketua. Bahkan dalam pertandingan terakhir
grup B Piala AFF 2018 saat timnas menjamu Filipina di GBK, chant “Edy Out” menggema di tribun senayan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa PSSI sebagai pihak yang otoritatif atas sepakbola Indonesia bertanggungjawab atas segala permasalahan olahraga tersebut. Adalah kewajaran kritik yang mengalir hingga permintaan turun jabatan kepada Edy Rahmayadi beserta jajarannya. Namun disini saya tidak yakin apakah pergantian ketua merupakan jawaban terbaik atas permasalahan. Karena berkaca pada masa-masa sebelumnya (setidaknya 15 tahun terakhir), siapapun ketuanya permasalahan sepakbola tetap itu-itu saja. Pendek kata: PSSI saat ini butuh solusi, bukan suksesi.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa PSSI sebagai pihak yang otoritatif atas sepakbola Indonesia bertanggungjawab atas segala permasalahan olahraga tersebut. Adalah kewajaran kritik yang mengalir hingga permintaan turun jabatan kepada Edy Rahmayadi beserta jajarannya. Namun disini saya tidak yakin apakah pergantian ketua merupakan jawaban terbaik atas permasalahan. Karena berkaca pada masa-masa sebelumnya (setidaknya 15 tahun terakhir), siapapun ketuanya permasalahan sepakbola tetap itu-itu saja. Pendek kata: PSSI saat ini butuh solusi, bukan suksesi.
Source: https://www.instagram.com/ |
Problematika dunia sepakbola
seperti pergesekan suporter, pengaturan skor, pencurian umur di kompetisi
junior jamak ditemukan di belahan dunia manapun. Hal ini terjadi karena adanya
ruang bagi pelaku untuk melakukan tindakannya tanpa merasa adanya pengawasan
yang melekat. Disinilah saya berpendapat bahwa pengawasan menjadi pangkal
permasalahan. Saya yakin PSSI dengan Komisi Disiplin-nya telah berupaya untuk mengatasinya,
tapi sayangnya fakta menunjukkan bahwa tidak ada lembaga yang mampu mengawasi
dirinya sendiri secara maksimal. Sebagaimana Presiden selaku kepala pemerintahan
(eksekutif) diawasi oleh DPR (legislatif), maka (menurut pendapat saya) perlu
adanya wadah eksternal yang independen untuk membantu PSSI dalam pengawasan
kegiatan sepakbola.
Adapun wadah independen ini bisa semacam
lembaga swadaya (non-government) yang
beranggotakan jurnalis, pandit, ataupun orang-orang yang mengerti sepakbola
untuk memberi masukan dan pendapat yang membangun sepakbola Indonesia. Dalam
prakteknya bisa saja organisasi ini bersinergi dengan media, pemain, wasit, bahkan
suporter untuk dijadikan mitra strategis yang siap membongkar tabir kelam yang sulit dijangkau PSSI, bahkan
termasuk skandal yang melibatkan orang dalam PSSI!
Seandainya hal ini memungkinkan
untuk terwujud, maka diharapkan akan menjadi solusi yang efektif guna memperbaiki
kondisi sepakbola tanah air. Sebagaimana kita mengenal Indonesia Police Watch (IPW) di dunia kepolisian, ataupun Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam pemberantasan korupsi, maka tak
ada salahnya bila kita berpikir hal yang sama untuk sepakbola. Karena sepakbola
tak lagi soal gol dan mengangkat piala, tapi sudah menjadi ekosistem yang
menaungi hajat hidup orang-orang yang menggantungkan perekonomiannya pada olahraga itu. Maka sudah selayaknya keamanan, kenyaman dan keadilan menjadi
jaminan atas mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar