Minggu, 02 Desember 2018

Mitra Independen untuk Pengawasan Sepakbola, Perlukah?


Realitas sepakbola nasional sepanjang 2018 tengah mengalami pasang surut dalam dinamikanya. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku induk organisasi yang menaungi lagi-lagi tak dapat dipisahkan dalam berbagai permasalahan yang mendera. Mulai dari kematian suporter yang kembali terjadi menyusul tahun-tahun sebelumnya, kegagalan akan kesepakatan kontrak dengan pelatih pilihan, hingga kegagalan Timnas senior menembus semifinal Piala AFF 2018. Sederet permasalah itu kian terlengkapi oleh mencuatnya skandal pengaturan skor (match fixing) yang terjadi dalam babak lanjutan Liga 2, kompetisi kasta kedua Liga Indonesia sejak 2017 lalu.

Source: https://pixabay.com
Sebetulnya bila kita mencoba melihat secara keseluruhan, pencapaian sepakbola Indonesia selama 2 tahun terakhir tidaklah terlalu buruk. Timnas U-23 mampu meraih medali perunggu SEA Games 2017 (lebih baik dari SEA Games 2015 yang nihil medali), dan lolos 8 besar Asian Games 2018 (mempertahankan capaian sebelumnya). Timnas U-19 membuat sejarah dengan lolos penyisihan grup Piala Asia U-19 sejak 1978, sementara Timnas U-16 berhasil menjuarai Piala AFF U-16 2018 dan mengukir sejarah lolos 8 besar Piala Asia U-16 di tahun yang sama. Hanya Timnas senior yang kurun waktu terakhir tidak ada turnamen mayor yang diikuti selain Piala AFF di penghujung tahun.
Akan tetapi sederet prestasi gemilang timnas kelompok umur tampaknya belum cukup untuk menutupi borok sepakbola dalam negeri. Setidaknya itulah yang dirasakan para publik sepakbola yang tak henti-hentinya melancarkan kritik kepada para pengurus PSSI. Edy Rahmayadi selaku ketua umum menjadi sasaran utama ketidakpuasan sebagian publik yang pada ujungnya menginginkan lengsernya sang ketua. Bahkan dalam pertandingan terakhir grup B Piala AFF 2018 saat timnas menjamu Filipina di GBK, chant “Edy Out” menggema di tribun senayan. 
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa PSSI sebagai pihak yang otoritatif atas sepakbola Indonesia bertanggungjawab atas segala permasalahan olahraga tersebut. Adalah kewajaran kritik yang mengalir hingga permintaan turun jabatan kepada Edy Rahmayadi beserta jajarannya. Namun disini saya tidak yakin apakah pergantian ketua merupakan jawaban terbaik atas permasalahan. Karena berkaca pada masa-masa sebelumnya (setidaknya 15 tahun terakhir), siapapun ketuanya permasalahan sepakbola tetap itu-itu saja. Pendek kata: PSSI saat ini butuh solusi, bukan suksesi.

Source: https://www.instagram.com/

Problematika dunia sepakbola seperti pergesekan suporter, pengaturan skor, pencurian umur di kompetisi junior jamak ditemukan di belahan dunia manapun. Hal ini terjadi karena adanya ruang bagi pelaku untuk melakukan tindakannya tanpa merasa adanya pengawasan yang melekat. Disinilah saya berpendapat bahwa pengawasan menjadi pangkal permasalahan. Saya yakin PSSI dengan Komisi Disiplin-nya telah berupaya untuk mengatasinya, tapi sayangnya fakta menunjukkan bahwa tidak ada lembaga yang mampu mengawasi dirinya sendiri secara maksimal. Sebagaimana Presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) diawasi oleh DPR (legislatif), maka (menurut pendapat saya) perlu adanya wadah eksternal yang independen untuk membantu PSSI dalam pengawasan kegiatan sepakbola.
Adapun wadah independen ini bisa semacam lembaga swadaya (non-government) yang beranggotakan jurnalis, pandit, ataupun orang-orang yang mengerti sepakbola untuk memberi masukan dan pendapat yang membangun sepakbola Indonesia. Dalam prakteknya bisa saja organisasi ini bersinergi dengan media, pemain, wasit, bahkan suporter untuk dijadikan mitra strategis yang siap membongkar tabir kelam yang sulit dijangkau PSSI, bahkan termasuk skandal yang melibatkan orang dalam PSSI!
Seandainya hal ini memungkinkan untuk terwujud, maka diharapkan akan menjadi solusi yang efektif guna memperbaiki kondisi sepakbola tanah air. Sebagaimana kita mengenal Indonesia Police Watch (IPW) di dunia kepolisian, ataupun Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam pemberantasan korupsi, maka tak ada salahnya bila kita berpikir hal yang sama untuk sepakbola. Karena sepakbola tak lagi soal gol dan mengangkat piala, tapi sudah menjadi ekosistem yang menaungi hajat hidup orang-orang yang menggantungkan perekonomiannya pada olahraga itu. Maka sudah selayaknya keamanan, kenyaman dan keadilan menjadi jaminan atas mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...