Minggu, 22 April 2012

Mewujudkan Mimpi "sang Karang Panas"


Kabupaten Biak Numfor. Salah satu daerah otonom di Provinsi Papua yang letaknya di sebelah utara perairan Teluk Cendrawasih. Wilayah Kabupaten itu berupa kepulauan dengan pulau terbesarnya yang bernama Biak. Biak merupakan pulau karang (atol) yang letak astronomisnya berada dalam wilayah khatulistiwa sehingga temperatur disana relatif tinggi dibanding daerah-daerah lain yang jauh dari garis khatulistiwa.
Berbeda dengan daerah lain di Papua Mainland yang bergelimang kekayaan alam, Biak tidak mempunyai bahan galian yang dapat ditambang maupun  hasil bumi yang melimpah. Tanahnya tidak cukup subur untuk ditanami tanaman pangan karena struktur geologisnya yang terbentuk dari batuan karang. Praktis perikanan laut adalah komoditas alam terbesar yang dapat dimanfaatkan secara masif disana, selain sektor kehutanan. Namun keadaan tersebut agaknya tidak menghalangi semangat warga Biak dalam membangun daerahnya. Kiranya hal itu dapat dilihat dari Visi Kabupaten Biak Numfor yang berbunyi, “Memantapkan Kota Jasa Sebagai Jembatan Emas Biak Sejahtera di Masa Depan”.



Kalimat yang terangkai dalam Visi Kabupaten Biak Numfor sangat jelas menunjukkan bahwa daerah tersebut bercita-cita ingin menjadi Kota Jasa, dimana menjadikan sektor tersebut sebagai tulang punggung yang menyangga perekonomian daerah. Sebuah visi yang masuk akal menurut saya, karena suatu daerah yang minim sumber daya alam memang harus mencari terobosan untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber daya yang ada, khususnya sumber daya buatan. Dan menjadikan sektor jasa sebagai mesin penggerak pembangunan adalah salah satu pilihan yang logis untuk daerah semacam itu.
Bicara soal sektor jasa, hal pertama yang paling sering terlitas di pikiran adalah bidang pariwisata. untuk urusan ini, kiranya Biak mempunyai cukup modal untuk mengembangkannya. Berbagai sumber di internet menyebutkan bahwa beberepa pulau kecil di kabupaten tersebut (termasuk Biak sendiri) mempunyai sejumlah pantai yang indah dan masih sepi. Selain itu Biak dulunya juga tercatat sebagai salah satu pulau yang menjadi lokasi Perang Dunia II. Pertempuran sengit yang melibatkan Jepang dengan negara-negara Sekutu di masa lampau telah menyisakan jejak peninggalan yang tidak sedikit jumlahnya dan sangat penting untuk dilestarikan sebagai bukti otentik atas tejadinya suatu peristiwa yang besar dalam sejarah dunia. So, berbagai peninggalan perang yang ada dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata sejarah untuk disandingkan dengan daya tarik wisata alam berupa pantai dan kehidupan bawah laut yang sudah terlebih dulu ada di Biak.
Misi selanjutnya yang harus dilakukan Pemkab dalam mengembangkan pariwisata daerahnya adalah dengan merawat dan melestarikan komoditas pariwisata yang dimiliki sebaik-baiknya, mengalokasikan dana semaksimal mungkin untuk membangun infratruktur penunjang pariwisata, serta mendidik sumber daya manusianya untuk sadar akan pariwisata. Dan satu hal lagi yang tak kalah penting untuk memajukan pariwisata adalah, seperti yang pernah saya tulis di postingan bulan Februari (baca : wonderful-indonesia-jangan-hanya-slogan. edisi Februari 2012), yakni dengan melakukan promosi segencar-gencarnya untuk menarik minat wisatawan agar datang, sembari melakukan diversifikasi terhadap produk-produk pariwisata yang dimiliki tentunya.
Dilihat dari prasarana yang dimiliki, sebetulnya Biak cukup beruntung karena disana sudah ada Bandara yang cukup representative untuk digunakan, yakni Bandara Frans Kaisiepo. Pertengahan tahun 1990-an Bandara tersebut sempat berstatus internasional dengan melayani rute penerbangan Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles dan sebaliknya. Namun semenjak krisis moneter, entah mungkin karena biaya operasional yang mahal, sehingga status Bandara Internasional pun dicabut. Padahal lokasi Biak cukup strategis untuk sekedar dijadikan tempat transit penerbangan internasional. Meski demikian, Bandara yang dulunya bernama Mokmer itu tetap punya peranan penting sebagai hub penerbangan ke daerah-daerah hampir di seluruh Papua.
Harapan untuk menjadikan kembali Bandara Frans Kaisiepo sebagai bandara internasional kembali terbuka setelah Pemerintah Kabupaten Biak Numfor menjalin kerja sama dengan PT Angkasa Pura I untuk melakukan pengembangan terhadap bandara warisan Perang Dunia II tersebut. Dalam nota kesepahaman itu terdepat 10 kesepakatan, antara lain kedua pihak (Pemkab Biak Numfor dan PT.Angkasa Pura I) sepakat untuk menjadikan Biak sebagai Hub Cargo dan Bandara Frans Kaisiepo dikembangkan agar dapat didarati Jumbo Jet  seperti Boeing 747 dan Airbus.
Sayang dalam dokumen yang dimuat di situs http://regionalinvestment.bpkm.go.id tersebut tidak ada keterangan kapan tahun MoU itu dibuat dan kapan pula pengembangan itu akan direalisasikan. Hanya saja bila proyek itu benar-benar dilaksanakan, saya punyai usulan agar Biak cukup memainkan peran sebagai Hub Cargo saja. Sedangkan untuk urusan logistic cargo di laut, di Biak tidak perlu dibangun Pelabuhan peti kemas penghubung (Hub Port) karena saat ini Pelindo II hendak membangun pelabuhan peti kemas di Sorong yang rencananya akan dijadikan sebagai Hub Port-nya Pasifik Barat. Menurut saya apabila Biak turut membangun Hub Port, maka akan terjadi tumpang tindih dengan Sorong. Dengan adanya pembagian kewenangan antara Sorong dan Biak dalam menjalankan perannya masing-masing dalam sistem logistik (laut dan udara), maka cara ini dapat mendukung terwujudnya pemerataan pembangunan di Papua.
Potensi Biak tidak hanya berhenti di pariwisata dan posisi geostategisnya untuk penerbangan internasional. Tahun 2005 lalu, dalam sebuah pertemuan di Kuala Lumpur (Malaysia), Pemerintah Rusia telah bernegosiasi dengan Pemerintah RI tentang rencana Rusia untuk membangun pusat peluncuran satelit (spaceport) di Biak. Dipihnya Biak karena letaknya yang berada di kawasan khatulistiwa sehingga dekat dengan pusat orbit satelit. Faktor inilah yang membuat Biak sangat ideal untuk tempat peluncuran satelit. Untuk lokasi peluncuran yang dipilih, lagi-lagi yang disebut adalah Bandara Frans Kaisiepo. Sebuah proyek yang terdengar cukup "wah" di telinga, karena jika nanti terlaksana, tentu banyak sekali manfaat yang didapat oleh bangsa Indonesia. Telebih lagi, Indonesia bisa menjadi negara Asia Tenggara pertama dan satu-satunya yang memiliki spaceport.
Namun rencana tersebut mendapat hambatan dari warga lokal Biak yang menolak daerahnya dijadikan sebagai lokasi pembangunan proyek prestisius tersebut. Alasannya karena warga khawatir akan dampak negatif yang dtimbulkan baik saat maupun setelah kegiatan operasional peluncuran satelit dilaksanakan, mengingat adanya kandungan zat radio aktif yang terdapat dalam komponen-komponen satelit. Begitu seriusnya Rusia untuk mewujudkan proyek itu, mereka terus melakukan dialog intensif dengan perwakilan warga biak. Namun tiap kali dialog dilakukan, jawaban warga tetap teguh pada pendiriannya, yaitu menolak.
Sampai akhirnya tahun 2011 lalu, seorang Russian yang mengaku sebagai utusan Presiden Vladimir Putin datang ke Biak dengan tujuan yang sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni bernegosiasi soal proyek satelit Biak. Yang menarik, seperti yang diberitan dalam situs http://tabloidjubi.com , utusan Presiden yang merahasiakan identitasnya itu meyatakan bahwa pihak Rusia telah menyusun schedule peluncuran satelit di Biak tahun 2012 ini. Pernyataan ini berbeda dengan yang disampaikan salah satu staf ahli Bupati Biak Numfor yang mengatakan bahwa peluncuran satelit di Biak akan dilaksanakan tahun 2018 mendatang.
Bingung? Saya juga (hehe...). Tapi sebetulnya konsep peluncuran satelit ditawarkan Rusia di Biak cukup aman dan murah. Teknik yang digunakan bukan cara konvensional dengan memasang roket di darat lalu diluncurkan ke angkasa. Melainkan dengan menggunakan Pesawat Antonov An-124 yang mampu memuat badan satelit di dalamnya. Jadi, perangkat satelit lengkap dengan roket pendorongnya dimasukkan ke dalam pesawat, lalu diterbangkan pesawat itu ke langit. Sampai di ketinggian 45.000 kaki atau +15 km diatas permukaan laut, perut pesawat itu dibuka kemudia satelit akan menyalakan roket pendorong dan mengantarkannya ke orbit. Dengan cara itu plus daya dukung lokasi Biak, diyakini akan menghemat biaya 8-10 kali lebih murah dibanding cara konvensional.


Menurut saya, jika memang benar Rusia ingin memanfaatkan Biak sebagai spaceport, mereka harus menunjukkan komitmen yang serius serta jaminan yang kuat bahwa proyek yang tengah mereka usahakan ini dapat memberi kontribusi yang nyata untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Biak. Belajar dari pengalaman Timika, salah satu tetangga Biak di daratan utama Papua. Tidak perlu saya jelaskan lagi kekayaan apa yang terkandung di Timika, tapi siapa yang menggali, mengelola dan menikmati sebagian besar keuntungannya, serta bagaimana kondisi kesejahteraan warga sekitarnya. Siapun pasti sudah cukup sering mendengar berita-berita mengenai Timika baik di media cetak maupun elektronik.
Dari situlah mestinya Bangsa Indonesia dapat mengambil hikmahnya. Janganlah terlalu mudah terbujuk oleh rayuan pihak asing yang tujuan utamanya untuk mengambil manfaat dari wilayah territorial kita demi kepentingan mereka. Sikap warga Biak dalam hal ini sudah cukup tepat. Tapi bukan berarti menutup pintu rapat-rapat bagi Rusia yang sebenarnya ingin membangun sesuatu yang kita seharusnya juga dapat memetik keuntungan dari situ. Rusia memang menunjukkan itikad baik dengan berjanji akan membangun sekolah dan rumah sakit di Biak. Komitmen yang bagus, tapi di samping itu yang lebih krusial adalah mengenai kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Biak, mengingat masih ada 19.000 warga miskin di kabupaten tersebut. Jika pembangunan proyek tidak memberi perubahan terhadap tingkat kesejahteraan, bisa-bisa yang bersekolah di sekolah pemberian Rusia itu hanya anak-anak pejabat, karyawan spaceport, dan juga anak-anak ekspatriat yang ada di Biak. Sedangkan anak-anak pribumi tetap saja putus sekolah.
Solusi untuk permasalahan diatas menurut saya adalah, jika spaceport-nya sudah jadi, yang menggunakan bukan hanya Indonesia dan Rusia. Tapi kedua negara juga “membisniskan” tempat itu dengan menyewakannya ke negara lain. Jadi, spaceport Biak nanti ditawarkan ke negara-negara lain yang tertarik atau berencana untuk meluncurkan satelit untuk digunakan oleh yang bersangkutan. Indonesia harus mendapat bagian yang lebih besar karena meski dana pembangunannya patungan kedua belah pihak,  lokasinya tetap berada dalam wilayah territorial Indonesia dan tenaga kerja yang membangunnya pun juga orang-orang Indonesia (semoga kenyataanya nanti begitu J) sehingga posisi Indonesia lebih kuat dalam hak meraih keuntungan. Uang hasil sewa yang didapat Indonesia itulah yang sebagian besar digunakan untuk program-progam pro-rakyat di Biak,misalnya untuk insentif pengembangan UMKM di kabupaten tersebut. Dan dengan menawarkan "jasa-jasa" seperti yang disampaikan diatas, impian warga Biak untuk menjadi Kota Jasa yang sejahtera kiranya bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.


Sumber Gambar :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/d/da/Peta_kab_biak_numfor.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg717mUQhfbfS8D9H1ZiPFdA7WSbD2S5hlm7v6BbNHlDQ31WWAge4AGjIb5fvHcwzOYNf0es3vXpb3nYkVY0MWxcGxXHsinCQW2pRhs2kobyMdvYRIqke1oC98TkAxdX6mCLrdBGGfG4aJa/s1600/Wallops_Research_Range.jpg




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...