Minggu, 18 Oktober 2015

Mendukung Kebangkitan Industri Dirgantara

Industri strategis nasional tampak bergairah akhir-akhir ini. Setelah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sukses meluncurkan Satelit LAPAN-A2 akhir September lalu, misi berikutnya adalah menuntaskan proyek pesawat turboprop N-219 yang rencananya roll out 2015 ini. Sebuah kabar yang cukup membanggakan khususnya bagi perkembangan industri dirgantara nasional yang juga tengah menunggu proyek R80 karya PT Reggio Aviasi Industri (RAI), besutan keluarga Habibie.

Source: http://jakartagreater.com/
Pesawat N-219 sendiri merupakan proyek kolaborasi LAPAN dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang diproyeksikan sebagai pesawat ringan untuk transportasi antar pulau di Indonesia.[1] Nantinya bukan hanya sebagai pesawat penumpang/komersial saja, melainkan juga akan diproduksi sebagai pesawat angkut militer, barang, hingga pesawat amphibi. Dengan kemampuan landing di landasan pendek, diharapkan pesawat N-219 bisa menjadi solusi kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan transportasi antardaerah dan pulau-pulau terpencil di pelosok negeri. Kabar baiknya lagi, beberapa negara sudah siap mengantri memesan pesawat karya anak bangsa itu.
Sebetulnya misi menerbangkan pesawat buatan dalam negeri bukan hal yang baru. Beberapa dekade silam industri dirgantara kita sempat dua kali menghasilkan produk yang menjadi kebanggaan nasional. Keduanya adalah pesawat CN-235 (kerjasama dengan Cassa Spanyol), dan yang fenomenal N-250, pesawat turboprop pertama di dunia yang menerapkan sistem fly by wire. Dua variannya bahkan sudah terbang perdana pada tahun 1995 (N-250 Gatotkaca) dan 1996 (N-250 100 Kerincing Wesi), sebelum akhirnya dibatalkan proyeknya karena Krisis Ekonomi 1997. IPTN sendiri merupakan perusahaan yang kini berganti nama menjadi PTDI.
Ya, industri dirgantara merupakan salah satu industri strategis yang berperan vital bagi negara kepulauan, layaknya Indonesia. Benefit yang dihasilkan bukan hanya kemandirian dalam memenuhi kebutuhan transportasi udara yang besar prospeknya, melainkan juga prestis sebagai sebuah bangsa. Pengembangan teknologi dirgantara merupakan yang paling sulit setelah teknologi antariksa, atau setara dengan teknologi energi nuklir. Oleh karena itu, B.J. Habibie (Presiden RI ke-3, Bapak Teknologi Indonesia) melalui teori “lompatan kodok”-nya, menyatakan bahwa bila kita mampu menguasai teknologi yang paling rumit, maka teknologi lain yang tingkat kesulitannya dibawah akan lebih mudah dikuasai. [2]
Proyeksi pesawat buatan dalam negeri yang dirancang LAPAN (selain satelit) tidak berhenti pada N-219. Rencananya setelah pesawat tersebut diproduksi masal, selanjutnya bakal menyusul seri-seri pesawat lain seperti N-245 dan N-270. Terlebih jika Pesawat R80 produksi PT RAI yang juga made in Indonesia turut berhasil nantinya, maka industri dirgantara nasional tengah menatap masa depannya yang cerah.
Dengan memahami arti pentingnya, maka seyogyanya agar industri dirgantara didukung oleh berbagai kalangan, baik dukungan materil maupun non-materil. Info-info positif mengenai industri strategis kiranya perlu dipublikasikan dengan porsi yang layak. Mengingat industri dirgantara ataupun industri strategis pada umumnya-- merupakan bagian dari pembangunan nasional, maka masyarakat sebagai objek sekaligus subjek pembangunan perlu mendapat informasi yang cukup agar dapat memahami dan ikut mengawasi.
Semoga industri dirgantara pada khususnya, dan industri strategis pada umumnya, terlindung dari kepentingan-kepentingan yang menghambat perkembangannya dan mengancam eksistensinya.
Sebagai bangsa yang besar, sudah selayaknya Indonesia mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Sebagai bangsa yang 70 tahun merdeka, maka sepatutnya dinding yang bernama inferiority complex itu dihancurkan, lalu dibangun benteng kokoh bernama Kedaulatan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...