Sambungan dari bagian
1
Beberapa saat kemudian, di sebuah kantor catering.
Sandra baru saja selesai menerima tamu yang tidak lain adalah calon konsumen catering tempatnya bekerja. Begitu kembali ke ruangannya, telepon pun berdering. Tepat sekali timing teleponnya, begitulah yang terlintas di benak Sandra. Segera ia angkat telepon.
“Halo,
selamat siang Taruna Catering..” sapa Sandra sesuai SOP kantornya.
“Halo, ini aku Mah.” jawab seseorang yang
menelepon.
“Oh, kenapa
Pah?”
“Gini Mah, Papa ada urusan ke luar kota.
Biasalah bisnis…”
“Iya,
terus..”
“Besok jum’at sore Papa sudah harus ke
Bandung, tapi ngga terlalu lama kok. Paling minggu sudah pulang.”
“Oh gitu, ya
ngga apa-apa sih. Yang penting tujuannya jelas.”
“Mama ngga apa-apa kan, ditinggal beberapa
hari?”
“Ngga masalah
kok. Asal jangan lupa oleh-olehnya aja...”
“Oh tenang, itu sudah pasti.. Yang penting
Mama jaga diri saja selama ngga ada Papa.”
“Ah, kayak
anak kecil aja. Urusan apa sih ke Bandung.”
“Mau ketemu mitra Papa disana. Udah dulu ya
Mah, ada konsumen datang nih.”
“Oke Pah..”
Salam penutup dan percakapan berakhir. Sandra menutup telepon. Sejenak ia
diam termenung, lalu kembali tersadar dan melanjutkan aktivitasnya.
Sementara itu, setelah menutup telepon, Rafi menoleh ke arah Pandu dan
berkata,
“Jelas dia
bakal baik-baik saja selama aku tinggal…”
Baik Rafi
maupun pandu sama-sama tersenyum sinis.
“Sangat baik-baik saja…”
****
Keesokan Jum’at, menjelang petang.
Rafi sudah meninggalkan rumahnya sejak sore tadi. Kini hanya ada Sandra
seorang di rumah pasangan suami-isteri itu.
Jam menunjuk pukul 6.37 malam. Sementara di luar rumah tampak amat sepi.
Suasana komplek perumahan makin dramatis dengan hembusan angin yang
menggoyangkan daun-daun pepohonan secara perlahan.
Di lain tempat, tepatnya di jalanan, seorang pria pengendara motor sport tengah sibuk menjawab telepon
dengan ponselnya. Motornya telah ia hentikan di pinggir jalan dalam rangka
melakukan kegiatan dengan ponselnya itu.
“Yakin ngga
akan balik lagi kan?” tanya pria itu dengan ponsel ditempelkan di telinga
kanannya.
“Jelas nggak lah. Orang naik kereta…”
jawab seorang wanita lawan bicara telepon pria tersebut.
“Okelah, ini
sudah mau sampai.”
“Yow, hati-hati di jalan.”
Dimasukkannya ponsel ke kantong
celana dan bergegaslah pria itu melanjutkan perjalanan dengan motornya yang
gagah.
****
Sementara itu di rumah
kontrakannya, Pandu tampak serius menyaksikan tayangan di televisi. Ia duduk di
sofa berwarna hitam. Di depannya tersedia meja, lengkap dengan kudapan kacang atom
dan mug berisi hot chocolate.
“Yak, smash!” teriaknya semangat.
“Yeah…”
Pandu begitu menikmati siaran
langsung pertandingan tenis di televisi. Tayangan langsung kejuaraan Grand Slam yang mempertemukan dua
petenis putri terbaik saat ini : Maria Sharapova vs Victoria Azarenka. Namun
tampaknya Pandu tak sedang sendirian. Terdengar suara pria di belakangnya,
“Emang paling
betah ya nonton pertandingan kayak
gitu. Kau lihat pertandingannya atau pemainnya?”
tanya orang
yang di meja makan belakang sofa tempat duduk Pandu.
“Both lah… Hahaha…” jawab Pandu dengan tawa.
Pertandingan yang mempertemukan
Marsha vs Vika memang menjanjikan duel yang seru untuk ditonton. Sama-sama ber-skill ciamik dan sama-sama ranking papan
atas dunia. Selain itu, kedua juga sama-sama berparas cantik sehingga turut
menjadi daya tarik tersendiri. Dan uniknya, kedua pemain tenis itu sama-sama
suka mengeluarkan teriakan yang terdengar seperti lenguhan kala melakukan
smash atau menghalau smash lawan. So, bisa dibayangkan
seberapa “ramai” suasana lapangan kala keduanya bertanding.
“Kau pilih
Marsha atau Vika, kita bet 100 ribu
rupiah. Beranikah?” tantang Pandu.
“Hahaha… sorry bro, saya lebih suka
bola.”
“At least kau boleh belikan isterimu cendera hati palsu dari bandung, hahahaha…”
Oleh-oleh palsu untuk isteri
dari Bandung? Bisa ditebak siapa yang kemarin pamit ke Bandung kepada
isterinya.
“Aku memang
ngga berencana untuk belikan sesuatu, tapi aku mau memberikan sesuatu.” itulah
jawaban yang dilontarkan lawan bicara Pandu, yang tak lain adalah Rafi.
“Hmm..” Pandu mengangguk.
****
Kembali ke rumah kediaman Rafi dan Sandra.
Hidangan makan malam telah tersaji lengkap di meja makan. Ada nasi, ca
kangkung, tahu dan tempe goreng. Tak ketinggalan pula sambal goreng tersaji
dalam mangkok kecil. Sebuah menu makan malam sederhana yang memberikan kesan
biasa saja bagi yang melihat. Namun kesederhaan itu tampak memberi kesan yang
lebih dari biasa bagi Sandra. Karena ia tidak memasak hidangan itu untuk
dirinya seorang.
Ya, di salah satu kursi meja
makan tersebut, duduk sesosok pria muda seraya asyik memainkan ponselnya. Tak
lama kemudian datang Sandra dari dapur membawakan air minum.
“Sorry ya Ga,
hari ini cuma masak seadanya.” kata Sandra.
“Ah santai
saja, keliatan enak kok.”
“Ambil
sendiri makannya, ngga usah segan-segan.”
“Oke,
tengkyu.”
Sandra memang
tidak sendiri. Ia kedatangan temannya yang bekerja di asuransi, bernama Angga.
Usianya sebaya dengan Rafi dan Sandra, namun belum punya pasangan.
“Dalam rangka
apa sih suamimu ke Bandung?” tanya Angga.
“Biasalah,
urusan bisnis.”
“Usahanya
lancar kan?”
“Ya,
lumayan.”
Kurang lebih 10 menit keduanya
menghabiskan waktu untuk menyantap makan malam. Begitu selesai Sandra bergegas
menata piring dan gelas bekas makan dan membawanya ke dapur untuk dicuci.
Sementara Angga berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sofa.
Di meja ruang tamu tergeletak
laptop berwarna hitam dalam kondisi mati dan terlipat. Angga pun membuka laptop
dan menekan tombol untuk menghidupkan alat itu. Layar laptop pun perlahan
menyala dan siap dioperasikan. Tak lama kemudian Sandra turut menghampiri Angga
dan duduk di sebelah pria itu.
“Abis ngopi
film apa kamu?” tanya Sandra.
“Ngga ada
film baru.”
“Pasti mau
main game…”
“Enggaklah…”
jawab Angga merebahkan punggungnya di dinding sofa.
Tampak kursor dalam layar tengah
berputar-putar, tanda loading setelah
mengklik sebuah aplikasi. Dengan rileksnya, Angga menyandarkan tangan kanannya ke
belakang pundak Sandra yang duduk di sampingnya. Sandra tak bergeming, matanya
terus memandangi layar laptop Angga. Tak lama kemudian muncul gambar kedua
orang itu di layar laptop. Diketahuilah bahwa baru saja Angga membuka aplikasi
untuk memotret.
“Lumayan
jelas kan?” tanya Angga.
“Bolehlah.”
jawab Sandra.
Keduanya pun saling berpose. Bak sesi pemotretan ala model, keduanya
saling berpose mesra di depan kamera. Tangan kanan Angga merangkul erat Sandra,
sementara Sandra menyandarkan kepalanya di pundak kanan Angga dengan senyum
manisnya.
Mereka terus melakukan dengan ekspresi dan pose yang beragam. Bahkan tak
jarang kamera laptop Angga memotret keduanya saling berkecup bibir, layaknya
pasangan kekasih yang dimabuk asmara. Keduanya pun tampak sangat menikmati
momen tersebut. Cukup lama mereka melakukannya, bahkan hampir satu jam. Namun
tidak semua hasil foto yang terambil memuaskan mereka. Tak jarang mereka
menghapus gambar yang baru saja dipotret. Semua hasil potretan pun disimpan
dalam laptop Angga. Jumlah totalnya ada 15 foto.
Tanpa terasa waktu telah menunjuk pukul 21.56. Sandra dan Angga sudah
tidak saling berpose lagi, tapi masih berduaan di ruang tamu. Mata Angga
tertuju ke arah jam dinding.
“Okay, sudah
hampir jam 10. Sesuai katamu tadi, kita akan melanjutkan besok.”
Sandra hanya
mengangguk senyum tanda mengiyakan.
Angga pun segera bersiap hendak pulang meninggalkan rumah Sandra.
Sementara menunggu proses shut down
laptopnya, ia memakai jaket kulitnya yang berwarna hitam. Di waktu yang sama,
Sandra mencabut kabel charger laptop
dan merapikannya di meja. Begitu laptop mati segera dilipat Angga dan
dibungkuskan ke wadahnya sebelum dimasukkan ke tas, turut disertakan pula charger-nya.
Diantarnya Angga oleh Sandra menuju motornya yang diparkir di halaman
rumah. Suasana malam tetap sepi seperti jam-jam sebelumnya.
“Sepi banget
ya disini.” ujar Angga yang bersiap mengendarai motor dengan helm half face yang telah membungkus
kepalanya.
“Bakar rumah
aja pasti ramai.” canda Sandra.
Angga sedikit merubah sikap.
Dengan senyum tangan kanannya meraih kepala Sandra bermaksud mendekatkan wajah
Sandra ke wajahnya. Namun dengan sigap Sandra menolak karena meski suasana
sepi, Sandra merasa tetap tak patut melakukan perbuatan itu di ruang terbuka.
Angga sempat sedikit kecewa namun segera menghiraukannya. Tak lama kemudian
Angga melaju tinggalkan rumah dengan kuda besinya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar