PROLOG
Menggores tinta, merangkai cerita. Itulah tema yang pas untuk deretan tulisan yang hendak saya posting beberapa hari ke depan. Ya, untuk kali pertama saya menulis sebuah cerita fiksi untuk dijadikan sebagai bahan postingan blog sekaligus imaginarium saya ini. Sebuah kisah seputar anomali kehidupan rumah tangga, intrik-intrik nan licik serta tenggelamnya tokoh-tokoh dalam sandiwara yang penuh kepalsuan. Semuanya terangkum dalam sebuah cerita bersambung yang murni ditulis berdasar imajinasi yang terlintas dalam pikiran saya selaku pengarang.
Saya memohon maaf andaikan saat membaca nanti anda melihat beberapa kekurangan, semisal alur ceritanya, penggambaran tokoh, atau hal-hal lain bersifat teknis yang mempengaruhi kualitas cerita yang dihasilkan. Karena biar bagaimanapun juga, posisi saya sebagai pemula dalam menulis cerita fiksi, membutuhkan waktu yang lebih untuk belajar agar menjadi lebih baik lagi.
Sebelum melangkah ke cerita, perlu pula saya sampaikan bahwa akan ada beberapa adegan atau kalimat yang mungkin tidak patut untuk menjadi konsumsi anak atau orang yang belum dewasa. Oleh karena itu saya meminta bagi anda yang berusia dibawah 18 tahun untuk jangan membaca cerita ini. Dan bagi anda yang telah berusia dewasa, dimohon kebijaksanaannya dalam menyikapi hal-hal dalam cerita yang dianggap kurang berkenan. Mungkin di lain waktu, bila ada ilham dan kesempatan, saya akan menulis cerita lagi yang lebih universal. Maksudnya adalah cerita yang dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, tanpa ada pembatasan terhadap umur atau kategori tertentu.
Well, berikut adalah cerita bersambung berjudul Player, ditulis oleh saya sendiri Ali-Aliyonk, spesial untuk anda para pembaca setia. Here we go...
PLAYER
Malam kamis. Hujan lebat disertai petir
terus mengguyur bersama kilat. Sementara jam dinding menunjuk pukul 00.17, Rafi
masih terjaga. Duduk di meja dengan laptop menyala di hadapannya. Raut wajah
tegang, jantung berdegup kencang. Matanya tak beranjak memandangi layar laptop
dengan tajamnya. Bertumpu sikut, telapak tangan kirinya setengah menggenggam
menutupi sebagian mulut dan hidung. Sementara tangan kanannya tak beranjak
memegangi mouse.
Beberapa detik sekali, telunjuk tangan
kanannya memencet benda oval berkabel itu. Semakin lama, matanya kian memerah.
Mimik wajah semakin serius. Amarah yang sedari tadi terpendam, semakin tak
terbendung. Rasa itu masih dikombinasikan dengan kekecewaan dan kesedihan yang
mendalam. Ketiga elemen itu bercampur membentuk kondisi emosional yang sangat
tak menentu. Terbesit intuisi dalam hati Rafi, sebagai refleksi terhadap
situasi yang dihadapi, “Kalian tak akan selamat…”
* * * *
Keesokan harinya.
Pagi yang cerah pasca hujan lebat semalam. Cairan hitam berasap mengguyur penuh cangkir putih dengan panasnya. Satu cangkir lagi mendapat guyuran yang sama. Keduanya lalu ditaruh di baki dan diantar ke meja makan. Sampai tujuan, kedua cangkir penuh kopi itu diletakkan terpisah dari bakinya. Sementara terdengar sayup suara penyiar berita di televisi dengan mimik seriusnya.
“Pesanan gamis yang dari Magelang itu sudah belum, Pah?” tanya Sandra ke suaminya.
“Kemarin sudah jadi sekitar dua per tiganya. Targetnya sebelum minggu sudah jadi.” jawab Rafi tanggapi isterinya.
“Ya bilangin aja ke anak-anak, jangan terlalu terpaku pada waktu. Yang penting kualitas hasilnya.” lanjut Sandra.
“Mereka sudah mulai terbiasa dikejar deadline kok Mah. Papa juga sudah mengira-ira sebelum terima order.” sambung Rafi seraya menggigit roti.
Rafi adalah pengusaha konveksi di Yogyakarta. Ia pun tinggal di kota itu bersama isterinya, Sandra, yang berprofesi sebagai marketing di sebuah perusahaan catering. Mereka sudah 3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, tapi belum jua dikaruniai momongan. Namun kondisi tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti bagi mereka. Mengingat usia masing-masing pasangan yang relative muda (28 tahun), mereka bahkan menargetkan punya anak umur 30 tahun, waktu dimana kondisi perekonomian sudah mapan menurut prediksi mereka.
“Oh ya, kabarnya Fatma gimana?” tanya Sandra sambil menyeruput kopi.
“Katanya sih hari ini sudah berangkat kerja. Kemarin dia kasih kabar langsung.”
“Kalau memang sudah fit, sebagian kerjaan Arif diserahin dia aja biar cepat sekalian.”
“Iya, Papa memang ada rencana begitu sih.”
Tanpa terasa waktu menunjuk pukul 8.33 pagi. Mereka pun segera bergegas ke aktivitasnya masing-masing.
* * * *
Rafi sampai di workshopnya setelah sempat mengantar Sandra ke kantornya. Begitu masuk tampak olehnya 6 orang karyawan tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Empat diantaranya tengah berkonsentrasi dengan mesin jahit, satu orang wanita sibuk menyeterika, sedangkan sisanya seorang pria tengah memotong pola. Beberapa diantara mereka sempat menoleh ke arah Rafi, kemudian kembali fokus ke kegiatannya lagi.
Rafi pun duduk di meja yang memang disediakan khusus untuknya. Tak lama kemudian datang seorang karyawan wanita mendekati Rafi. Tangan kanannya membawa dua lembar kertas kecil berbentuk persegi panjang. Masing berwarna hijau muda dan merah jambu.
“Pak, ini nota yang kemarin beli payed sama Thai Silk.” kata wanita itu seraya menyerahkan bawaannya kepada Rafi.
“Oh, yang kemarin sore itu ya.”
“Iya Pak.”
Sebagai owner sebuah usaha konveksi, Rafi juga menjalankan perannya sebagai akuntan, supervisor dan policy maker. Pembukuan debet-kredit dan kalkulasi honor per karyawan turut menjadi menu yang ia lahap dalam pekerjaannya. Dulu awalnya pekerjaan itu di-handle oleh Sandra. Namun semenjak Sandra diterima kerja di sebuah perusahaan catering, otomatis Rafi-lah yang harus mengurusnya seorang diri. Sebenarnya bisa saja Rafi membayar karyawan baru untuk berperan sebagai akuntan. Namun urusan keuangan merupakan hal yang cukup sensitif sehingga ia tidak berani memberi kepercayaan ke orang lain. Selain itu dengan kondisi tersebut, setidaknya kas perusahaan jadi lebih hemat karena tidak perlu menggaji seorang akuntan professional. Namanya juga pengusaha…
Waktu pun terus berputar. Matahari semakin meninggi, seiring kian panasnya cuaca siang itu. Datang sebuah mobil sedan hitam berjalan menuju workshop Rafi. Diparkirnya mobil itu di parking area yang telah tersedia. Terbukalah pintu depan mobil itu dan keluar seorang pria parlente dengan kacamata hitam menghias parasnya. Ditutupnya pintu mobil dan bergegas masuk ke workshop Rafi. Ditemuinya Rafi tengah sibuk memotret patung peraga yang telah dikenakan gamis batik berwarna merah dan hitam.
“Hey bro, sibuknya…” sapa orang itu kepada Rafi.
Dengan senyum lebarnya, orang itu melepas kacamata hitamnya dan tampak jelaslah wajahnya yang seperti orang India. Ya, dia memang seorang India Tamil. Namanya Pandu Mohana.
“Eh, Pandu. Kau rupanya.” jawab Rafi segera menaruh kameranya di meja.
“How are you doing?” tanya Pandu menjawab tangan Rafi.
“Horrible…” jawab Rafi serius.
“Ow man..”
Pandu Mohana adalah warga Negara Singapura beretnis India. Ia punya usaha tekstil dan butik di negaranya. Pandu gemar melancong ke Indonesia, khususnya Yogyakarta. Di kota itu pula ia berkenalan dan berteman dekat dengan Rafi, sesama pengusaha yang “akrab” dengan kain.
“So, camna kelanjutannya nanti?” tanya Pandu duduk di ruang tamu bersama lawan bicaranya.
“Jelas harus ada perhitungan. Ini cuma soal timing saja.”
“Boleh je kau nak balas. Tapi kau juga harus pikir efeknya untukmu kelak.” sambung Pandu berbahasa Melayu.
“I don’t care. Ini soal harga diri.”
“Hmm, aku mencium aroma violence. Yeah, you are a man. Mungkin aku juga lakukan hal sama bila mendapat seperti kau.”
“Begini bro, let me tell you..”
Dalam nada pelan, dengan seriusnya Rafi memaparkan detail hal yang ia rencanakan kepada Pandu. Sebuah rencana yang tentu bukan main-main, mengingat sebelumnya Rafi sempat menyebut kata “harga diri”.
****
BERSAMBUNG...
Lanjutannya klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar