Senin, 24 Juni 2013

Cerita Bersambung : Player (Bag.5)

Sambungan dari bagian 4

“Sorry Raf, ini bukan murni dari aku.” Angga memohon dalam kesakitan di lantai.
“Tapi murni dari nafsumu...!!!” timpal Rafi dilanjutkan dengan sepakan keras ke dagu Angga, hingga kepalanya membentur lantai.
Kondisi kini sudah tak berdaya. Seorang diri, ia tergeletak di lantai ruang tamu menahan sakit tiada tara di beberapa bagian tubuhnya. Rafi yang berdiri di dekatnya, perlahan berjalan mendekati. Bukan tanpa tujuan, Rafi mengeluarkan sebuah benda dari kantong celananya. Kondisi Angga yang sudah sangat parah secara fisik, giliran psikisnya yang kian tak menentu setelah melihat benda yang dikeluarkan Rafi untuk ditujukan padanya. Sebilah pisau besar nan tajam memancarkan pantulan cahaya di sekujur permukaan batangnya. Dengan tangan kanannya, Rafi membawa pisau itu mendekati Angga.
“Raf, ampun Raf. Ku akui kesalahanku memang parah, tapi bukan berarti aku harus menebusnya dengan nyawa..” pinta Angga begitu memelasnya.
“Saya memang ngga butuh nyawamu, saya cuma ingin tahu seperti apa warna darah hewan sepertimu.”
Tanpa ampun Rafi menggunakan tangan kirinya untuk menekan pipi kiri Angga hingga menoleh dan tertahan di lantai. Lalu didekatkan pisau tadi ke sisi kiri leher Angga oleh tangan kanan Rafi, hingga ujung mata pisaunya menyentuh kulit leher objeknya.
“Ucapkan salam pada dunia...”kata Rafi.
Pisau yang semula ujungnya menyentuh kulit sisi kiri leher Angga, perlahan dijauhkan, tapi bukan untuk membatalkan tujuan. Dalam bara api cemburu, Rafi benar-benar ingin menusuk dan merobek leher orang yang kini dalam cengkeramannya. Dengan degup jantung yang kian berdebar, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Rafi memasang ancang-ancang dengan pisau di genggaman tangan kanannya. Dalam hati ia berhitung sebelum menuntaskan aksinya. Setelah hitungan keempat dalam Bahasa Spanyol, pisau itu akan mengakhiri misi mautnya.
“Uno.”
“Dos..”
“Tres…”
“Quatro!!!”
Tangan kanan Rafi mulai bergerak dan…
DAKK!!!
Mata Angga terpejam. Namun jantungnya masih berdetak. Nadinya pun masih berdenyut. Sedangkan Rafi, tubuhnya tergeletak di samping Angga. Bedanya, jantungnya sudah tak berdetak, nadinya tak lagi berdenyut. Namun kedua matanya dalam kondisi setengah terbuka. Bagian belakang tempurung kepalanya mengucurkan darah karena benturan keras dari sebuah benda yang dipukulkan sekuat tenaga.
Kurang dari satu meter dari jarak keduanya tergeletak, berdiri sesosok wanita berkulit putih dengan rambut sepanjang bahu. Nafasnya terengah-engah. Kedua tangannya yang gemetar, membawa sebatang baseball bat berwarna cokelat. Ia masih terpaku melihat dua sosok pria yang tergeletak di hadapannya, yang tak lain adalah suami dan pasangan selingkuhnya…

****

Keesokan harinya, muncul berita di surat kabar lokal yang melaporkan bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap seorang pria yang berprofesi sebagai pengusaha konveksi di Kota Yogyakarta. Korban itu diketahui bernama lengkap Rafi Firmansyah, tewas karena pukulan benda keras di bagian belakang kepalanya, yang diduga kuat menggunakan tongkat bisbol yang ditemukan di rumah tempat kejadian perkara.
Di sebelah korban tewas ditemukan pula sesosok pria dalam kondisi tak sadarkan diri dengan luka lebam di pipi dan dagu. Ditemukan pula gigi geraham yang retak dalam mulutnya dan kepalanya mengalami gegar otak ringan karena benturan keras kepala bagian belakang.diketahui korban itu bernama Angga Hendrawan, seorang pegawai asuransi. Polisi pun menduga kuat keduanya sempat terlibat perkelahian sebelum tewasnya korban bernama Rafi. Namun polisi tidak menemukan bukti bahwa Rafi dibunuh Angga, karena sidik jari pada tongkat bisbol tidak identik dengan sidik jari Angga.
Kini Angga dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta. Polisi masih menunggu perkembangan kondisi Angga hingga lebih baik, guna meminta keterangan lebih lanjut tentang kronologi  kejadian yang sebenarnya.

                ****

Sore hari yang cerah, sehari pasca tragedi.
Di salah satu kamar rumah sakit swasta terbesar di Yogyakarta. Angga masih tergolek di ranjang putihnya. Beberapa bagian wajah dan kepalanya tampak masih tertutup, namun kondisi fisiknya keseluruhan sudah lebih baik. Terdengar olehnya suara pintu dibuka. Seorang suster mempersilakan seseorang masuk ke kamar tempatnya dirawat.
Angga menoleh ke arah datangnya seseorang yang membesuk. Dilihatnya sosok pria India berpenampilan berperawakan gempal, dengan tas selempang di pundak kanannya, datang mendekatinya. Diseretnya kursi mendekat ke ranjang dan duduklah ia menghadap Angga yang masih tergolek. Mudah ditebak, orang itu adalah Pandu Mohana.
Sebagai teman dari isteri Rafi, Angga juga cukup kenal dengan Pandu Mohana. Keduanya diperkenalkan Rafi saat mereka bertiga bersama mengunjungi sebuah showroom mobil di Yogyakarta, dimana Pandu membeli sedan hitam miliknya sekarang.
“Apa kabar?” tanya Pandu seraya menjabat tangan Angga.
“Seperti yang kau lihat.” jawab Angga simple.
“Apakah polisi sudah mendatangimu?”
“Polisi? Belum...” Angga tampak tak paham.
Kemudian Pandu membuka tasnya. Dimasukkan tangan kanannya ke dalam tas hendak mengambil sesuatu. Angga memang belum tahu apa gerangan yang terjadi pada Rafi. Bahkan ia sempat berpikir dirinya telah mati di tangan temannnya itu. Pikiran Angga kemudian tertuju pada Sandra. Ingin ia bertanya bagaimana gerangan kondisi wanita itu, namun tak enak rasanya bila menanyakan hal itu kepada Pandu.
Tak lama kemudian Pandu mengeluarkan lembaran kertas tertekuk dari dalam tasnya, yang tak lain adalah Koran hari ini.
“Hmm, coba lihat ini.” kata pandu sambil menyerahkan Koran dan diterima oleh Angga.
“Ada apa?”
“Bukalah dan cari bagian kriminal. Disitu ada berita tentang pengusaha tewas.”
Sementara Angga sibuk membuka halaman demi halaman mencari bagian yang diminta, Pandu menoleh ke meja. Dilihatnya dua gelas bening. Satunya berisi penuh air putih, satunya lagi kosong dan dalam kondisi dibalik. Di sebelahnya ada teko dengan isi air yang sama.  Semua tertata rapi diatas sebuah baki stailess steel. Pandu beranjak meninggalkan kursi sejenak. Tak lama kemudian Angga menemukan halaman yang dicari. Ditemukannya sebuah judul berita yang berbunyi. “PENGUSAHA KONVEKSI DITEMUKAN TEWAS.”
“Ini ya berita yang kamu maksud?” tanya Angga menunjukkan lembaran yang yang memuat berita itu.
“Yup, bacalah.”
Angga pun membaca berita itu dengan seksama. Raut wajahnya tampak terkejut memandangi tulisan-tulisan dalam berita koran tersebut.
“Rafi mati dipukul tongkat bisbol?” respon Angga menanggapi berita yang dibacanya.
“Ya. Kau tahu pelakunya?”
“A, Aku sempat melihat tongkat bisbol itu di…”
Spontan Angga memutus kalimat yang tengah diucapkannya. Ia masih berupaya menyembunyikan dosa yang ia lakukan bersama Sandra, isteri Rafi.
“Dimana kau lihat tongkat bisbol itu?”
Angga terdiam. Ia pun berpikir untuk berterus terang dan petaka tak akan menghampirinya mengingat Rafi telah tiada.
“Aku sempat melihat tongkat bisbol di kamar mereka.” ujar Angga.
“Mereka siapa?” tanya Pandu.
“Ya.. Rafi dan Sandra.” jelas Angga.
Pandu menyandarkan dagu di telapak tangannya yang berpijak diatas paha kanannya. ia menghela nafas dan berpikir sejenak.
“Rafi dibunuh isterinya sendiri?” tanya Pandu dengan mimik keheranan.
“Tidak tahu. Tapi aku sempat melihat tongkat bisbol itu dan saat kejadian kita hanya bertiga.” kata Angga.
“Kamu benar-benar tidak ingat kronologi kejadiannya?” tanya Pandu sekali lagi.
Angga mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dialaminya malam lalu. Memorinya kembali tertuju pada momen ketika ia tersungkur lemas di lantai ruang tamu, lalu Rafi menekan pipi kirinya hingga kepalanya tertoleh dan ditekan di lantai. Pandangannya saat itu hanya tertuju ke dinding ruang tamu, sementara terasa jelas ujung mata pisau rafi menyentuh kulit sisi kiri lehernya. Setelah itu ia merasa tak ada lagi yang ia rasakan. Begitu tersadar, ia sudah berada di kamar rumah sakit tempatnya dirawat sekarang.
“Jadi, besar kemungkinan kau pingsan begitu rafi hendak menusukmu dengan pisau?”
“Begitu mungkin.” jawab Angga.
“Hmm, pretty weird.” gumam Pandu.
Angga sangat kaget dan tak paham dengan kondisi yang kini terjadi. Seharusnya dia sudah mati oleh pisau Rafi, tapi justru orang yang hendak membunuhnya itulah yang kini baru saja ia ketahui kabar kematiannya. Di sisi lain, Angga sangat bersyukur masih diberi kesempatan hidup mengingat ia sudah banyak melakukan dosa, khususnya dengan Sandra.
Sandra? Benarkah Sandra membunuh rafi dengan tongkat bisbol yang ia lihat di kamar waktu itu? Pikiran Angga mulai bergulat dengan teka-teki itu : Apa motivasi Sandra membunuh suaminya sendiri? Apakah ia memang lebih memilihnya dirinya dari pada Rafi suaminya sendiri?

BERSAMBUNG...
Lanjutannya klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Surat untuk sang Waktu

Dear waktu, Ijinkan aku 'tuk memutar kembali rodamu Rengekan intuisi tak henti-hentinya menagihiku Menagihku akan hutang kepada diriku d...