Sambungan dari bagian
4
“Sorry Raf,
ini bukan murni dari aku.” Angga memohon dalam kesakitan di lantai.
“Tapi murni
dari nafsumu...!!!” timpal Rafi dilanjutkan dengan sepakan keras ke dagu Angga,
hingga kepalanya membentur lantai.
Kondisi kini sudah tak berdaya.
Seorang diri, ia tergeletak di lantai ruang tamu menahan sakit tiada tara di beberapa
bagian tubuhnya. Rafi yang berdiri di dekatnya, perlahan berjalan mendekati.
Bukan tanpa tujuan, Rafi mengeluarkan sebuah benda dari kantong celananya.
Kondisi Angga yang sudah sangat parah secara fisik, giliran psikisnya yang kian
tak menentu setelah melihat benda yang dikeluarkan Rafi untuk ditujukan
padanya. Sebilah pisau besar nan tajam memancarkan pantulan cahaya di sekujur
permukaan batangnya. Dengan tangan kanannya, Rafi membawa pisau itu mendekati
Angga.
“Raf, ampun
Raf. Ku akui kesalahanku memang parah, tapi bukan berarti aku harus menebusnya
dengan nyawa..” pinta Angga begitu memelasnya.
“Saya memang
ngga butuh nyawamu, saya cuma ingin tahu seperti apa warna darah hewan
sepertimu.”
Tanpa ampun Rafi menggunakan
tangan kirinya untuk menekan pipi kiri Angga hingga menoleh dan tertahan di
lantai. Lalu didekatkan pisau tadi ke sisi kiri leher Angga oleh tangan kanan
Rafi, hingga ujung mata pisaunya menyentuh kulit leher objeknya.
“Ucapkan
salam pada dunia...”kata Rafi.
Pisau yang semula ujungnya
menyentuh kulit sisi kiri leher Angga, perlahan dijauhkan, tapi bukan untuk
membatalkan tujuan. Dalam bara api cemburu, Rafi benar-benar ingin menusuk dan
merobek leher orang yang kini dalam cengkeramannya. Dengan degup jantung yang
kian berdebar, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Rafi memasang
ancang-ancang dengan pisau di genggaman tangan kanannya. Dalam hati ia
berhitung sebelum menuntaskan aksinya. Setelah hitungan keempat dalam Bahasa
Spanyol, pisau itu akan mengakhiri misi mautnya.
“Uno.”
“Dos..”
“Tres…”
“Quatro!!!”
Tangan kanan
Rafi mulai bergerak dan…
DAKK!!!
Mata Angga terpejam. Namun
jantungnya masih berdetak. Nadinya pun masih berdenyut. Sedangkan Rafi,
tubuhnya tergeletak di samping Angga. Bedanya, jantungnya sudah tak berdetak,
nadinya tak lagi berdenyut. Namun kedua matanya dalam kondisi setengah terbuka.
Bagian belakang tempurung kepalanya mengucurkan darah karena benturan keras
dari sebuah benda yang dipukulkan sekuat tenaga.
Kurang dari satu meter dari
jarak keduanya tergeletak, berdiri sesosok wanita berkulit putih dengan rambut
sepanjang bahu. Nafasnya terengah-engah. Kedua tangannya yang gemetar, membawa
sebatang baseball bat berwarna
cokelat. Ia masih terpaku melihat dua sosok pria yang tergeletak di hadapannya,
yang tak lain adalah suami dan pasangan selingkuhnya…
****
Keesokan harinya, muncul berita
di surat kabar lokal yang melaporkan bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap
seorang pria yang berprofesi sebagai pengusaha konveksi di Kota Yogyakarta.
Korban itu diketahui bernama lengkap Rafi Firmansyah, tewas karena pukulan
benda keras di bagian belakang kepalanya, yang diduga kuat menggunakan tongkat
bisbol yang ditemukan di rumah tempat kejadian perkara.
Di sebelah korban tewas
ditemukan pula sesosok pria dalam kondisi tak sadarkan diri dengan luka lebam
di pipi dan dagu. Ditemukan pula gigi geraham yang retak dalam mulutnya dan kepalanya mengalami gegar otak ringan karena benturan keras kepala bagian belakang.diketahui
korban itu bernama Angga Hendrawan, seorang pegawai asuransi. Polisi pun
menduga kuat keduanya sempat terlibat perkelahian sebelum tewasnya
korban bernama Rafi. Namun polisi tidak menemukan bukti bahwa Rafi dibunuh
Angga, karena sidik jari pada tongkat bisbol tidak identik dengan sidik jari
Angga.
Kini Angga
dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta. Polisi masih menunggu
perkembangan kondisi Angga hingga lebih baik, guna meminta keterangan lebih
lanjut tentang kronologi kejadian yang sebenarnya.
****
Sore hari yang cerah, sehari
pasca tragedi.
Di salah satu kamar rumah sakit
swasta terbesar di Yogyakarta. Angga masih tergolek di ranjang putihnya. Beberapa
bagian wajah dan kepalanya tampak masih tertutup, namun kondisi fisiknya keseluruhan
sudah lebih baik. Terdengar olehnya suara pintu dibuka. Seorang suster
mempersilakan seseorang masuk ke kamar tempatnya dirawat.
Angga menoleh ke arah datangnya
seseorang yang membesuk. Dilihatnya sosok pria India berpenampilan berperawakan
gempal, dengan tas selempang di pundak kanannya, datang mendekatinya.
Diseretnya kursi mendekat ke ranjang dan duduklah ia menghadap Angga yang masih
tergolek. Mudah ditebak, orang itu adalah Pandu Mohana.
Sebagai teman dari isteri Rafi,
Angga juga cukup kenal dengan Pandu Mohana. Keduanya diperkenalkan Rafi saat
mereka bertiga bersama mengunjungi sebuah showroom
mobil di Yogyakarta, dimana Pandu membeli sedan hitam miliknya sekarang.
“Apa kabar?”
tanya Pandu seraya menjabat tangan Angga.
“Seperti yang
kau lihat.” jawab Angga simple.
“Apakah
polisi sudah mendatangimu?”
“Polisi?
Belum...” Angga tampak tak paham.
Kemudian Pandu membuka tasnya. Dimasukkan tangan kanannya ke dalam tas
hendak mengambil sesuatu. Angga memang belum tahu apa gerangan yang terjadi
pada Rafi. Bahkan ia sempat berpikir dirinya telah mati di tangan temannnya
itu. Pikiran Angga kemudian tertuju pada Sandra. Ingin ia bertanya bagaimana
gerangan kondisi wanita itu, namun tak enak rasanya bila menanyakan hal itu
kepada Pandu.
Tak lama kemudian Pandu mengeluarkan lembaran kertas tertekuk dari dalam
tasnya, yang tak lain adalah Koran hari ini.
“Hmm, coba
lihat ini.” kata pandu sambil menyerahkan Koran dan diterima oleh Angga.
“Ada apa?”
“Bukalah dan
cari bagian kriminal. Disitu ada berita tentang pengusaha tewas.”
Sementara Angga sibuk membuka
halaman demi halaman mencari bagian yang diminta, Pandu menoleh ke meja.
Dilihatnya dua gelas bening. Satunya berisi penuh air putih, satunya lagi
kosong dan dalam kondisi dibalik. Di sebelahnya ada teko dengan isi air yang
sama. Semua tertata rapi diatas sebuah
baki stailess steel. Pandu beranjak
meninggalkan kursi sejenak. Tak lama kemudian Angga menemukan halaman yang
dicari. Ditemukannya sebuah judul berita yang berbunyi. “PENGUSAHA KONVEKSI
DITEMUKAN TEWAS.”
“Ini ya
berita yang kamu maksud?” tanya Angga menunjukkan lembaran yang yang memuat
berita itu.
“Yup, bacalah.”
Angga pun membaca berita itu
dengan seksama. Raut wajahnya tampak terkejut memandangi tulisan-tulisan dalam
berita koran tersebut.
“Rafi mati
dipukul tongkat bisbol?” respon Angga menanggapi berita yang dibacanya.
“Ya. Kau tahu
pelakunya?”
“A, Aku
sempat melihat tongkat bisbol itu di…”
Spontan Angga memutus kalimat
yang tengah diucapkannya. Ia masih berupaya menyembunyikan dosa yang ia lakukan
bersama Sandra, isteri Rafi.
“Dimana kau
lihat tongkat bisbol itu?”
Angga terdiam. Ia pun berpikir
untuk berterus terang dan petaka tak akan menghampirinya mengingat Rafi telah
tiada.
“Aku sempat
melihat tongkat bisbol di kamar mereka.” ujar Angga.
“Mereka
siapa?” tanya Pandu.
“Ya.. Rafi
dan Sandra.” jelas Angga.
Pandu menyandarkan dagu di
telapak tangannya yang berpijak diatas paha kanannya. ia menghela nafas dan
berpikir sejenak.
“Rafi dibunuh
isterinya sendiri?” tanya Pandu dengan mimik keheranan.
“Tidak tahu.
Tapi aku sempat melihat tongkat bisbol itu dan saat kejadian kita hanya bertiga.”
kata Angga.
“Kamu
benar-benar tidak ingat kronologi kejadiannya?” tanya Pandu sekali lagi.
Angga mencoba mengingat-ingat
kembali apa yang dialaminya malam lalu. Memorinya kembali tertuju pada momen
ketika ia tersungkur lemas di lantai ruang tamu, lalu Rafi menekan pipi kirinya
hingga kepalanya tertoleh dan ditekan di lantai. Pandangannya saat itu hanya
tertuju ke dinding ruang tamu, sementara terasa jelas ujung mata pisau rafi
menyentuh kulit sisi kiri lehernya. Setelah itu ia merasa tak ada lagi yang ia
rasakan. Begitu tersadar, ia sudah berada di kamar rumah sakit tempatnya
dirawat sekarang.
“Jadi, besar
kemungkinan kau pingsan begitu rafi hendak menusukmu dengan pisau?”
“Begitu
mungkin.” jawab Angga.
“Hmm, pretty weird.” gumam Pandu.
Angga sangat kaget dan tak paham
dengan kondisi yang kini terjadi. Seharusnya dia sudah mati oleh pisau Rafi,
tapi justru orang yang hendak membunuhnya itulah yang kini baru saja ia ketahui
kabar kematiannya. Di sisi lain, Angga sangat bersyukur masih diberi kesempatan
hidup mengingat ia sudah banyak melakukan dosa, khususnya dengan Sandra.
Sandra? Benarkah Sandra membunuh
rafi dengan tongkat bisbol yang ia lihat di kamar waktu itu? Pikiran Angga
mulai bergulat dengan teka-teki itu : Apa motivasi Sandra membunuh
suaminya sendiri? Apakah ia memang lebih memilihnya dirinya dari pada Rafi
suaminya sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar